Merujuk pada kamus KBBI, produktivitas dimaknai dengan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu; daya produksi; keproduktifan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan dengan banyak pekerjaan. Namun, pernahkah kita mengukur sejauh mana tingkat produktivitas kita selama ini?
Menjadi individu yang produktif itu tidak mudah, apalagi jika standar ukurannya tidak tepat. Yang lumrah terjadi adalah orang menerka nilai produktivitas dengan ukuran yang terkadang tidak masuk logika.Â
Dalam hal pekerjaan misalnya, bagaimana seorang bos mengukur produktivitas karyawannya? apakah dengan melihat apa yang dikerjakan karyawan? atau dengan mengevaluasi hasil kerjaan setiap karyawan?
Mengukur tingkat produktivitas tidak hanya bermanfaat untuk sebuah bisnis, akan tetap dalam skala kecil sebagai individu, kita juga bisa mendapat manfaat besar jika mampu mengevaluasi diri sendiri dengan benar.Â
Input - Output Ratio
Dalam konteks bisnis, seorang bos atau kepala kantor bisa mengukur seberapa produktif karyawan dengan membandingkan input dan output. Caranya?
Anggaplah kita mengambil contoh sebuah usaha berbentuk Kafe. Kafe tentu memiliki banyak menu makanan dan minuman. Dalam setiap menu ada total bahan dan waktu pembuatan.Â
Nah, bahan yang dibutuhkan untuk membuat satu menu bisa menjadi sebuah input untuk kemudian dibandingkan dengan output yang didapat. Apakah sesuai atau tidak?
Cara mengetahuinya adalah dengan mencatat daftar harga untuk kebutuhan satu menu, lalu analisa berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan menu tersebut.
Contohnya, jika bahan untuk membuat satu Pizza adalah 50 ribu dan membutuhkan dua karyawan untuk menyelesaikan satu menu dengan waktu 10 menit, apakah ini dianggap produktif?
Sebelum menyimpulkannya, tentukan terlebih dahulu harga jual Pizza. Kita misalkan saja harga jualnya 70 ribu. Sejauh ini kita sudah mendapatkan data berupa harga dan waktu.
Jika dalam 10 menit dua karyawan berhasil membuat satu pizza dengan keuntungan 20 ribu, maka dalam satu jam ada enam pizza yang bisa disiapkan dengan total keuntungan 120 ribu.Â
Karyawan tentu memiliki standar gaji perbulan. Jika gaji rata-rata karyawan 2.5 juta per bulan dengan jam kerja 6 jam per hari, maka setiap karyawan mendapat 83 ribu per hari dan 13 ribu per jam.
Apakah profit 120 ribu cukup membayar gaji dua karyawan yang berhasil memasak  6 pizza  dengan hitungan 13 ribu/jam? sekilas, tentu saja cukup. Namun, ada hitungan lain yang belum termasuk, seperti biaya listrik, gas elpiji, dan biaya operasional lainnya.
Inilah mengapa sebuah bisnis harus memiliki perhitungan akurat sebelum dijalankan. Tujuannya tidak lain, yaitu untuk memiliki standar harga yang tepat dengan mempertimbangkan ongkos produksi, biaya produksi dan operasional harian.Â
Kembali pada produktivitas
Mari kita asumsikan pendapatan sebuah kafe per bulan adalah 50 juta. Ada 5 karyawan tetap dengan gaji 2.5 juta/orang. Ini berarti total gaji karyawan adalah 12.5 juta/bulan.Â
Jika biaya operasional berupa listrik, gas elpiji, bahan baku, dll berjumlah 15 juta/bulan, keuntungan bersih jatuh pada harga 22.5 juta/bulan. Dalam setahun ada angka 270 juta didapat, tentu dengan asumsi pendapatan stabil setiap bulannya.
Sekarang kita bisa mengukur produktivitas karyawan dengan data yang ada. Pendapatan per bulan sebenarnya bisa diprediksi dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi kerja karyawan.
Dengan memakai contoh di atas, apakah membuat 1 pizza dengan dua karyawan dianggap efektif? apakah waktu 10 menit untuk menghasilkan 1 pizza sudah efisien?
Tentu saja definisi efektif dan efisien harus dipahami secara berbeda. Efektif merujuk pada ketepatan pemilihan tugas, sementara efisien lebih kepada cara penyelesaian.Â
Seorang manajer atau direktur yang menempatkan karyawan bukan pada bagian keahliannya, tentu bisa menyebabkan sebuah tugas diselesaikan dengan tidak efisien.
Seorang karyawan yang ditempatkan di bagian kasir namun memiliki sedikit pengalaman dan ilmu akan menyebabkan kerugian besar pada sebuah toko. Terdengar sederhana, tapi efek jangka panjang bisa lebih buruk bagi sebuah bisnis.
Dua hari yang lalu, saya pergi megunjungi toko buku yang sudah punya nama. Saat hendak membayar, saya harus antri lebih dari 15 menit. Saya memperhatikan cara kerja kasir, terlihat tidak cekatan dan membutuhkan waktu lima menit untuk satu pembeli saja.
Wah, seharusnya hal seperti ini tidak boleh terjadi. Setiap pelayanan harus memiliki standar waktu maksimal penanganan. Apalagi di bagian kasir, dengan pola scan barcode, lima menit untuk satu konsumen itu sangat tidak efektif dan jelas tidak efisien.
Dari pola kerja seperti ini, seorang manajer sudah bisa membuat satu kesimpulan. Cara kerja karyawan kasir tidak efisien dan harus dievaluasi. Kenapa? karena jika tidak, akan muncul banyak komplain yang jelas merugikan bisnis.Â
Idealnya, di bawah tiga menit sebuah trasaksi pelayanan harus sudah selesai. Mengantri terlalu lama bukan saja membosankan tapi juga buang waktu bagi kebanyakan orang yang produktif.
Sama halnya pada seorang koki, pelaku bisnis kuliner hendaknya memiliki skema terperinci untuk standar waktu penyajian makanan dan minuman. Harus ada riset kecil tentang standar masak makanan dengan standar rasa terjaga.
Bisnis franchise seperti KFC dan McDonald's menyebutnya dengan building system. Dengan sistem terukur, semua jenis pelayanan memiliki waktu yang berstandar.
Sistem ini sangat bermanfaat untuk mengukur produktivitas kerja secara valid, baik harian, mingguan atau bulanan. Makanya, karyawan di KFC bisa dipecat karena kelalaian kerja.
Bagaimana dengan kebanyakan karyawan di kafe atau toko? umumnya, mereka tidak memiliki standar waktu kerja yang jelas. jadinya, seorang koki di kafe bisa memasak satu menu dengan variasi waktu berbeda.Â
Pernah menunggu lama saat memesan sebuah menu di kafe? anda akan bisa mendapat gambaran umum tentang keefektifan dan efisiensi kerja hanya dengan menilai satu standar pelayanan.
Ketika dulu bekerja pada lembaga pendidikan yang supervisornya orang Amerika, saya belajar banyak tentang manajemen kerja efektif. Disana saya belajar tentang betapa pentingnya standar waktu untuk setiap pekerjaan dan pelayanan.
Saya sering adu argumen dengan supervisor karena ada gap budaya yang berbeda. Seperti contoh, setiap meeting saya kerap diminta untuk membuat rangkaian urutan apa saja yang akan dibicarakan, berapa lama, dan apa tujuannya.
Bagi orang Amerika, mengadakan meeting tanpa sebuah plan tertulis itu dianggap buang waktu. Jadi, di awal saya kewalahan untuk menyesuaikan dengan pola kerja mereka yang selalu berpatok pada waktu. Apalagi, meeting tidak boleh berbicara bertele-tele.
Ya, tahu sendiri kalau kebiasaan di Indonesia, ada kata sambutan ini dan itu, dan biasanya yang dibahas juga tidak terstruktur. Selama empat tahun bekerja di bawah supervisi orang Amerika, saya seperti dipantau CCTV 24 jam. haha
Pernah suatu ketika saya mengajukan sebuah program baru pada supervisor saya. Saya harus berdebat saju jam untuk menyampaikan argumen padanya dan program yang saya ajukan ditolak mentah-mentah karena tidak sesuai standar efektifitas.
Di kesempatan lain, saya pernah ditegur karena tidak memberikan job list harian yang terstruktur pada security kantor. Saya mengakui bahwa itu kesalahan yang tidak saya antisipasi dari awal.Â
Saat itu security kantor mengerjakan beberapa pekerjaan tidak pada waktunya, akhirnya hasil kerjanya juga berantakan. Alhasil, saya dibimbing untuk membuat checklist harian untuk setiap jenis pekerjaan dan waktu pengerjaan.
Setiap hari jum'at sore sebelum meninggalkan kantor, saya akan melihat hasil checklist dan mengevaluasi bagian mana yang tidak dikerjakan pada waktunya. Nah, darisini saya mendapatkan kemudahan untuk mengukur efisiensi pekerjaan dengan langsung memberi feedback pada security.
Kesimpulannya, apapun jenis pekerjaan atau bisnis, rasio input dan output bisa menjadi standar awal mengukur produktivitas karyawan secara garis besar. Lakukan langkah di bawah ini:
1. Buat perhitungan total gaji karyawanÂ
2. Hitung total gaji karyawan per bulan, lalu analisa gaji per jam setiap karyawan
3. Hitung profit yang didapat dalam seminggu/bulan
4. kalkulasi biaya produksi dan operasional harian/mingguan/bulanan.
5. kurangi total profit mingguan/bulanan dengan total gaji karyawan dan biaya operasional
6. Analisa pendapatan bersih
Membuat standar KelayakanÂ
Setelah melakukan perhitungan yang detail dan jelas, buatlah standar kelayakan untuk setiap pekerjaan. Untuk contoh bisnis kuliner, pelajari standar pembuatan sebuah menu, lama waktu masak dan kualitas rasa.
Ini harus dilakukan dengan beberapa kali eksperimen. Misalnya, seorang chef yang dianggap kompeten harus mampu memasak dengan durasi waktu yang tepat dan menghasilkan rasa yang tidak berubah.
Hasil kelayakan waktu selanjutnya didokumentasikan berupa tulisan dan video yang bisa diakses oleh karyawan kapan saja
Dengan begitu, sebuah kafe punya standar waktu penyajian dihitung dari waktu pemesanan. Jadi, kelambatan penyajian itu bisa saja sebuah kesalahan bagian dapur dan bukan keteledoran kasir.
Setiap karyawan baru diwajibkan untuk membaca standar kelayakan kerja dan menonton video yang sudah disiapkan, lalu uji tes kelayakan dari materi yaang diberikan.
Ketika ada komplain, maka ada dua penilaian yang terukur. Apakah chef sudah memasak dengan megikuti standar waktu? jika tidak, maka posisi chef sebaiknya digantikan orang lain atau berikan pelatihan ulang.Â
Ada sebuah nasehat dalam dunia bisnis, yaitu:
Don't hire fast
Apa maknanya? dalam hal merekrut karyawan/pekerja, jangan bertindak gegabah. Seleksilah calon pekerja yang relevan dengan bidang keahlian, namun jangan lupa mengukur seberapa efisien calon pekerja siap untuk ditempatkan pada posisi yang akan di tempati.
Saya ingin memberikan satu contoh lain pada bidang pendidikan. Kebetulan saya dipercaya oleh supervisor untuk merekrut calon pendidik. Saya yang menyeleksi berkas dan kemudian melakukan wawancara bersama dengan supervisor.
Berbeda dengan kebanyakan wawancara orang Indonesia, supervisor saya yang memiliki software Amerika memiliki sudut pandang berbeda terhadap kualifikasi pendidik.
Saya beberapa kali mengamati pola pertanyaan yang diajukan kepada pelamar. Saya menarik satu kesimpulan, cara ia bertanya lebih fokus pada How, sementara saya tertuju pada what.
Kalau saya condong ingin tahu kelayakan kandidat secara keilmuan dan pengalaman, sedangkan supervisor saya ini lebih suka bertanya pada hal yang menjurus pada kepribadian.
Baginya, seorang calon pendidik yang punya kemampuan istimewa namun tidak mau mengikuti aturan yang ditetapkan kantor memiliki poin minus ketimbang mereka yang punya kemampuan standar tapi mau belajar.
Tentu saja, saya sulit menerima pendapatnya. Kenapa harus menerima calon pendidik yang memiliki kemampuan biasa saja dan melepaskan calon lain yang punya kemampuan di atas rata-rata. Secara teori itu bertolak belakang.Â
Waktu berlalu, akhirnya saya memahami maksudnya. Setelah melakukan observasi dan analisa mendalam, terbukti bahwa mereka yang memiliki wawasan ilmu yang sangat baik condong tidak mengikuti aturan bekerja yang ditetapkan.
Alhasil, secara profesionalitas mereka memang memiliki kualitas mengajar yang baik, tapi tidak mau menginvestasikan waktu lebih pada anak didik. Ketika ada kriteria evaluasi guru, mereka menganggap diri sudah baik, lalu mudah untuk tidak mengikuti pelatihan yang seharusnya diikuti setiap bulan.
Sementara guru lain yang pada awal memiliki kualitas mengajar biasa saja, seiring waktu belajar dari pelatihan yang difasilitasi kantor dan kualitas keilmuan berkembang bertahap.
Uniknya, secara produktivitas, guru yang awalnya memiliki kualitas biasa bisa bekerja lebih produktif karena lebih terbuka dan tidak merasa diri sudah cukup pandai. Hubungan guru dan siswa pun lebih baik karena mereka mengajar dengan hati.
Bagaimana dengan profit? siswa yang sudah merasa melekat dengan guru yang menurut mereka baik akan merekomendasi teman-teman lain. Alhasil, jumlah siswa bertambah dan uang masuk pun meningkat. Itulah Faktanya!Â
Pada akhirnya, majunya sebuah bisnis tidak semata-mata pada seberapa baik kualitas produk yang dihasilkan. Lebih dari itu, kesan yang tertanam pada konsumen dari pelayanan yang baik akan lebih membekas sekedar kualitas produk semata. Ya! begitulah adanya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H