Kualitas diri berbanding lurus pada kualitas waktu
Dalam beberapa kesempatan, terkadang kita tidak mampu menyebut nominal harga dari sebuah skil disebabkan ketidakmampuan kita menghargai waktu. Â
Dalam budaya timur, umumnya kita terbiasa dengan berleha-leha dalam waktu senggang. Sehingga, konsep kita tentang waktu juga tidak memiliki standar pasti.
Dalam hal janji, kita sangat fleksibel. Jikapun dibatalkan seketika itu bukan masalah besar, kita akan bisa memaklumi. Pun demikian ketika rapat tertentu seringkali pembahasan melebar kesana sini karena memang tanpa persiapan.
Berbeda sekali dengan mereka yang melebel harga dalam waktu. Sebuah janji mesti ditetapkan lebih dulu, ditepati dan kalau dibatalkan harus dikabari lebih awal.
Dalam beberapa kesempatan ketika saya bekerja dengan warga Amerika, saya mengamati cara kerja mereka. Bahkan, semua harus ditetapkan lebih awal, semua mesti ada alasan, sampai rapat pun harus disiapkan dengan poin-poin baru kemudian ditetapkan berapa lama waktu yang dibutuhkan.
Ya, memang bagi mereka waktu harus terjadwalkan dengan baik. Mau hal kecil seperti berkunjung ke rumah, sampai memimpin rapat membutuhkan perkiraan waktu yang ideal.
Kalau di kita mau ngunjung ke rumah teman atau saudara ya kunjung aja, mau ngopi ya ngopi aja. Ga pake ribet buat-buat janji segala.
Kesannya memang seperti itu, tapi dalam beberapa aspek pola penjadwalan memiliki manfaat lebih khususnya menghargai waktu lebih bijak.
Disini saya melihat satu perbedaan besar, umumnya mereka yang menghargai waktu lebih mudah mengetahui harga jual waktu yang mereka miliki ketimbang orang-orang yang memiliki kebiasaan amblas dalam lautan waktu.
Makanya, orang yang terbiasa memiliki jadwal terperinci akan sedikit kesal ketika berhadapan dengan orang yang waktunya sangat fleksibel. Bukan berarti mereka yang memiliki waktu fleksibel lebih buruk, namun bagaimana cara kita mengelola waktu yang menentukan kualitas kita.