Tentu saja, saya sulit menerima pendapatnya. Kenapa harus menerima calon pendidik yang memiliki kemampuan biasa saja dan melepaskan calon lain yang punya kemampuan di atas rata-rata. Secara teori itu bertolak belakang.Â
Waktu berlalu, akhirnya saya memahami maksudnya. Setelah melakukan observasi dan analisa mendalam, terbukti bahwa mereka yang memiliki wawasan ilmu yang sangat baik condong tidak mengikuti aturan bekerja yang ditetapkan.
Alhasil, secara profesionalitas mereka memang memiliki kualitas mengajar yang baik, tapi tidak mau menginvestasikan waktu lebih pada anak didik. Ketika ada kriteria evaluasi guru, mereka menganggap diri sudah baik, lalu mudah untuk tidak mengikuti pelatihan yang seharusnya diikuti setiap bulan.
Sementara guru lain yang pada awal memiliki kualitas mengajar biasa saja, seiring waktu belajar dari pelatihan yang difasilitasi kantor dan kualitas keilmuan berkembang bertahap.
Uniknya, secara produktivitas, guru yang awalnya memiliki kualitas biasa bisa bekerja lebih produktif karena lebih terbuka dan tidak merasa diri sudah cukup pandai. Hubungan guru dan siswa pun lebih baik karena mereka mengajar dengan hati.
Bagaimana dengan profit? siswa yang sudah merasa melekat dengan guru yang menurut mereka baik akan merekomendasi teman-teman lain. Alhasil, jumlah siswa bertambah dan uang masuk pun meningkat. Itulah Faktanya!Â
Pada akhirnya, majunya sebuah bisnis tidak semata-mata pada seberapa baik kualitas produk yang dihasilkan. Lebih dari itu, kesan yang tertanam pada konsumen dari pelayanan yang baik akan lebih membekas sekedar kualitas produk semata. Ya! begitulah adanya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H