Guru, digugu lan ditiru (dipatuhi dan diikuti) kata orang Jawa. Oleh sebab itulah di tengah-tengah masyarakat Jawa, derajat seorang guru ditinggikan. Masyarakat Jawa tempo dulu bahkan menganggapnya sebagai orang suci, setingkat dengan kaum brahmana.
Selama 12 tahun menimba ilmu, saya telah mengenal lebih dari 25 orang guru. Bagi saya, selain kedua orang tua, merekalah yang menjadi sumber mekarnya akal dan nalar saya untuk mengarungi kehidupan. Tanpa mereka, barangkali kemampuan otak saya takkan berkembang seperti saat ini.
Selama menjalin relasi dengan guru di sekolah, tentu ada banyak kesan yang hingga kini masih tersimpan dalam ingatan. Ada guru yang galak, sabar, penyayang, rajin, malas, tegas, sampai guru-guru yang sepertinya tidak serius dalam mengajar.Â
Penilaian itu tentu muncul sesuai pengalaman yang saya alami saat pembelajaran di sekolah. Akan tetapi, soal kehidupan pribadi mereka jelas saya tidak berhak untuk menilai, selain guru-guru yang tinggal di sekitar saya.
Namun demikian, setelah saya lulus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan mendapat kesempatan selama beberapa bulan untuk membantu di bengkel praktik, saya berkesempatan untuk sedikit memotret kehidupan para guru tersebut. Dengan berubahnya status murid menjadi rekan kerja, mereka lebih terbuka dengan bercerita tentang tetek bengek dinamika kehidupan pribadi yang mereka alami.
Salah seorang guru yang waktu itu dekat dengan saya adalah Pak B. Ia berusia 45 tahun, masih guru honorer dan katanya tak mungkin menjadi guru PNS. Meski ia tak mengungkapkan alasannya secara rinci, namun saya menduga usia menjadi halangannya.
Menurut penuturannya, ia digaji berdasarkan jam mengajar. Jika tidak salah ingat untuk setiap jam pelajaran ia mendapatkan gaji 18 ribu rupiah (kurun waktu 2004-2008). Pak B termasuk guru honorer yang beruntung karena mendapatkan jam yang padat. Dalam seminggu setidaknya ia mengajar 4 hari penuh. Guru-guru yang lain yang memiliki jadwal lebih longgar terpaksa mencari sekolah lain yang membutuhkan jasanya dalam upaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Ada kalanya mereka pun kekurangan biaya untuk menanggung biaya hidup seperti membayar uang sekolah anak-anaknya dan biaya rumah tangga lainnya. Oleh karena itu, hutang menghutang tidak lagi menjadi hal yang rahasia.Â
Keluh kesah mengenai susahnya dalam mengarungi kehidupan pun sering saya dengar, seperti halnya dengan keluhan warga-warga di kampung saya. Oleh karenanya saya berkesimpulan bahwa dinamika kehidupan guru-guru saya tidak jauh berbeda dengan keluarga saya, keluarga petani.
Potret kehidupan guru-guru saya itu tak sekalipun nampak ketika saya menjadi murid. Saat mengajar, mereka tak sekalipun mereka meluapkan keluh kesah. Raut-raut masam tak terlihat dan digantikan dengan pribadi-pribadi yang menggelora menyemangati murid-muridnya untuk menggapai masa depan yang lebih cerah. Sungguh, hal ini menambah rasa kagum saya terhadap mereka.
Ihwal nasib guru honorer yang tak menentu, memang bukan cerita yang asing di telinga. Bahkan, warga masyarakat di desa saya pun tak jarang membicarakan mengenai profesi ini. Meskipun, dinamika ekonomi yang tak menentu dan serupa dengan yang mereka alami itu tidak dianggap menjadi persoalan serius. Warga desa berpendapat, sesusah apapun mereka, kelak akan menuai hasil yang lebih baik dari pada profesi petani maupun buruh.
Beberapa warga desa saya yang mampu melanjutkan sekolah di perguruan tinggi pun ada yang mencoba peruntungan sebagai guru honorer. Kendati demikian, beberapa dari mereka yang tidak mampu hidup dengan jaminan ekonomi yang pas-pasan memilih untuk berhenti. Mas U misalnya, setelah beberapa waktu menjadi guru honorer, ia memilih untuk mundur dan beralih profesi lain yang menurutnya lebih menjanjikan. Kini ia menjadi satpam di sebuah lokasi wisata.
Baru-baru ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim mencetuskan ide marketplace guru yang konon akan diimplementasikan pada tahun 2024. Katanya, marketplace guru merupakan database guru yang dapat diakses oleh seluruh sekolah di Indonesia.Â
Dengan platform tersebut, sekolah-sekolah yang kehilangan Guru PNS -karena meninggal atau pensiun- akan lebih cepat mendapatkan pengganti sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dengan mudah. Pihak sekolah cukup memilih guru baru melalui platform tersebut. Mendikbud Ristek menyatakan bahwa inovasi ini akan menjadi solusi lambatnya pengangkatan guru dari pemerintah pusat yang hanya setahun sekali itu.Â
Ide Mendikbud Ristek ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Salah satunya adalah istilah "marketplace" yang seolah-olah menjadikan guru sebagai sebuah produk dagangan. Selain itu, platform ini dianggap akan menimbulkan kesewenang-wenangan sekolah dalam mengangkat dan memberhentikan guru.
Seperti yang kita ketahui bersama, Nadiem Makarim yang menjabat Mendikbud Ristek saat ini merupakan pendiri Gojek. Sepertinya, ide marketplace guru tersebut setali tiga uang dengan perusahaan transportasi berbasis daring itu.
Jika kita telisik kemunculan Gojek, maka latar belakangnya adalah perkembangan teknologi yang kian masif belakangan ini. Kemajuan zaman semacam ini memang menjadi hal yang tak dapat ditampik. Dengan demikian menyesuaikan kondisi zaman merupakan keniscayaan agar mampu bertahan. Tindakan tersebut tentu dengan juga menanggung berbagai resiko yang turut membuntutinya.
Seperti yang kita ketahui bersama, kemunculan Gojek telah menjawab persoalan transportasi di Indonesia. Warga yang membutuhkan ojek tak perlu lagi untuk datang ke pangkalan, sebab dengan jentikan jari saja tukang ojek akan datang menjemputnya. Mereka tidak perlu lagi berdebat soal harga, karena semua telah diatur secara sistematis. Pun demikian dengan metode pembayaran, dompet digital yang sepaket dengan Gojek kian membuat layanan itu praktis.
Kesuksesan Nadiem Makarim dalam mengembangkan Gojek itulah yang sepertinya menggerakan hati Presiden Joko Widodo untuk menempatkannya sebagai seorang menteri dalam kabinetnya.Â
Barangkali tujuannya agar pengalamannya dapat diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dan benar saja, kini ia mencoba mengejawantahkan pengalamanya dalam mengembangkan Gojek untuk menjawab persoalan dalam dunia pendidikan melalui inovasi marketplace guru tersebut.
Namun, yang menjadi persoalan penerapan ide tersebut adalah status guru dianggap sebagai profesi yang istimewa dan tidak bisa disamakan dengan tukang ojek. Sebab, guru merupakan pionir dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kata lain, mereka menjadi salah satu penentu maju maupun mundurnya bangsa ini.Â
Disisi lain, anggapan guru sebagai profesi yang penting belum diimbangi dengan memperhatikan nasib kehidupan mereka. Kondisi tersebut tentunya harus segera mendapat perhatian khusus yang menjamin kehidupan mereka dengan lebih baik lagi.Â
Dengan menimbang berbagai fakta diatas, menurut hemat saya, marketplace guru merupakan baik yang patut untuk dicoba. Kendati demikian, dengan munculnya pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, implementasi ide tersebut seyogyanya harus memperhatikan beberapa catatan.
Pertama, Mendikbud Ristek semestinya mendengarkan pendapat para guru honorer. Sebab, merekalah yang nantinya akan terdampak langsung kebijakan tersebut. Dengan demikian, ada win win solution antara pembuat kebijakan dan yang terdampak keberadaan kebijakan tersebut.
Kedua, apalah arti sebuah nama kata pepatah. Namun, nama bukan berarti tidak penting. Istilah marketplace yang berkonotasi dengan bisnis patut untuk dihindari agar inovasi ini tidak dipandang hanya sebagai upaya untuk memperdagangkan guru yang selama ini dianggap profesi yang suci seperti yang saya sampaikan sebelumnya.
Ketiga, marketplace guru -atau yang nantinya disebut dengan nama lain- semestinya mampu menyelenggarakan sistem penilaian guru yang fair dan objektif. Maksud dari sistem yang adil ini agar setiap guru yang terdaftar dalam platform tersebut mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan.Â
Keempat, seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi wabah yang menggerogoti bangsa ini. Dalam platform tersebut menurut hemat saya masih memberikan celah untuk melakukan tindakan amoral itu. Sebagai contoh, pihak sekolah bisa saja memilih guru yang telah memberikan uang sogokan, atau guru yang memiliki kedekatan kekeluargaan maupun kelompok tertentu. Jadi, persoalan ini semestinya mampu diantisipasi sedini mungkin.
Kelima, salah satu tujuan inovasi itu adalah untuk mensejahterakan guru. Berbagai kabar mengatakan jika upah akan ditanggung oleh negara dan disampaikan melalui sekolah terkait. Metode ini barangkali juga masih memberikan celah kepada instansi sekolah untuk menyelewengkan hak guru tersebut. Oleh karenanya ada baiknya jika upah tersebut disampaikan langsung kepada guru yang bersangkutan seperti halnya dalam sistem pembayaran Gojek.
Keenam, pengangkatan guru memiliki dokumen perjanjian kerja yang pasti dan mendapat perlindungan hukum. Dengan demikian, pihak sekolah tidak dapat berlaku sewenang-wenang untuk memberhentikan guru yang telah mereka pilih.
Ketujuh, guru merupakan pionir dalam meningkatkan mutu pendidikan bangsa. Pengalaman saya di sekolah dulu, tidak semua guru bertanggung jawab penuh atas profesinya. Oleh karenanya inovasi yang direncanakan oleh pemerintah ini juga seharusnya diimbangi dengan niatan tulus para calon guru agar senantiasa meningkatkan mutu pribadi agar mampu meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini.
Dengan usia bangsa yang sebentar lagi menginjak usia 78 tahun, pendidikan di negeri ini dapat dikatakan masih tertinggal dari negara-negara lain. Inovasi-inovasi baru sudah semestinya terus dilakukan agar kondisi pendidikan semakin membaik. Ide semacam platform marketplace guru meski kini menuai anggapan yang kurang baik, namun barangkali menjadi langkah awal untuk semakin mencerdaskan bangsa ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H