Makanya, proses belajar secara daring pada hakikatnya tidak efektif untuk memicu otak menyimpan informasi dalam waktu lama. Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk membuktikan ini.
Termasuk salah satunya yang disebut dengan learning loss. Istilah ini muncul paska pandemi, dimana proses pembelajaran secara daring telah merubah perilaku siswa dan jaringan otak.
Sehingga, hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan fokus siswa selama masa pandemi menurun drastis. Contohnya artikel berikut ini:
"Learning loss due to school closures during the COVID-19 pandemic"Â [baca disini]
Dengan sampel sampai 350 ribu siswa di seluruh Belanda, fakta di lapangan menyebutkan walaupun siswa belanda mengalami masa lockdown paling sedikit selama 8 minggu, proses belajar terganggu dan siswa mengalami penurunan dalam hal belajar.Â
Terlebih, penurunan ini jauh lebih dirasa oleh mereka yang berasal dari latar belakang tidak berpendidikan. Bahkan, selama masa jeda sekolah, 1/5 bagian proses belajar hilang ketika sekolah diliburkan.
Menarik untuk dicermati bahwa Belanda termasuk negara yang menganggarkan dana cukup besar untuk bidang pendidikan. Fasilitas berupa komputer sangat diperhitungkan.
Pada media San Diego Union Tribune dengan judul "We need to get cellphones out of our classrooms to prevent learning loss", fakta yang sama dirasakan oleh para guru. [baca disini]
Kehadiran smartphone di sekolah menjadi sebuah isu penting untuk dikaji ulang. Secanggih apapun teknologi, tetap ada celah yang memberi ruang negatif pada siswa.Â
Khususnya dalam hal mencatat, kemudahan yang dihadirkan oleh smartphone menjadi buah simalakama untuk guru-guru. Disatu sisi semua menjadi mudah, pada aspek lain siswa terbiasa dengan hal mudah.
Cara instan lebih dipilih karena siswa tidak mau repot mencatat. Padahal, hasil jepretan foto hanya akan menjadi koleksi semata, apalagi ketika foto catatan tersebut hilang tertimbun koleksi foto selfie pribadi.