Dengan cara seperti ini, cahaya yang diperoleh siswa tidak mampu menerangi diri mereka. Lebih jauh lagi, penempatan lampu boleh jadi gagal dimanfaatkan oleh siswa seutuhnya.
Kompas yang tadinya berfungsi untuk memandu hanya berakhir pada sebuah alat tanpa makna. Kenyataan di lapangan boleh jadi seperti itu, guru kehilangan memandu dan menerangi.
Pengembangan diri bagi seorang guru selayaknya mempertajam fungsi kompas. Guru sewajarnya mengasah kemampuan untuk mengenali siswa, baik dari sisi psikologis ataupun intelektual.
Kejelian guru dalam mengenal siswa dapat mencairkan suasana dalam ruang kelas. Pelajaran yang dikenal membosankan bisa disulap menjadi hal menyenangkan bagi siapa saja.Â
Begitulah hakikat pengembangan diri. Titik temu sebuah ilmu bukanlah pada kemampuan guru memahaminya, tapi bagaimana cara menjelaskannya.
Guru dengan intelektual yang tinggi bisa saja gagal mentransfer ilmu pada siswa. Sebaliknya, seorang guru dengan kapasitas ilmu seadanya bisa saja memberi kesan dan pesan penuh makna.
Penempatan cahaya itu penting. Jika guru yang cerdas ditempatkan pada ruang dengan cahaya yang cukup, tentu saja peran kompas yang dipegang guru tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.Â
Mudahnya dipahami, berusahalah untuk menjadi penerang dalam gelap dan memandu disaat yang tepat. Seorang guru akan berhasil memindahkan isi buku apabila cara menjelaskan sebuah ilmu mudah dipahami oleh siswa dari latar belakang berbeda.Â
Ringkasnya, guru yang bijak mengetahui kapasitas ilmu yang dibawa siswa. Menuntut siswa untuk paham ilmu tertentu dengan cara membosankan tentulah tidak bijaksana.Â
Boleh jadi siswa tidak memahami ilmu bukan karena kebodohannya, tapi disebabkan rusaknya fungsi kompas untuk memandu ketika dibutuhkan.Â
Seorang guru boleh unggul dalam bidang ilmu yang diajarkan, namun kesan dan pesan dari ilmu yang diajarkan jauh lebih membekas dalam benak siswa untuk memandu mereka dalam kegelapan.Â
 Â