Kualitas diri kita terletak pada kemampuan kita menentukan mana yang penting dan mana yang layak untuk dilakukan. Seringnya kita 'terjebak' dalam lingkaran setan yang membuat kita tidak produktif.
Sebagai contoh sederhana, cobalah bertanya kepada diri kita sendiri kegiatan yang lumrah kita lakukan sehari-hari, mana yang lebih mengarah kepada manfaat atau buang waktu?
Pernahkah kita bertanya berapa harga waktu kita? Misalnya, jika ada orang yang membutuhkan kita dan menawarkan sebuah pekerjaan, ketika ditanyakan berapa harga yang harus dibayar untuk satu jam, bisakah kita menjawab dengan percaya diri?
Setiap kita pastinya memiliki sebuah keahlian yang kita dapat baik itu dari sekolah formal atau non-formal, atau ketrampilan yang kita dapat dari sebuah hobi yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Namun, seberapa yakin akan harga yang bisa kita labelkan untuk sebuah keahlian atau ketrampilan yang kita miliki?
Jika dalam sebuah pekerjaan kita dibayar katakanlah 4 juta setiap bulan, dengan waktu seminggu 5 kali, maka kita bekerja 40 jam/minggu, dalam sebulan kita menghabiskan 160 jam. Artinya, kita dibayar 25 ribu/jam. Layakkah?
Nah, angka diatas hanya sebuah ilustrasi untuk menghitung perbandingan harga berdasarkan waktu kerja yang dihabiskan. Jika gaji anda lebih besar anggaplah 6 juta/bulan, maka perjam anda dibayar 37.500 dgn asumsi jam kerja 160 jam/bulan.
Pertanyaan yang sama, apakah harga segitu dianggap layak ?
Masing-masing orang memiliki jawaban yang berbeda, namun satu hal yang pasti jawaban yang anda berikan erat kaitan dengan seberapa penting anda menghargai waktu dan seberapa besar kualitas waktu anda.
Contoh sederhana lainnya, jika seseorang datang meminta bantuan pekerjaan dengan skil yang anda punya, dapatkah anda menyebut nominal yang relevan untuk pekerjaan tersebut? atau anda hanya sekedar menyebut angka asal-asalan?
Kualitas diri berbanding lurus pada kualitas waktu
Dalam beberapa kesempatan, terkadang kita tidak mampu menyebut nominal harga dari sebuah skil disebabkan ketidakmampuan kita menghargai waktu. Â
Dalam budaya timur, umumnya kita terbiasa dengan berleha-leha dalam waktu senggang. Sehingga, konsep kita tentang waktu juga tidak memiliki standar pasti.
Dalam hal janji, kita sangat fleksibel. Jikapun dibatalkan seketika itu bukan masalah besar, kita akan bisa memaklumi. Pun demikian ketika rapat tertentu seringkali pembahasan melebar kesana sini karena memang tanpa persiapan.
Berbeda sekali dengan mereka yang melebel harga dalam waktu. Sebuah janji mesti ditetapkan lebih dulu, ditepati dan kalau dibatalkan harus dikabari lebih awal.
Dalam beberapa kesempatan ketika saya bekerja dengan warga Amerika, saya mengamati cara kerja mereka. Bahkan, semua harus ditetapkan lebih awal, semua mesti ada alasan, sampai rapat pun harus disiapkan dengan poin-poin baru kemudian ditetapkan berapa lama waktu yang dibutuhkan.
Ya, memang bagi mereka waktu harus terjadwalkan dengan baik. Mau hal kecil seperti berkunjung ke rumah, sampai memimpin rapat membutuhkan perkiraan waktu yang ideal.
Kalau di kita mau ngunjung ke rumah teman atau saudara ya kunjung aja, mau ngopi ya ngopi aja. Ga pake ribet buat-buat janji segala.
Kesannya memang seperti itu, tapi dalam beberapa aspek pola penjadwalan memiliki manfaat lebih khususnya menghargai waktu lebih bijak.
Disini saya melihat satu perbedaan besar, umumnya mereka yang menghargai waktu lebih mudah mengetahui harga jual waktu yang mereka miliki ketimbang orang-orang yang memiliki kebiasaan amblas dalam lautan waktu.
Makanya, orang yang terbiasa memiliki jadwal terperinci akan sedikit kesal ketika berhadapan dengan orang yang waktunya sangat fleksibel. Bukan berarti mereka yang memiliki waktu fleksibel lebih buruk, namun bagaimana cara kita mengelola waktu yang menentukan kualitas kita.
Kembali ke topik awal, APA PATOKAN HARGA WAKTU KITA?
Nah, cobalah analisa diri kita masing-masing, apakah kita lebih mudah menjawab IYA akan sebuah tawaran, atau TIDAK untuk hal yang merugikan waktu?
Asumsinya seperti ini, dalam 24 jam setiap hari cobalah analisa kemana waktu kita habiskan? lebih banyak ke hal yang bisa menaikkan kualitas diri kita atau ke hal-hal yang tidak penting?
Ambillah kertas kosong dan buatlah 3 kolom (WAKTU, AKTIFTAS, MANFAAT), lalu tulislah dari jam berapa ke jam berapa kita melakukan satu aktiftas, kemudian di kolom manfaat coba jujurlah ke diri kita bermanfaat atau tidak.
Jika kita bisa menganalisa waktu yang kita habiskan seminggu saja, setidaknya kita sudah punya gambara 1/4 % akan kualitas diri kita. Lebih bagus lagi jika kita mampu konsisten untuk satu bulan penuh.
Kenapa ini penting dilakukan?
Umumnya seseorang akan lebih mudah berkata 'saya gabisa' atau 'saya sibuk'. Tapi, benarkah sebenarnya kita tidak bisa atau memang sedang sibuk?
Atau apakah ini memang menjadi jawaban lumrah karena kita tidak bisa menghargai waktu dengan bijak?
Jawabannya ada pada kita sendiri, akan lebih mudah terjawab dengan cara yang saya tuliskan diatas. Analisa waktu anda setiap jam setiap harinya, tulis dengan jujur sebulan penuh, lalu ambillah kesimpulan kongkrit.
Dengan memiliki gambaran real akan waktu yang terpakai, kita akan lebih mampu memilih jawaban IYA atau TIDAK saat dihadapkan dengan sebuah tawaran.
Berikan harga yang relevan dengan waktu yang anda investasikan. Kembali ke contoh di awal, jika dalam sebulan anda mendapat gaji 6 juta, dengan kalkulasi jam kerja 160 jam/bulan (5 hari kerja perminggu), anda mendapat 37.500/perjam.
Kira-kira dengan investasi pada skil tertentu dengan menguprade kemampuan diri, bisakah anda dihargai 100.000/jam? jawabannya tentu saja bisa, pertanyaannya maukah kita?
Jadi, dengan memahami nilai waktu, kita juga bisa menentukan nilai jual skil yang kita miliki. Saat ada satu tawaran kerja dengan jumlah yang tidak relevan, kita lebih mudah menjawab TIDAK.
Berbeda ketika kita tidak memeliki gambaran kemampuan yang ada pada kita, nilai waktu yang kita miliki lebih murah disebabkan percaya diri yang kurang.
Inilah yang membuat GAP besar antara orang yang mampu menghargai waktu dengan mereka yang tidak. Orang yang pinter menghargai waktu bisa melihat peluang lebih besar dengan nilai tinggi.
Sedangkan mereka yang tidak mengenal diri mereka sendiri akan condong terperangkap dalam ilusi. Akhirnya, orang dalam kelompok ini lebih gampang menerima apapun pekerjaan asal dibayar ketimbang memperkaya diri dengan wawasan/skil tertentu.
Memang tidak ada yang salah dengan bekerja apapun asal halal, namun tidak ada yang salah juga dengan mengupgrade diri dan mempelajari hal-hal baru guna menambah nilai pada diri sendiri.Â
Dalam konteks pekerjaan, orang-orang yang memiliki nilai tambah (added value) akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan perubahan. Kemampuan ini tanpa disadari menjadi penentu nilai jual seseorang dalam sebuah pekerjaan.
Sebuah pertanyaan seperti, "berapa gaji yang anda minta untuk pekerjaan ini"? akan terdengar sulit bagi orang yang tidak mengetahui kualitas dirinya. Namun, bagi mereka yang mengharga waktu, pertanyaan seperti ini akan menjadi nilai tawar yang pastinya menjanjikan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H