Pada acara penyerahan sertifikat usai menyelesaikan program kursus bahasa Inggris, seorang siswa bertanya, "pak, gimana cara agar bisa lancar berbicara dalam bahasa asing?"
Pertanyaan ini jelas tidak datang dari siswa sembarangan. Siswa yang mengajukan pertanyaan ini sudah belajar bahasa Jerman beberapa tahun yang lalu, namun jarang mempergunakannya.
Selama mengajar bahasa lebih dari 10 tahun, saya kerapkali memantau perkembangan siswa dari hal-hal sederhana, termasuk motivasi belajar bahasa, latihan berbicara, dan seberapa banyak waktu yang digunakan untuk belajar mandiri di luar kelas.
Kenapa belajar bahasa dianggap sulit?
Mindset
Saat memutuskan belajar bahasa baru, banyak yang tidak memiliki tujuan jelas. Sebagai contoh, pola pembelajaran bahasa Inggris di sekolah menitikberatkan pada pemahaman tata bahasa atau Grammar.
Siswa diarahkan untuk fokus pada aturan baku dengan menghafal pola. Lalu, dengan aturan yang telah dihafal, siswa mengerjakan tes yang juga berstandar pada pemahaman tata bahasa.Â
Pada kenyataannya, tujuan belajar bahasa adalah untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi baik secara lisan atau tertulis. Menjawab soal, terlebih yang mengarah pada grammar, sama sekali tidak mengasah kemampuan berbicara atau menulis kedepannya.Â
Apakah dengan belajar bahasa Inggris selama tiga tahun di sekolah siswa sudah dapat menguasai kemampuan berbahasa?
Umumnya tidak! hal ini bisa dijelaskan karena faktor penggunaan bahasa yang sangat sedikit. Dengan waktu belajar rata-rata 3-5 jam per minggu, maka input yang diperoleh siswa sangatlah minim.
Menguasai bahasa baru tidak terlepas dari peran input melalui pemahaman teori dan praktif. Memperbanyak input tanpa mempraktekkannya ibarat menumpuk barang dalam rumah tanpa dipergunakan.Â
Seringkali, orang mengaitkan lama belajar bahasa dengan kemampuan yang diperoleh. Misalnya, ada yang berkata "kok sudah belajar tiga tahun belum bisa ngomong dalam bahasa Inggris?"
Tiga tahun yang dimaksud diambil dari waktu belajar seminggu tiga kali di sekolah. Secara hitungan, waktu yang dihabiskan jauh lebih sedikit dari anggapan.
Dengan waktu belajar 3 jam per minggu, siswa hanya belajar 12 jam per bulan. Maknanya, dalam sebulan saja siswa tidak sampai belajar satu hari (24 jam). Silahkan kalikan per tahunnya, 12 jam/bulan x 12 bulan = 144 jam (6 hari).
Jadi, dalam setahun alokasi waktu belajar bahasa Inggris hanya 6 hari. Mari kita kalikan 3 tahun, 6 x 3 = 18 hari. Bukankah input yang diperoleh siswa sedikit sekali?
Anggapan belajar bahasa Inggris sudah tiga tahun di sekolah tidaklah tepat, yang benarnya adalah hanya 18 hari. Belum lagi kita menilai efektifitas proses belajar yang jauh mengedepankan tata bahasa.
Berapa total waktu yang dihabiskan siswa belajar bahasa Inggris selama enam tahun? jika dalam satu tahun total waktu belajar 6 hari, mari kita kalikan saja, 6 x 6 = 36 hari.
Berarti, dalam waktu enam tahun, seorang siswa dari kelas 1 SMP sampai kelas 3 SMA menghabiskan waktu belajar bahasa Inggris hanya satu bulan enam hari. Kalu kita kalkulasi total jam, 144 jam (12 bulan) x 6 tahun = 864 jam.
Agar benar-benar menghasilkan output yang baik, seseorang setidaknya butuh 1000 jam belajar.
Belajar Bahasa secara Konsisten
Pola belajar bahasa Inggris di sekolah pada dasarnya tidak efektif. Dengan waktu belajar yang terhitung minim dan fokus pembelajaran pada tata bahasa, siswa hampir boleh dikatakan sulit membangun kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris, apalagi menulis.
Hal ini jelas berbeda pada konteks sekolah yang memang memiliki kurikulum dalam bahasa Inggris. Siswa pada sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar memberi input lebih banyak pada siswa, sehingga kemampuan berkomunikasi terbentuk lebih cepat.
Belajar bahasa secara konsisten bukan hanya membuat input lebih bermakna, namun juga berimbas pada output yang lebih terasah. Siswa yang mendapat pengalaman belajar dari input yang benar dapat menguasai bahasa Inggris jauh lebih baik.
Kenapa hal ini penting?Â
Dalam teori berbahasa, input sangat menentukan output. Artinya, jika siswa di sekolah dalam ruang kelas hanya berpatokan pada buku teks, maka apa yang mereka simpan di otak tidak seberapa.Â
Padahal, skil berbicara didukung oleh input berupa Listening atau mendengar langsung dari penutur asli (native speaker). Di banyak sekolah, latihan Listening sangat jarang dilakukan.
Lantas, bagaimana mungkin mereka bisa diajak untuk berbicara bahasa Inggris? idealnya, siswa di sekolah memperoleh input berupa Listening setidaknya lima jam per minggu.
Dengan cara ini, siswa benar-benar dapat membentuk fondasi berbahasa dari hal dasar, yaitu melatih pengucapan (pronunciation), mehamami kosakata dengan benar pada konteksnya, dan belajar tata bahasa secara alami.
Yang terjadi di sekolah, siswa sekedar menghafal kosakata tanpa memahami dalam konteks kalimat apa kata tersebut digunakan. Alhasil, mereka terkendala ketika harus merangkai kalimat.
Jika saja diarahkan untuk lebih banyak latihan mendengar, bukan hanya siswa dapat belajar pengucapan dengan benar, sekaligus memahami konteks pemakaian kosakata secara produktif.Â
Di era digital dewasa ini, siswa hanya butuh diarahkan, dipandu dan diajarkan strategi belajar bahasa secara efektif. Akses video yang berlimpah bahkan dapat memangkas waktu belajar di sekolah.
Input yang dapat diperoleh dari media online, baik itu Youtube, Podcast, atau sumber lainnya bisa dimanfaatkan siswa untuk belajar bahasa secara individu memakai waktu luang di luar waktu belajar sekolah.
Pola belajar bahasa secara tradisional yang terfokus pada Grammar sebaiknya tidak lagi dilanjutkan. Guru juga harus lebih kreatif mendesain materi berbasis input yang sesuai dengan level kemampuan siswa.
Bukan hanya itu, guru juga selayaknya memandu proses belajar dan menjelaskan strategi belajar bahasa yang benar untuk mengarahkan siswa pada kemampuan berkomunikasi dan menulis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H