Wajar saja jika konsep belajar dewasa ini tidak lagi bertumpu pada guru sebagai media transfer ilmu, namun lebih pada guru sebagai fasilitator ilmu.Â
Layaknya kompas, guru diharapkan untuk mampu memandu siswa agar mampu berjalan dalam gelap. Pertanyaannya, apakah semua guru bisa berfungsi sebagai kompas?
Melihat kondisi saat ini, sulit untuk berkata iya. Guru tanpa akses pengembangan diri yang memadai hanya mampu menerangi ruang yang terbatas.
Artinya, untuk mampu memantulkan cahaya lebih jauh, guru tidak cukup menguasai bidang keilmuannya saja. Fungsi cahaya pada hakikatnya adalah sebagai penerang, tapi pantulan cahaya tidak bisa dinikmati tanpa panduan.Â
Maksudnya begini, guru dengan tingkat intelektual yang baik belum tentu menelurkan siswa yang cerdas. Saya banyak melihat guru yang cerdas, tapi saat mengajar mereka gagap dan membosankan.
Sama seperti ilustrasi cahaya sebelumnya, sebuah lampu yang sangat terang sekalipun tidak akan memberi manfaat jika penempatannya salah.Â
Wawasan keilmuan seorang guru haruslah dikembangkan mengikuti jaman. Guru semestinya memahami dua hal : ilmu yang diajarkan dan cara mengajarkan.Â
Memindahkan ilmu dari buku ke kepala siswa bukan perkara mudah. Guru harus memahami karakter siswa dan kemampuan mereka secara umum.Â
Di banyak kasus, guru terkadang terlalu fokus pada bidang keilmuannya. Akhirnya, mereka condong memindahkan isi buku ke papan tulis dan meminta siswa untuk kembali memindahkan ke buku tulis.Â
Cara ini memberi bekas negatif di benak siswa, yaitu memahami mata pelajaran sebagai tumpukan tugas dan buku. Kesan belajar tidak lebih sebatas catat mencatat dan bahas membahas.Â
Di banyak sekolah, siswa sering mengeluh akan banyaknya tugas. Menariknya lagi, tugas yang dikumpulkan jarang dikomentari guru. Intinya, fungsi tugas atau pekerjaan rumah hanya pada angka dan administrasi semata.