Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apa yang Harus Dilakukan Orangtua untuk Memupuk Rasa Percaya Diri pada Anak?

23 Agustus 2021   11:47 Diperbarui: 23 Agustus 2021   15:32 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesuksesan Seorang Anak Dimulai dari Rasa Percaya Diri yang baik

Apa kendala terbesar yang menghambat kesuksesan seorang anak? 

Jawabannya bukanlah karena mereka bodoh atau malas, melainkan kurangnya rasa percaya diri.

Mungkin ada yang berkata, "ah, anak saya memang bawaannya malas" atau "memang anaknya yang ga mau belajar", bahkan ada orangtua yang memakai dalih seperti ini, "memang bawaan lahiriahnya begitu".

Ketahuilah bahwa anak itu terlahir dalam keadaan bersih dan polos, orangtua lah yang membentuk kepribadian mereka saat kecil hingga terbentuk sebuah "label".

Salah satu penghambat kesuksesan anak datang dari pola pembiasaan anak saat kecil. 

Sadar atau tidak, pembiasaan ini akan membentuk watak yang juga menjadi sebuah kepercayaan (belief).

Dalam konteks sehari-hari, banyak orangtua yang membiasakan hal-hal buruk yang secara tidak sadar membuat rasa percaya diri anak menjadi rendah dan bahkan berujung pada pesimis. 

Contoh sedehana, seperti selalu membiasakan membantu anak dan tidak membarkan anak mencoba, atau malah memberi pesan dan kesan tidak baik dengan ucapan seperti di bawah ini:

"Sini ayah aja yang kerjain, kamu kan masih kecil"

"Kamu duduk aja, biar mama aja yang masakin nanti kotor"

"Jangan manjat, nanti kamu jatuh dan luka"

"Sudah dibilangin jangan bandel, ngapain dilakuin"

"Kan sudah dibilangin, kamu gak usah ngerjain itu, biar ayah atau mama aja"

Ucapan seperti di atas merupakan rangkaian kalimat yang terlihat biasa saja tapi sebenarnya tidak. 

Anak yang terbiasa mendengar kalimat tersebut akan memiliki kepercayaan seperti itu pula. 

Banyak orangtua yang mungkin memiliki niat baik untuk tidak membiarkan anak melakukan sesuatu yang dianggap "tidak layak" dilakukan oleh anak-anak, namun mereka salah menempatkan ucapan.

Kebiasaan memberikan sugesti ucapan yang condong menakut-nakuti anak akan berdampak pada kurangnya rasa percaya diri. 

Orangtua harus memahami bahwa otak anak membutuhkan input yang benar karena mereka masih dalam keadaan mencari tahu.

Anak dengan rentan umur 1-3 tahun memang sedang dalam tahap pekembangan baik secara fisik atau psikis. 

Artinya perkembangan fisik itu terlihat dari pertumbuhan, namun psikis itu lebih ke kemampuan berekspresi dan berkomunikasi.

Pada tahap umur ini seorang anak memang seharusnya berada dalam lingkungan yang siap memacu kedua pertumbuhan ini dengan baik. 

Pertumbuhan fisik tentu membutuhkan makanan yang bergizi, begitu pula dengan psikis juga membutuhkan asupan "gizi" dengan pola berbeda.

Apa itu?

Ilustrasi percaya diri | Sumber: www.laparent.com
Ilustrasi percaya diri | Sumber: www.laparent.com

Nah, jika kita membandingkan antara kedua perkembangan ini, gizi untuk perkembangan psikis ini sangat jarang diperhatikan orangtua. Padahal ini adalah kunci keberhasilan anak paling utama.

Rasa percaya diri yang tinggi itu tidak datang dari asupan gizi makanan. Tidak percaya? 

Silahkan buktikan sendiri, berikan anak makanan yang bergizi nan sehat, lalu lihat apakah rasa percaya diri mereka berubah. 

Gizi untuk rasa percaya diri yang baik itu ternyata lebih murah dan bahkan tidak perlu uang. 

Meskipun demikian, menumbuhkun rasa percaya diri yang tinggi pada anak itu jelas tidak mudah dan gampang.

Umumnya, orangtua beranggapan bahwa memenuhi gizi untuk pertumbuhan anak itu yang paling utama, akhirnya mereka lupa bahwa ada gizi yang lain yang terlewatkan. 

Cara orangtua berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak merupakan gizi yang menentukan level rasa percaya diri pada anak. 

Kalau anak ingin mengetahui tingkat rasa percaya diri anak, maka caranya sangat mudah.

Coba kembali bertanya seberapa tinggi rasa percaya diri Anda sebagai orangtua. Dan analisa seberapa baik cara Anda berkomunikasi dengan anak serta seberapa sering Anda berinteraksi secara positif bersama anak.

Tentu sebagai orangtua, Anda akan menemukan jawabannya. Rasa percaya diri anak itu mudah sekali ditebak dari orangtuanya. 

Anak adalah cerminan dari orangtua dan rasa percaya diri anak sangat erat kaitannya dengan rasa percaya diri orangtua.

Kenapa demikian? 

Jawabannya seperti ini, orangtua dengan rasa percaya diri yang baik itu akan berinteraksi dengan anak juga dengan pola yang baik. Artinya secara tidak sadar anak akan menyerap pola interaksi dan cara komunikasi orangtua.

Di sini kita akan mudah sekali melihat kualitas orangtua dari sifat anak. Jika anak pemarah dan condong susah diatur, maka sifat orangtuanya juga seperti itu. 

Sebaliknya, jika anak berbicara dengan sopan dan tidak gampang marah, itu semua memang terbawa dari orangtuanya.

Jadi, intinya orangtua sangat memiliki peran untuk membentuk kepribadian anak dengan rasa percaya diri yang tinggi. Caranya? 

Perbaiki cara berinteraksi dengan anak dan cobalah merubah kalimat negatif menjadi positif saat berkomunikasi dengan anak.

Biarkan Anak Mencoba dan Ajari Mereka 

Sebagai orangtua yang bijak, kita seharusnya membiarkan anak mencoba sesuatu yang terlihat baru. 

Membiarkan di sini bukan bermakna tanpa memandu. Peran orangtua adalah mengajarkan nilai-nilai kebaikan bagi anak.

Pembelajaran ini terjadi setiap detiknya seiring anak tumbuh. Pola pertumbuhan anak akan diikuti dengan rangsangan eksternal yang memicu anak mencari tahu. Ini adalah hal yang alamiah bagi input otak anak.

Jadi, saat anak manjat perabotan rumah, melempar mainan, mengecat rumah, mencabut kabel, menangis dll, itu semua adalah PROSES anak BELAJAR. Lalu apa yang seharusnya dilakukan orangtua?

Pertama, masukkan ke dalam pikiran bahwa anak sedang dalam proses belajar dan jangan MARAH. 

Perintahkan ke otak untuk fokus pada MENGAJARI bukan MEMARAHI. Ingat ini dan jangan dibalik!

Saat proses belajar trial dan error seorang anak memang akan memicu emosi orangtua. Maka penting sekali orangtua merubah mindset dari memarahi menjadi mengajari. 

Dalam pola berinteraksi orangtua perlu menyisip pesan baik ke anak agar mereka terbiasan dengan yang baik. 

Misalnya, saat anak memanjat kursi, jangan langsung memarahi anak. Dekati anak dan pegang mereka sambil membisikkan pesan bermakna, "hati-hati ya, turun perlahan".

Di sini anak akan belajar bahwa memanjat itu bukan sebuah kesalahan, namun harus secara hatu-hati. 

Seiring umur betambah anak akan belajar dengan sendirinya dan yang paling penting dia tidak TAKUT.

Jika anak sering dilarang melakukan hal-hal yang seharusnya memang mereka lakukan sebagai proses perkembangan fisik, maka mereka akan mendapat input yang sangat sedikit dan ini akan membuat perkembangan otak terhambat. 

Pesan yang diberikan orangtua akan menjadi kesan yang mereka bawa saat besar. Rasa percaya diri anak tumbuh melalui cara orangtua menghadapi anak saat berkomunikasi. Orangtua dengan pola suka memarahi akan mewarisi rasa percaya diri yang buruk pada anak.

Sedangkan bagi orangtua yang kerap mendampingi anak dan berinteraksi dengan bahasa yang baik, maka mereka akan mewarisi rasa percaya diri yang sangat tinggi pada anaknya.

Mengapresiasi anak saat mereka melakukan sesuatu dengan ucapan yang baik dan positif juga sangat berpengaruh pada rasa percaya diri mereka saat dewasa. 

Ucapan seperti "ayo coba, kamu pasti bisa", "ayah lihat dari sini ya, jangan khawatir pasti bisa" akan meninggalkan pesan postif pada anak.

Sedangkan ucapan seperti "jangan manjat nanti jatuh", "awas nanti bisa pecah", "sudah, pergi sana jangan ganggu adek" akan mengirin pesan buruk pada otak anak dan menjadi input yang melahirkan rasa percaya diri yang buruk pada anak.

Setiap orangtua punya pilihan, apakah ingin terus membiasakan anak dengan pola komunikasi yang buruk atau mulai merubah cara berkomunikasi kepada anak dengan bahasa yang lebih baik dan lembut. 

Sebuah cermin yang bersih akan memantulkan cahaya dengan baik, sama halnya seperti orangtua yang baik akan memantulkan sifat yang baik pula dalam diri anak. 

Ayo, perbaiki cara berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun