Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Tiga Kebiasaan Orangtua yang Menyebabkan Otak Anak Lemah

28 Agustus 2022   11:08 Diperbarui: 30 Agustus 2022   10:49 1548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak kesulitan berpikir (Sumber: shutterstock)

Ukuran otak seorang bayi adalah 1/4 otak orang dewasa. Ketika berumur tiga tahun otak bayi baru mencapai 80% ukuran otak orang dewasa dan di umur lima tahun berada di angka 90%.

A newborn baby has all of the brain cells (neurons) they'll have for the rest of their life, but it's the connections between these cells that really make the brain work.

Uniknya, otak bayi tidak berkembang hanya karena faktor gizi dari makanan. Saat terlahir, seorang bayi sudah memiliki sel otak atau neuron untuk berfungsi normal, namun koneksi antar sel adalah  yang paling dibutuhkan bayi agar otak bisa bekerja. 

Nah, para ilmuan neurology memaparkan bahwa koneksi antar sel ini rupanya terjadi jika ada rangsangan (trigger) dari luar. Yang paling menakjubkan lagi, rangsangan terbaik berasal dari dua hal komunikasi dan interaksi. 

Di beberapa tulisan sebelumnya, saya sudah sering membahasa kedua hal ini, akan tetapi di tulisan ini saya ingin menjabarkan dengan detail. 

Orangtua (ayah dan ibu) memiliki peran penting untuk merangsang koneksi pada otak anak dengan aktif mengajak anak berbicara dan bermain. Dua hal ini menjadi faktor penentu berkembangnya otak anak dengan baik.

Koneksi pada otak berguna dalam tiga hal: Bergerak, Beripikir dan Berkomunikasi. Otak akan mengalami gangguan pada tiga hal ini jika koneksi yang terbentuk di otak tidak maksimal.

At least one million new neural connections (synapses) are made every second, more than at any other time in life.

Bayangkan saja, ada setidaknya satu juta koneksi baru yang dihasilkan setiap detiknya saat umur anak masih di fase 1-5 tahun. 

Di sinilah para ilmuwan berpendapat bahwa koneksi yang terbentuk di tiga tahun pertama saat bayi lahir sangat krusial untuk otak.

Walaupun berat otak hanya 5% dari total berat keseluruhan tubuh, otak membutuhkan 20% oksigen saat istirahat. Intinya, otak menyuplai oksigen agar bisa aktif bekerja. 

Kemampuan kognitif pada otak akan mulai menurun pada umur 20 tahun ke atas karena menyusutnya otak. Pada tahap ini, koneksi mulai mati dan terus digantikan dengan koneksi baru.

Sayangnya, koneksi yang mati lebih cepat terjadi daripada koneksi baru yang terbentuk. 

The neurons die very slowly, but they are created even more slowly. As neurons die off, the brain loses some of its computational ability. 

Fakta lainnya adalah, koneksi yang terbentuk baru di otak tidaklah terjadi dengan cepat. Hal ini disebabkan ketika koneksi lama telah mati atau hilang, otak kehilangan kemampuan komputasi. 

Ibaratnya seperti ini, ketika kita pernah belajar memasak, lalu dalam rentan waktu 20 tahun tidak pernah memasak, maka kita harus belajar dari awal lagi agar otak mampu mengirim sinyal untuk memasak. 

Otak ketika membentuk koneksi baru harus menyesuaikan dengan koneksi yang ada. Artinya, ada rumusan yang harus terlebih dahulu dipelajari oleh jaringan baru sehingga mampu membentuk kemampuan yang dibutuhkan.

Kenapa anak-anak lebih mudah belajar sesuatu hal?

Otak anak di umur 1-3 tahun berkembang sangat cepat dibandingkan orang dewasa. Apapun yang diserap otak akan disimpan untuk menjadi database. Nantinya otak akan membuat sirkuit untuk menyimpan input dalam folder yang berbeda-beda.

Ketika data yang masuk sudah dipilah-pilah, otak akan secara otomatis menerjemahkan data berdasarkan fungsinya. 

Saat seorang anak sejak umur satu tahun sudah diajarkan skill tertetu, misalnya melukis. Maka otak akan menyimpan koneksi tersebut menjadi database. 

Ketika terus menerus dilakukan, maka koneksi yang masuk ke otak semakin banyak dan otak akan semakin mudah mengenali input yang masuk.

Jadi, tidak heran jika ada anak kecil yang bisa berbicara sampai empat bahasa padahal umurnya masih empat tahun. Kebiasaan orangtua sangat mempengaruhi koneksi pada otak anak. 

Ilustrasi otak anak. Sumber :www.freepik.com
Ilustrasi otak anak. Sumber :www.freepik.com

Hal serupa tentu tidak terjadi dengan mudah pada orang dewasa. Otak orang dewasa sudah menyimpan input yang bervariasi. 

Jika orang dewasa mempelajari empat bahasa di umur 30 tahun, maka waktu yang dibutuhkan sangat tergantung oleh cara belajar dan pengulangan.

Sebutan golden age identik dengan kemampuan otak yang sangat optimal di masa 1-7 tahun. Investasi orangtua pada otak anak di tujuh tahun pertama ini sangat menentukan kualitas otak anak. 

Sebaliknya, jika orangtua abai pada perkembangan otak anak di tujuh tahun pertama, maka konsekuensinya anak akan mengalami kesulitan belajar ketika memasuki fase remaja menuju dewasa. 

Apa Saja Kebiasaan Orangtua yang Dapat Membuat Otak Anak Lemah?

1. Memanjakan Anak

Kunci perkembangan otak ada pada cara orangtua berkomunikasi dan berinteraksi. Memenuhi kebutuhan anak pastinya perlu dilakukan, tapi menuruti kemauan anak akan membuat anak tidak membentuk koneksi yang bervariasi.

Karena otak memilah dan memilih input yang masuk berdasarkan kesamaan, orangtua perlu merangsang anak untuk melakukan sesuatu yang berbeda setiap harinya. 

Apa yang terjadi saat anak dimanja? Anak akan terbiasa melakukan hal-hal yang condong sama. Artinya, karena orangtua mengikuti kemauan anak, otak akan menerima input yang terulang.

Misalnya, saat anak ingin sesuatu, orangtua mengabulkan permintaan anak dengan cepat karena takut anak mengamuk, menangis, dan lainnya. Otak akan GAGAL menyimpan input yang berkaitan dengan regulasi emosi.

Yang akan terjadi adalah, otak membentuk rangkaian koneksi (neurons), di mana kemudian otak menerjemahkan permintaan anak harus dipenuhi, jika tidak emosi anak akan terganggu.

Lalu, semakin sering orangtua menuruti kemauan anak, semakin kuat input yang terbentuk di otak anak. Akhirnya, kemampuan regulasi emosi anak tidak lagi bekerja dengan konteks keadaan.

Anak mudah mengamuk, tantrum, dan rewel saat permintaannya tidak dipenuhi. Semua berawal dari cara orangtua membentuk koneksi di otak anak. Ingat dua hal: KOMUNIKASI dan INTERAKSI.

2. Berkata Negatif pada Anak

Positive words encourage cognitive brain function, while negative words activate our fight-or-flight response, which slows cognitive function.

Orangtua yang sering berkata-kata negatif akan dengan mudah membuat otak anak lemot. Kok bisa? Ya, ini memang benar. Kata-kata positif akan membuat kemampuan kognitif bekerja, sementara kata-kata negatif akan memperlambatnya.

Fungsi kognitif dimaknai dengan kemampuan berpikir. Coba bandingkan ketika, misalnya sebagai orangtua, anda berkata:

"Ayo cepat bersihin lantai kontor, itu aja ga bisa" 

atau

"Anak pandai pasti bisa bantu ayah bersihin lantai"

Fokus pada kedua kalimat ini adalah sama MEMBERSIHKAN LANTAI, akan tetapi cara penyampaiannya berbeda, satu mengarah ke negatif, dan satunya lagi memberi kesan positif.

Kira-kira jika kita sebagai anak, mana yang lebih menggerakkan otak kita untuk mau membersihkan lantai? 

Saya rasa jawabannya jelas. Kalimat pertama malah membuat otak tidak mau mengambil inisiatif untuk bergerak.

Nah, di sini perlu digaris bawahi bahwa kalimat-kalimat yag mengandung kata negatif membuat otak anak lebih lambat secara kognitif. Jadi, sangat wajar jika orangtua yang sering berkata-kata negatif, memiliki akan dengan otak lebih lelet. 

Tidak percaya?  

Silahkan buktikan sendiri. Anak-anak yang sering mendengar ucapan negatif dari orangtua di rumah akan mengalami kesulitan belajar karena bagian hippocampus tidak menyimpan memori untuk membantu anak belajar. 

Kemampuan kognitif anak akan berkembang dengan baik jika orangtua sering berinteraksi dan berkomunikasi secara positif dengan anak. Menyemangati dan mendorong anak untuk mau mencoba hal-hal baru.

3. Menakut-nakuti Anak

Agar otak bisa membentuk rangkaian koneksi, maka anak perlu mengalami hal-hal yang menyenangkan. Apa yang terjadi saat anak sering ditakut-takuti?

Input yang masuk ke otak akan mengarah ke hal negatif. Contohnya begini, banyak orangtua yang sering berkata, awas ada hantu, jangan dekat-dekat nanti jatuh, jangan manjat nanti pecah kacanya, dll.

Ucapan seperti diatas terkesan biasa saja, namun ternyata otak merespon ucapan seperti ini dengan membentuk memori yang membuat anak takut untuk melakukan sesuatu.

Kenapa banyak remaja sekolah yang tidak berani bertanya di dalam kelas? Kenapa sangat sedikit anak yang berani mengikuti hal-hal baru di sekolah?

Kebiasaan-kebiasaan dalam rumah akan terbawa aktif ke dalam kelas. Anak-anak yang sangat sering dilarang melakukan sesuatu di rumah juga akan sulit untuk mau mencoba ketika di sekolah.

Contohnya, ketika anak-anak bertanya hal-hal aneh dan orangtua menjawab dengan sinis, "kamu masih kecil nanya yang gak-gak" atau "udah, gak perlu nanya yang gak perlu"

Anak-anak dengan rentan umur 1-7 tahun memang hidup pade fase ingin tahu yang besar. Maka, sangat wajar pertayaan yang muncul kerap aneh di telinga orang dewasa.

Suatu ketika anak saya yang berumur empat tahun bertanya "ayah, kenapa warna awan putih, kok gak merah aja". Saya sekilas berpikir kenapa bisa ia bertanya demikian.

Lantas, saya mencoba menjawab dengan jawaban yang bisa mudah dinalar olehnya. Saya berkata bahwa setiap benda memang punya warna masing-masing, daun berwarna hijau, langit biru, dan awan putih.

Ia lanjut berkata "kok gak merah aja, kan adek suka merah. Ternyata ia mau awan merah karena faktor kesukaan saja. Nah, disini kita bisa memahami bagaimana seorang anak membutuhkan input yang kemudian bermanfaat untuk database otak mereka. 

Orangtua perlu bersabar dan tidak gampang memberikan jawaban yang tidak benar. Mengapa demikian? 

Karena jawaban yang diberikan orangtua, walaupun cuma untuk bercanda, anak akan menyimpan informasi yang didengar sebagai input di otaknya.

Apa yang terjadi jika anak sering ditakut-takuti di rumah oleh orangtua mereka? Sisi kreativitas anak akan tumpul dan fungsi kognitif juga akan berkurang. Anak akan kesulitan untuk meralat sesuatu.

Nah, bagi orangtua ajaklah anak berbicara sesering mungkin di fase umur 1-3 tahun dan juga ajak mereka berinteraksi bersama sesering mungkin. 

Kalau cuma yang diberikan makanan bergizi, otak anak tidak akan berkembang maksimal. Karena gizi yang dibutuhkan oleh otak juga ada pada kemampuan orangtua berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak.

Bagaimana cara agar otak anak tidak lelet? (Baca disini)

Referensi Bacaan (1), (2), (3), (4), (6) Baca juga (7), (8), (9)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun