Selain rendahnya tingkat literasi, Indonesia juga mengalami masalah serius dalam hal manajemen keuangan di tingkat keluarga. Kebiasaan hidup dengan pola 'jajanan' menjadikan banyak anak dalam keluarga menengah kebawah memiliki 'mindset' keuangan yang membuat mereka terperangkap dalam kemiskinan lebih lama atau bahkan selamanya.
Konsep 'jajanan' dalam lingkup keluarga bisa menjadi awal jebolnya sistem keuangan paling dasar. Tanpa disadari, jika ditelusuri, mungkin hampir 1/3 anggaran keluarga terserap ke jajajan anak baik di sekolah atau diluar sekolah. Hal ini terlihat sederhana tapi sebenarnya adalah sebuah 'bencana'. Benarkah?
Tidak sedikit keluarga yang sangat melek keuangan, apalagi jika merujuk pada kebanyakan keluarga di level menengah kebawah. Hal ini bukan sebuah rahasia, tapi memang sudah menjadi kebiasaan dalam rumah tangga.Â
Anak dibekali uang sebagai jajanan saat disekolah dan diluar sekolah saat ekstrakurikuler berlangsung. Tidak ada yang salah dengan 'uang jajanan', tapi pola pemberian uang tanpa 'plan' dan 'budgeting' akan menimbulkan 'mindset' yang salah dalam hal manajemen uang.
Kenapa 'budgeting' sangat penting dalam keluarga?
Setiap keluarga harus memiliki perencanaan keuangan yang baik agar tidak hidup boros dan yang paling penting adalah mendidik anak untuk paham konsep penggunaan uang secara bijak. Manajemen keuangan dalam keluarga memiliki efek positif dalam hal membangun keluarga secara utuh dengan anggaran yang direncanakan dan dihabiskan tepat sasaran.
Mari kita lihat bagaimana kebanyakan keluarga menghabiskan uang. Seorang ayah memberikan uang kepada istrinya lalu dibelanjakan untuk kebutuhan harian, sebagian lainnya mendarat ditangan anak-anaknya untuk uang jajan sekolah, dan beberapa kebutuhan lainnya yang bisa datang tanpa diundang.Â
Hal ini tentu tak akan selalu sama antar keluarga, ada sebagian ayah yang menjadi 'bank' resmi bagi keluarganya sehingga uang bisa keluar berapapun setiap harinya tanpa catatan.
Apa Kelemahan Sistem Keuangan Rumah Tangga Tanpa 'Budgeting' dan 'Planning'?
1. Uang Keluar tidak Terhitung
Sadar atau tidak, saat sebuah kepala keluarga tidak punya standar perencanaan keuangan dalam rumah, Uang yang keluar tidak akan pernah jelas jumlahnya. Sehingga, seorang Ayah akan kembali bekerja saat uang tidak lagi berada di tabungan atau saku celana. Berbeda jika ada kalkulasi sebelum uang keluar dan saku celana dan mendarat di tangan anak.Â
Saat seorang ayah tidak mencatat pengeluaran, ia tak akan pernah tahu kemana saja uang yang terhabiskan. Buruknya, ia tidak memiliki standar penggunaan uang dengan baik dan bijak. Imbasnya, anak akan terus menadahkan tangan saat ia 'perlu' uang untuk sebuah kebutuhan yang mungkin tidak membawa manfaat.
2. Rendahnya Kesadaran Akan Penggunaan Uang
Perhitungan uang masuk dan uang keluar seharusnya menjadi standar pola hidup. Sayangnya, saat sebuah keluarga menghabiskan uang tanpa sistem 'budgeting' ini akan menimbulkan masalah dalam penggunaan uang.Â
Apalagi saat seorang ayah tidak ada gambaran antara persentase uang masuk dan uang keluar, maka kesadaraan untuk berhemat tidak akan muncul. Dalam perspektif anak, mereka akan condong melihat uang sebagai alat untuk transaksi tapi mereka tidak mendapat nilai manfaat dari apa yang mereka tukarkan. Sehingga, jika harus berkata jujur, dalam jangka panjang anak akan tumbuh dengan prinsip hidup boros.Â
3. Lahirnya Generasi yang Konsumtif
Indonesia adalah negara besar dengan populasi yang besar pula seharusnya saat ini menjadi negara dengan kekuatan ekonomi 10 besar di dunia. Tapi Sayang seribu sayang, kita malah menjadi negara dengan hutang terbesar di dunia. Jangan salahkan siapapun, karena semua kita punya andil untuk mengganti gelar itu.Â
Tanpa kita sadari, pola pemberian uang jajan menjadi gerbang pembentuk 'mindset' menghabiskan uang sehingga menjadikan kebanyakan kita menjadi konsumtif. Anak-anak yang sudah terbiasa mendapatkan uang tanpa dibekali sebuah 'pesan' dari orangtua akan selalu menggunakan uang tanpa perencanaan disertai kebijakan.Â
Jika dalam sebuah wiayah dengan populasi 10.000 penduduk memiliki 1000 anak usia sekolah dengan rata-rata jajanan 10.000 setiap hari maka akan ada perputaran uang 10 juta/hari. fantastis bukan? nah, bagaimana jika rata-rata anak tersebut menghabiskan uang jajan 20.000/hari, tentu perputaran uang akan menjadi 2 x lipat. Ini belum lagi menghitung rata-rata pengeluaran bulanan dalam rumah tangga di sebuah wilayah, dan jika digabungkan akan mengeluarkan angka fantastis bagi perputaran roda perekonomian di suatu tempat.Â
Tanpa ilmu keuangan, sebuah keluarga bisa sangat konsumtif menghabiskan uang kemana saja hingga banyak masalah yang akan muncul seiring tidak adanya saldo yang tersisa. Jadi, terkadang masalah ekonomi keluarga bukan selamanya pada tidak cukupnya uang belanja, melainnya tidak bijaknya berbelanja.
Lantas, Apa Solusinya?
1. Pahami penggunaan uang dengan sistem 'budgeting' dan 'perencanaan'
Setiap keluarga, terlebih kepala keluarga harus punya skema pengeluaran uang berdasarkan standar pemasukan. Pola hidup bisa diatur sejak awal merujuk pada skala kepentingan pengguanaan uang. Misalkan, perkirakan berapa keperluaan harian untuk makan, jajan anak, keperluan kesehatan jika keluarga sakit dan tabungan untuk jangka panjang.Â
Jika setiap keluarga punya kalkulasi yang jelas berapa pengeluaran uang bulanan, ini akan mempermudah kepala keluarga untuk membuat 'budgeting' agar jelas perencanaan keuangan dalam rumah. Â
Adapun anak, jika diberikan uang tanpa perencanaan, maka ini akan membentuk pola pikir yang salah dalam hal pemanfaatan uang.Â
Sebagai Ayah, alangkah bijaknya jika ada anggaran tertentu untuk anak yang lebih dahulu didiskusikan bersama bersama sang ibu. Besaran uang jajan anak harus dilihat dari sisi manfaat yabg didapat. Jadi, anak akan memiliki jumlah bulanan yang tepat disertai sebuah 'pesan' dsri orangtua bahwa jika uang habis, maka konsekuensinya ia akan kehilangan jatah uang dihari selanjutnya.Â
Sisi positifnya, anak akan belajar tanggung jawab dan sekaligus bisa mengatur penggunaan uang dengan bijak dan menghindari membeli sesuatu yang berlebihan dari kebutuhan. Memang ini terlihat simpel, tapi jika diaplikasikan akan terlihat dampak positif yang luar biasa dalam diri anak.Â
Saya punya teman dari Amerika yang dulunya dibiasakan memegang uang terbatas oleh ayahnya. Bahkan, jika habis sebelum waktunya, ayahnya tidak akan memberikan tambahan sama sekali. Alhasil, ia terbuka pikiran untuk mencari uang tambahan sendiri dengan membuat sangkar burung di garasi rumah yang ia jual kemudian uangnya ia tabung dan pergunakan untuk membeli kebutuhannya.Â
Orangtua harus rela untuk tidak 'menyuapi' anak dengan uang setiap hari. Kalau anak terus diberikan uang setiap hari dengan jumlah berubah-rubah ini juga akan membentuk sebuah 'mindset' bahwa ayah adalah mesin Uang yang bisa diminta kapanpun. Anak tidak akan merengek2 saat tidak diberikan uang karena ia tak paham cara menggunakan uang jika tidak diajarkan dengan cara pembiasaan yang baik.Â
Anak akan malas berusaha
Hal buruk lainnya adalah timbul rasa malas dalam diri anak karena terbiasa menerima dan meminta. Jika ini terus berlanjut maka anak tidak akan belajar bagaimana sulitnya mendapatkan uang saat ia dibiasakan  untuk menghabiskan.Â
Seorang ayah harus berfungsi sebagai "a good money manager' dimana pengelolaan uang dalam keluarga harus jelas, melibatkan semuanya dengan pesan yang diselipkan saat uang diberikan. Bagi banyak keluarga, anak tidak dilibatkan untuk membuat tata kelola keuangan dengan anggapan mereka terlalu kecil untuk belajar tentang uang. Padahal, sejak kecil seharusnya anak sudah terbiasa dalam mengelola uang sendiri dengan cara sesuai umur dan pemahaman.Â
Contoh kecil yang bisa dilakukan orangtua, saat berbelanja di warung atau pasar atau supermarket, ajaklah anak bersama. Biarkan anak mengambil barang dan jelaskan nilai barang yang mereka beli. Dengan sendirinya anak akan tahu berapa uang yang kerap dikeluarkan keluarga perminggu.Â
Sesekali biarkan anak yang membayar belanjaan dengan uang yang orangtua berikan. Saat pulang kerumah ajak anak diskusi apa saja yang sudah dibeli, berapa yang dihabiskan, dan apa manfaat dari barang yang dibeli. Disini anak akan belajar praktek mengelola uang  langsung dari seorang ayah dan paling utama anak akan belajar nilai manfaat dari apa yang dibelanjakan.
Percayalah, kebiasaan kecil seperti ini akan mampu merubah pola hidup seorang anak dan sangat berguna saat anak dewasa. Hampir sebagian besar orang yang saya kenal berhasil saat dewasa secara finansial berkat contoh dan pembiasaan saat kecil. Bahkan, rata-rata teman saya dari Amerika memiliki manajemen keuangan yabg baik karena latar belakang keluarga dengan pembiasaan pengelolaan uang yang benar saat kecil.Â
Semua dimulai dari rumah dan diawali oleh kepala keluarga. Mulai sekarang cobalah libatkan anak saat berbelanja dan ajari mereka nilai barang yang dibeli dan sisi manfaat yang didapat. Jika perlu, belikan mereka buku khusus untuk mencatat pengeluaran dan diskusikan setiap akhir minggu atau bulan apa saja yabg dibeli dan jumlah uang dihabiskan. Nantinya anak akan tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung awan, teliti, dan bijak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H