Sebagai aset bangsa, guru dituntut untuk bisa menjadi agen perubahan dalam lini kehidupan. Guru adalah pusat peradaban yang menjadi penerang dalam gelap.Â
Sayangnya, tidak semua guru mendapat ruang yang cukup untuk mengembangkan diri secara berkala. Sebagian yang beruntung dapat jauh lebih unggul, namun sebagian besar belum merasakan konsep pengembangan diri secara utuh.
Guru diharapkan menjadi aset negara. Setidaknya, begitulah realita lapangan saat ini. Kewajiban administrasi sekolah belum menjadikan guru bebas untuk mengembangkan diri.
Jika aset tidak dijaga dengan baik, maka nilai jualnya bisa saja semakin menurun. Dalam konteks guru, apakah pelatihan, workshop, dan seminar sudah merata dan relevan dalam kapasitas pengembagan diri guru?
Tidak bisa dipungkiri, letak geografis Indonesia menjadikan latar belakang guru bervariasi, baik secara kemampuan intelektual, kesempatan belajar, ataupun pemahaman budaya.Â
Guru di kota bisa lebih gampang dalam hal akses ilmu, sementara guru di pelosok kawasan desa kerap dihantui dengan keadaan tanpa fasilitas.Â
Dalam hal pengembangan diri, tidak semua guru di desa bisa seberuntung mereka yang di kota. Fasilitas memadai tentu saja sebuah anugrah bagi mereka yang mengajar di perkotaan.Â
Bagaimana dengan guru-guru di pelosok desa? jangankan berharap untuk mengembangkan diri, bermimpi untuk setara dengan guru kota pun sekilas serupa fatamorgana.Â
Di banyak tempat, kesempatan untuk mengembangkan diri masih sangat minim. Padahal, guru harus luas secara wawasan dan mampu berpikir kritis saat mengajar.Â
Kemampuan guru untuk mengajar tidak terpaku pada sejauh mana ia menguasai ranah bidang studi yang diempu. Dalam banyak hal, guru dengan wawasan luas mampu membangkitkan semangat belajar siswa.Â
Wajar saja jika konsep belajar dewasa ini tidak lagi bertumpu pada guru sebagai media transfer ilmu, namun lebih pada guru sebagai fasilitator ilmu.Â
Layaknya kompas, guru diharapkan untuk mampu memandu siswa agar mampu berjalan dalam gelap. Pertanyaannya, apakah semua guru bisa berfungsi sebagai kompas?
Melihat kondisi saat ini, sulit untuk berkata iya. Guru tanpa akses pengembangan diri yang memadai hanya mampu menerangi ruang yang terbatas.
Artinya, untuk mampu memantulkan cahaya lebih jauh, guru tidak cukup menguasai bidang keilmuannya saja. Fungsi cahaya pada hakikatnya adalah sebagai penerang, tapi pantulan cahaya tidak bisa dinikmati tanpa panduan.Â
Maksudnya begini, guru dengan tingkat intelektual yang baik belum tentu menelurkan siswa yang cerdas. Saya banyak melihat guru yang cerdas, tapi saat mengajar mereka gagap dan membosankan.
Sama seperti ilustrasi cahaya sebelumnya, sebuah lampu yang sangat terang sekalipun tidak akan memberi manfaat jika penempatannya salah.Â
Wawasan keilmuan seorang guru haruslah dikembangkan mengikuti jaman. Guru semestinya memahami dua hal : ilmu yang diajarkan dan cara mengajarkan.Â
Memindahkan ilmu dari buku ke kepala siswa bukan perkara mudah. Guru harus memahami karakter siswa dan kemampuan mereka secara umum.Â
Di banyak kasus, guru terkadang terlalu fokus pada bidang keilmuannya. Akhirnya, mereka condong memindahkan isi buku ke papan tulis dan meminta siswa untuk kembali memindahkan ke buku tulis.Â
Cara ini memberi bekas negatif di benak siswa, yaitu memahami mata pelajaran sebagai tumpukan tugas dan buku. Kesan belajar tidak lebih sebatas catat mencatat dan bahas membahas.Â
Di banyak sekolah, siswa sering mengeluh akan banyaknya tugas. Menariknya lagi, tugas yang dikumpulkan jarang dikomentari guru. Intinya, fungsi tugas atau pekerjaan rumah hanya pada angka dan administrasi semata.
Dengan cara seperti ini, cahaya yang diperoleh siswa tidak mampu menerangi diri mereka. Lebih jauh lagi, penempatan lampu boleh jadi gagal dimanfaatkan oleh siswa seutuhnya.
Kompas yang tadinya berfungsi untuk memandu hanya berakhir pada sebuah alat tanpa makna. Kenyataan di lapangan boleh jadi seperti itu, guru kehilangan memandu dan menerangi.
Pengembangan diri bagi seorang guru selayaknya mempertajam fungsi kompas. Guru sewajarnya mengasah kemampuan untuk mengenali siswa, baik dari sisi psikologis ataupun intelektual.
Kejelian guru dalam mengenal siswa dapat mencairkan suasana dalam ruang kelas. Pelajaran yang dikenal membosankan bisa disulap menjadi hal menyenangkan bagi siapa saja.Â
Begitulah hakikat pengembangan diri. Titik temu sebuah ilmu bukanlah pada kemampuan guru memahaminya, tapi bagaimana cara menjelaskannya.
Guru dengan intelektual yang tinggi bisa saja gagal mentransfer ilmu pada siswa. Sebaliknya, seorang guru dengan kapasitas ilmu seadanya bisa saja memberi kesan dan pesan penuh makna.
Penempatan cahaya itu penting. Jika guru yang cerdas ditempatkan pada ruang dengan cahaya yang cukup, tentu saja peran kompas yang dipegang guru tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.Â
Mudahnya dipahami, berusahalah untuk menjadi penerang dalam gelap dan memandu disaat yang tepat. Seorang guru akan berhasil memindahkan isi buku apabila cara menjelaskan sebuah ilmu mudah dipahami oleh siswa dari latar belakang berbeda.Â
Ringkasnya, guru yang bijak mengetahui kapasitas ilmu yang dibawa siswa. Menuntut siswa untuk paham ilmu tertentu dengan cara membosankan tentulah tidak bijaksana.Â
Boleh jadi siswa tidak memahami ilmu bukan karena kebodohannya, tapi disebabkan rusaknya fungsi kompas untuk memandu ketika dibutuhkan.Â
Seorang guru boleh unggul dalam bidang ilmu yang diajarkan, namun kesan dan pesan dari ilmu yang diajarkan jauh lebih membekas dalam benak siswa untuk memandu mereka dalam kegelapan.Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H