Ihwal nasib guru honorer yang tak menentu, memang bukan cerita yang asing di telinga. Bahkan, warga masyarakat di desa saya pun tak jarang membicarakan mengenai profesi ini. Meskipun, dinamika ekonomi yang tak menentu dan serupa dengan yang mereka alami itu tidak dianggap menjadi persoalan serius. Warga desa berpendapat, sesusah apapun mereka, kelak akan menuai hasil yang lebih baik dari pada profesi petani maupun buruh.
Beberapa warga desa saya yang mampu melanjutkan sekolah di perguruan tinggi pun ada yang mencoba peruntungan sebagai guru honorer. Kendati demikian, beberapa dari mereka yang tidak mampu hidup dengan jaminan ekonomi yang pas-pasan memilih untuk berhenti. Mas U misalnya, setelah beberapa waktu menjadi guru honorer, ia memilih untuk mundur dan beralih profesi lain yang menurutnya lebih menjanjikan. Kini ia menjadi satpam di sebuah lokasi wisata.
Baru-baru ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim mencetuskan ide marketplace guru yang konon akan diimplementasikan pada tahun 2024. Katanya, marketplace guru merupakan database guru yang dapat diakses oleh seluruh sekolah di Indonesia.Â
Dengan platform tersebut, sekolah-sekolah yang kehilangan Guru PNS -karena meninggal atau pensiun- akan lebih cepat mendapatkan pengganti sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dengan mudah. Pihak sekolah cukup memilih guru baru melalui platform tersebut. Mendikbud Ristek menyatakan bahwa inovasi ini akan menjadi solusi lambatnya pengangkatan guru dari pemerintah pusat yang hanya setahun sekali itu.Â
Ide Mendikbud Ristek ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Salah satunya adalah istilah "marketplace" yang seolah-olah menjadikan guru sebagai sebuah produk dagangan. Selain itu, platform ini dianggap akan menimbulkan kesewenang-wenangan sekolah dalam mengangkat dan memberhentikan guru.
Seperti yang kita ketahui bersama, Nadiem Makarim yang menjabat Mendikbud Ristek saat ini merupakan pendiri Gojek. Sepertinya, ide marketplace guru tersebut setali tiga uang dengan perusahaan transportasi berbasis daring itu.
Jika kita telisik kemunculan Gojek, maka latar belakangnya adalah perkembangan teknologi yang kian masif belakangan ini. Kemajuan zaman semacam ini memang menjadi hal yang tak dapat ditampik. Dengan demikian menyesuaikan kondisi zaman merupakan keniscayaan agar mampu bertahan. Tindakan tersebut tentu dengan juga menanggung berbagai resiko yang turut membuntutinya.
Seperti yang kita ketahui bersama, kemunculan Gojek telah menjawab persoalan transportasi di Indonesia. Warga yang membutuhkan ojek tak perlu lagi untuk datang ke pangkalan, sebab dengan jentikan jari saja tukang ojek akan datang menjemputnya. Mereka tidak perlu lagi berdebat soal harga, karena semua telah diatur secara sistematis. Pun demikian dengan metode pembayaran, dompet digital yang sepaket dengan Gojek kian membuat layanan itu praktis.
Kesuksesan Nadiem Makarim dalam mengembangkan Gojek itulah yang sepertinya menggerakan hati Presiden Joko Widodo untuk menempatkannya sebagai seorang menteri dalam kabinetnya.Â
Barangkali tujuannya agar pengalamannya dapat diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dan benar saja, kini ia mencoba mengejawantahkan pengalamanya dalam mengembangkan Gojek untuk menjawab persoalan dalam dunia pendidikan melalui inovasi marketplace guru tersebut.
Namun, yang menjadi persoalan penerapan ide tersebut adalah status guru dianggap sebagai profesi yang istimewa dan tidak bisa disamakan dengan tukang ojek. Sebab, guru merupakan pionir dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kata lain, mereka menjadi salah satu penentu maju maupun mundurnya bangsa ini.Â