Tahun 2018 akhir saya mencoba sebuah beasiswa ke Swedia. Dengan berbekal dokumen yang sudah saya persiapkan lebih awal, saya mengadu nasib untuk mendapatkan beasiswa ke Swedia.Â
Beasiswa ini sangat kompetitif karena harus bersaing dengan semua pelamar di seluruh dunia. Porsi kuota yang diberikan kurang dari 13 orang pada setiap negera. Kalau dinilai dari persentase kemungkinan diterima, mungkin tidak lebih dari 2%.
Meskipun demikian, saya tetap bersemangat dan maju untuk mencoba. Saat itu kondisi ekonomi keluarga sedang tidak baik-baik saja, apalagi saya harus membayar 1.5 juta untuk biaya application fee secara online.
Karena diharuskan membayar secara online dan saya tidak memiliki alteratif saat itu, saya meminta bantuan pada teman yang kebetulan sedang liburan akhir tahun dari Australia.
Alhasil, teman saya yang baik hati ini bersedia membantu. Biaya aplikasi untuk lamaran ke kampus berhasil diproses. Saya sedikit lega, namun kelegaan saya berubah menjadi sebuah bencana.
Ternyata, biaya aplikasi 1.5 juta! saya menyangka hanya 150 ribu saja. WADUH, apa yang hendak saya lakukan. Saya jelas tak punya uang sebanyak itu. Perhitungan saya meleset tajam. Kesalahan ada pada saat konversi mata uang swedia ke rupiah.Â
Akhirnya, saya jelaskan ke teman kalau saya tidak memiliki uang kontan sebanyak itu. Teman yang baik ini tidak mempermasalahkan dan saya boleh membayar saat ada uang. "yang penting aplikasi berhasil dibayar dan bisa dapat beasiswa" begitulah ucapnya.
Alhamdulllah! saya sedikit lega. Singkat cerita uang itu berhasil saya cicil dua kali dan LUNAS.
Bulan April 2019 saya menerima kabar baik dari kampus. Aplikasi saya sudah diproses dan saya diterima pada pilihan kedua di University of Gothenburg, sebuah kampus kedua terbesar di Swedia yang masuk katagori terbaik di bidang penelitian.
Pilihan pertama saya masuk pada katagori waiting list. Artinya, saya bisa diterima jika salah satu pelamar yang sudah masuk seleksi penuh menolak surat penerimaan kampus.
Saya hanya diberi waktu beberapa hari untuk membuat keputusan. Ada empat pilihan kampus yang saya pilih di awal aplikasi.
Malmo University jurusan business sustainability, University of Gothenburg jurusan Educational Research, Linkoping University jurusan Outdoor Education dan satunya lagi University of Stockholm jurusan International Comparative Education.
Dari keempat pilihan ini, tiga pilihan lolos dengan urutan kedua University of Gothenburg. Jatuhlah pilihan saya pada universitas ini pada jurusan Educational Research.Â
Padahal, Stockholm University masuk katagori universitas nomor satu terbaik di Swedia. Sayangnya, karena Stockholm adalah pilihan ketiga saya, jadinya pilihan jatuh otomatis ke urutan kedua.Â
Kabar gembira yang saya terima tidak bertahan lama. Beberapa minggu kemudian berita pengumuman hasil seleksi beasiswa dirilis di web. Oh ternyata nama saya tidak tertulis disana.
Apa boleh buat, tanpa beasiswa mustahil saya bisa kuliah disana. Walaupun saya sudah diterima secara resmi di salah satu kampus terbaik di Swedia, saya tidak bisa berangkat.
Mimpi ke Eropa harus ditunda. Pasti ada hikmah, pikir saya saat itu. Yang jelas uang 1.5 juta sudah melayang dan saya harus segera melunasinya. Tak apalah, namanya juga usaha!
Belajar dari Pengalaman
Jujur saat itu saya sedikit kecewa! namun, saat pandemi tiba di akhir 2019 saya bersyukur tak jadi berangkat. Jika saja saya keterima, maka istri dan anak harus menetap di Indonesia dan saya bakal terperangkap lama di Swedia karena larangan terbang saat pandemi.
Benar saja, hikmah pasti datang belakangan. Setidaknya saya sudah punya pengalaman melamar ke kampus Swedia dan bisa membantu orang lain jika mau kuliah kesana.
Pelajaran lain yang saya dapat adalah tidak mempersiapkan rencana cadangan. Padahal, jika saya mau, saya bisa dengan mudah memakai letter of admission dan melamar beasiswa LPDP. Pasti lebih mudah diterima karena saya sudah diterima di kampus terbaik Swedia.
Saat itu saya tidak terpikirkan ide untuk melamar LPDP atau beasiswa lain, jadinya saya terpaku pada satu pilihan. Tapi, tetap saja saya bersyukur karena tidak berangkat ke Swedia karena berat rasanya meninggalkan keluarga.
Dari sini saya belajar arti kegagalan dan keikhlasan. Memang kesempatan kuliah di Swedia sudah saya lewatkan, tapi saya bersyukur bisa menghabiskan waktu dengan anak 24 jam. Apa jadinya kalau saya ke Swedia, pasti kenangan membesarkan anak tidak saya dapat.
Begitulah hidup! tidak semua yang kita inginkan dan kehendaki bisa kita miliki. Kadangkala, kita harus membiarkan alam menyeleksi apa yang memang pantas kita miliki.Â
Dari semua ini, saya meyakini suatu saat saya akan menginjakkan kaki di Swedia, namun saya tidak mau sendiri kesana. Saya ingin menikmat indahnya alam di Swedia bersama anak dan istri serta mengelilingi negara-negara Eropa.
Ah, sudahlah! saya terlalu banyak bermimpi. hihihi
Penutup, jika teman-teman berniat melamar beasiswa ke Swedia, aplikasi akan segera dibuka pada 10 Februari 2023. Silahkan kunjugi websitenya, klik disini. Untuk persiapan, mungkin bisa membaca persyaratan lebih awal dari sekarang.
Yuk, dicoba!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H