Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Budaya Mencatat Pelajaran di Sekolah Mulai Pudar?

22 Februari 2024   11:28 Diperbarui: 22 Februari 2024   11:30 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Budaya mencatat pelajaran|freepik.com

"pak, jangan dihapus dulu, kami mau foto" ucap seorang murid sesaat setelah saya selesai menulis penjelasan di papan. Rata-rata siswa sudah tidak lagi mencatat di buku semenjak kehadiran smartphone. 

Dari hasil pengamatan saya sendiri, pudarnya budaya menulis/mencatat di sekolah boleh jadi karena begitu melekatnya siswa pada smartphone. 

Beberapa kalangan berpendapat jika saat ini jaman sudah berubah. Banyak hal yang bisa dipangkas, termasuk memangkas catatan. Namun, kebiasaan instan juga berdampak pada daya ingat siswa. 

Ketika siswa bertumpu pada smartphone, maka daya ingat mereka melemah. Jika dicermati lebih mendalam, penggunaan smartphone pada ranah pendidikan memberi dampak negatif pada memori. 

Otak menyimpan informasi melalui input. Uniknya, kemampuan otak menyimpan informasi yang masuk sangat ditentukan oleh cara informasi itu diperoleh. 

Sebagai contoh sederhana, siswa yang mengadalkan smartphone untuk mengambil foto catatan memang lebih cepat dalam hal memangkas waktu. Itu yang jelas terlihat oleh mata kita. 

Meskipun demikian, otak manusia tidak langsung menyimpan informasi dalam sekejap. Ada rangkaian proses sampai informasi tersebut tersimpan pada bagian otak yang disebut hippocampus. 

Hippocampus diibaratkan hard drive yang dapat menyimpan informasi dalam jangka waktu lama.  Jalan pintas seperti menyimpan foto tidak memberi stimulasi yang cukup bagi otak untuk menyimpan informasi lebih lama. 

Berbeda ketika siswa menulis langsung, saraf motorik mengirim sinyal ke otak dan mengubahnya menjadi informasi yang dapat disimpan lebih lama di hippocampus.

Proses transfer ilmu dengan menulis tidak bisa disandingkan dengan teknologi. Apalagi hanya dengan mengandalkan foto yang kemudian disimpan, proses belajar hanya sepersekian persen saja. 

Makanya, proses belajar secara daring pada hakikatnya tidak efektif untuk memicu otak menyimpan informasi dalam waktu lama. Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk membuktikan ini.

Termasuk salah satunya yang disebut dengan learning loss. Istilah ini muncul paska pandemi, dimana proses pembelajaran secara daring telah merubah perilaku siswa dan jaringan otak.

Sehingga, hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan fokus siswa selama masa pandemi menurun drastis. Contohnya artikel berikut ini:

"Learning loss due to school closures during the COVID-19 pandemic" [baca disini]

Dengan sampel sampai 350 ribu siswa di seluruh Belanda, fakta di lapangan menyebutkan walaupun siswa belanda mengalami masa lockdown paling sedikit selama 8 minggu, proses belajar terganggu dan siswa mengalami penurunan dalam hal belajar. 

Terlebih, penurunan ini jauh lebih dirasa oleh mereka yang berasal dari latar belakang tidak berpendidikan. Bahkan, selama masa jeda sekolah, 1/5 bagian proses belajar hilang ketika sekolah diliburkan.

Menarik untuk dicermati bahwa Belanda termasuk negara yang menganggarkan dana cukup besar untuk bidang pendidikan. Fasilitas berupa komputer sangat diperhitungkan.

Pada media San Diego Union Tribune dengan judul "We need to get cellphones out of our classrooms to prevent learning loss", fakta yang sama dirasakan oleh para guru. [baca disini]

Kehadiran smartphone di sekolah menjadi sebuah isu penting untuk dikaji ulang. Secanggih apapun teknologi, tetap ada celah yang memberi ruang negatif pada siswa. 

Khususnya dalam hal mencatat, kemudahan yang dihadirkan oleh smartphone menjadi buah simalakama untuk guru-guru. Disatu sisi semua menjadi mudah, pada aspek lain siswa terbiasa dengan hal mudah.

Cara instan lebih dipilih karena siswa tidak mau repot mencatat. Padahal, hasil jepretan foto hanya akan menjadi koleksi semata, apalagi ketika foto catatan tersebut hilang tertimbun koleksi foto selfie pribadi.

Jadinya, proses transfer ilmu di dalam kelas sudah tidak lagi mencerminkan fungsi otak. Membiarkan siswa dalam kemudahan sama maknanya dengan melemahkan fungsi otak mereka. 

Pun demikian, fakta di lapangan juga memberi gambaran yang sama. Siswa sekarang kesopanannya berkurang dan kemampuan untuk fokus menurun. 

Disaat yang sama, guru dituntun untuk memakai teknologi dalam kelas untuk mempercepat transfer ilmu. Pada kenyataannya, siswa berubah menjadi 'robot' dan otak mereka tidak lagi terstimulasi dengan rangsangan yang tepat.

Lalu, label siswa pandai berubah dan predikat guru terbaik pun terbalik. Proses penilaian perlahan namun pasti keluar dari jalur, sehingga siswa yang aktif bergerak dipandang nakal dan siswa yang diam dianggap sopan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun