Saya hanya diberi waktu beberapa hari untuk membuat keputusan. Ada empat pilihan kampus yang saya pilih di awal aplikasi.
Malmo University jurusan business sustainability, University of Gothenburg jurusan Educational Research, Linkoping University jurusan Outdoor Education dan satunya lagi University of Stockholm jurusan International Comparative Education.
Dari keempat pilihan ini, tiga pilihan lolos dengan urutan kedua University of Gothenburg. Jatuhlah pilihan saya pada universitas ini pada jurusan Educational Research.Â
Padahal, Stockholm University masuk katagori universitas nomor satu terbaik di Swedia. Sayangnya, karena Stockholm adalah pilihan ketiga saya, jadinya pilihan jatuh otomatis ke urutan kedua.Â
Kabar gembira yang saya terima tidak bertahan lama. Beberapa minggu kemudian berita pengumuman hasil seleksi beasiswa dirilis di web. Oh ternyata nama saya tidak tertulis disana.
Apa boleh buat, tanpa beasiswa mustahil saya bisa kuliah disana. Walaupun saya sudah diterima secara resmi di salah satu kampus terbaik di Swedia, saya tidak bisa berangkat.
Mimpi ke Eropa harus ditunda. Pasti ada hikmah, pikir saya saat itu. Yang jelas uang 1.5 juta sudah melayang dan saya harus segera melunasinya. Tak apalah, namanya juga usaha!
Belajar dari Pengalaman
Jujur saat itu saya sedikit kecewa! namun, saat pandemi tiba di akhir 2019 saya bersyukur tak jadi berangkat. Jika saja saya keterima, maka istri dan anak harus menetap di Indonesia dan saya bakal terperangkap lama di Swedia karena larangan terbang saat pandemi.
Benar saja, hikmah pasti datang belakangan. Setidaknya saya sudah punya pengalaman melamar ke kampus Swedia dan bisa membantu orang lain jika mau kuliah kesana.
Pelajaran lain yang saya dapat adalah tidak mempersiapkan rencana cadangan. Padahal, jika saya mau, saya bisa dengan mudah memakai letter of admission dan melamar beasiswa LPDP. Pasti lebih mudah diterima karena saya sudah diterima di kampus terbaik Swedia.