Mohon tunggu...
Mustopa
Mustopa Mohon Tunggu... Petani - Petani

Bercerita dari desa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hari Krida Pertanian dan Pranata Mangsa yang Tak Populer

21 Juni 2023   07:40 Diperbarui: 22 Juni 2023   16:01 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Matahari terbit pada bulan Juni. Sumber: dokumentasi pribadi

Dibandingkan dengan hari besar lain, Hari Krida Pertanian yang bertepatan dengan tanggal 21 Juni memang kalah populer. Kalender nasional pun tak berwarna merah sebagaimana hari-hari besar lain. Mungkin memang bukan hari besar, hanya sebatas hari khusus untuk memperingati perjuangan para insan petani di Indonesia.

Menurut beberapa kabar yang saya baca, pemilihan tanggal 21 Juni karena bertepatan dengan siklus pergantian musim yang digunakan oleh masyarakat Jawa, yakni pranata mangsa (baca: pranoto mongso). Beberapa kabar lain menyebutkan pada hari itu matahari sedang berada di garis balik utara (tropic of cancer), tepatnya berada di garis lintang 23,5° LU.

Mengenai siklus pergantian musim pranata mangsa, saya dapat mengkonfirmasinya dengan mudah melalui kalender almanak dinding di rumah saya. Selain itu, sebagai bagian dari masyarakat Jawa yang juga berprofesi sebagai petani, pranata mangsa merupakan istilah yang tidak asing bagi saya.

Pranata mangsa merupakan kalender musim yang umum digunakan oleh masyarakat Jawa. Meskipun lebih dikenal sebagai panduan untuk bercocok tanam, namun dalam praktik yang dilakukan oleh masyarakat di desa saya dan sekitarnya, pranata mangsa juga digunakan untuk panduan aktivitas lainnya seperti membangun rumah, menikah, memotong bambu dan kayu serta ada beberapa warga yang menggunakannya untuk mengetahui watak anak yang baru dilahirkan.

Sejarah pranata mangsa

Pengetahuan mengenai siklus musim pranata mangsa ditemukan dan digunakan oleh masyarakat Jawa sejak dahulu kala. Mereka kemudian mewariskannya melalui tradisi lisan seperti pitutur, wejangan dan nasihat. 

Selain itu, berbagai pengetahuan tersebut juga berhasil tercatat oleh kalangan bangsawan pada abad ke-18 melalui Kitab Primbon dan serat (tulisan) lainnya. Karya-karya itulah yang saat ini menjadi panduan oleh sebagian masyarakat Jawa sebagai rujukan.  

Salah satu karya tulis bangsawan Jawa mengenai pranata mangsa yakni Kitab Primbon Qomarrulsyamsi Adammakna yang dihimpun oleh Ir. Wibatsu Harianto Soembogo dan R W Radya Soembogo dengan tulisan asli milik Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat. Di dalam primbon tersebut dijelaskan bahwa  pranata mangsa bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Jawa.

Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, ketentuan yang digunakan oleh para petani dalam kalender pranata mangsa telah digunakan oleh masyarakat Jawa semenjak dahulu kala. Akan tetapi pengetahuan tersebut tercerai berai, dan pada tahun 1856 Masehi baru terbangun kembali. 

Lahirnya ketentuan baru itu tidak terlepas dari proses perubahan penggunaan kalender Jawa yang sebelumnya menggunakan kalender Syamsiah (peredaran matahari) menjadi kalender Qomariah (peredaran bulan).

R Tanaya di dalam Kabudayan Paugeraning Tahun Jawa yang telah dialih aksarakan oleh Yayasan Sastra Lestari membeberkan perubahan sistem kalender tersebut. Tahun Saka yang menjadi sistem kalender sebelum perubahan itu, bahkan telah digunakan sebelum kedatangan agama Hindu di Jawa. Tahun Saka merupakan tahun yang mengacu pada peredaran matahari (tahun Syamsiah) yang terhitung mulai dari Raja Saliwagna yang dikenal dengan Prabu Saka atau Sang Aji Saka.

Pada masa Kerajaan Mataram Islam, Sri Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Agung berniat untuk merubah sistem kalender tersebut menjadi kalender Qomariah yang mengacu pada peredaran bulan untuk menyesuaikan dengan kalender Islam, Hijriah. 

Di dalam perubahan tersebut Ia menggabungkan kalender berdasarkan kebudayaan Jawa, Hindu dan Arab. Perubahan kalender Jawa itu terjadi pada tahun 1633 Masehi yang bertepatan dengan 1043 Hijriah dan 1555 Saka.

Konon, pasca perubahan kalender tersebut masyarakat petani Jawa menjadi kebingungan. Sebab kalender Qomariah tidak dapat digunakan oleh petani sebagai panduan bercocok tanam. 

Lebih dari dua abad kemudian setelah Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta barulah petani mendapatkan panduan baru, sistem kalender pranata mangsa yang telah dibakukan. 

Sindhutama dalam Seri Lawasan Pranata Mangsa menyampaikan jika pembakuan itu dilakukan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana ke-VII di Surakarta pada tahun 1856.

Merujuk pada Kitab Primbon Qomarrulsyamsi Adammakna, kalender pranata mangsa berdasarkan jumlah hari dalam satu tahun terbagi menjadi dua jenis yakni tahun Wastu dan tahun Wuntu

Tahun Wastu (tahun lak) merupakan tahun pendek dengan jumlah umur 365 hari, pada tahun ini mangsa kawolu (musim kedelapan) usianya dikurangi satu hari menjadi 26 hari. 

Sedangkan tahun Wuntu merupakan tahun panjang dengan umur 366 hari, pada tahun ini usia mangsa kawolu berumur 27 hari. Tahun Wuntu ditentukan setiap 4 tahun sekali dengan ketentuan jika angka tahun dapat dibagi 4 maka disebut tahun Wuntu, selain tahun tersebut merupakan tahun Wastu.

Tahun Wuntu dan tahun Wastu tersebut serupa dengan tahun Basithah dan Kabisat pada kalender Masehi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Kalender pranata mangsa hampir serupa dengan kalender Masehi yang digunakan secara nasional saat ini. 

Seperti yang diulas sebelumnya, persamaannya terletak pada sistem perhitungan yang menggunakan peredaran matahari, jumlah bulan/musim, dan jumlah hari dalam satu tahun. Namun begitu dalam kalender pranata mangsa, jumlah hari dalam 1 musim berbeda-beda mulai dari 23 hari hingga 43 hari.

Pembagian musim dalam pranata mangsa

Nama musim dalam kalender pranata mangsa menggunakan nomor pengurutan dalam bahasa Jawa. Musim-musim tersebut diawali dari mangsa kasa(41 hari), karo(23 hari), katelu(24 hari), kapat(25 hari), kalima(27 hari), kanem(43 hari), kapitu(43 hari), kawolu(26 hari), kasanga(25 hari), kasadasa(24 hari), dhesta(23 hari), dan sadha(41 hari). Keduabelas musim tersebut masih diklasifikasikan berdasarkan situasi yang dialami oleh petani serta pembagian berdasarkan cuaca yang terjadi.

Dalam pembagian musim berdasarkan situasi yang dialami oleh petani, musim dibagi menjadi enam mangsa yang meliputi mangsa terang, mangsa paceklik, mangsa semplah, mangsa udan, mangsa pangarep-arep dan mangsa panen. Mangsa terang (musim tanpa hujan) berusia 82 hari yang terdiri dari mangsa sadha dan mangsa kasa.

Mangsa terang diapit oleh dua musim yang berlawanan yakni mangsa panen (dhesta) dan mangsa paceklik (mangsa karo). Mangsa panen merupakan musim dengan bahan pangan melimpah, sedangkan mangsa paceklik merupakan musim kekurangan bahan makanan.

Pasca mangsa terang kemudian datang mangsa semplah (musim putus asa) (99 hari) yang merupakan kelanjutan dari musim paceklik. Kehidupan dirasa semakin mencekik karena bahan makanan semakin berkurang. Musim tersebut terjadi pada mangsa karo, katelu, kapat dan kalima.

Yang terakhir adalah mangsa udan selama 86 hari yang terdiri dari mangsa kanem dan mangsa kapitu. Di dalam musim ini petani mulai bercocok tanam karena musim hujan telah datang. Kemudian datang mangsa pengarep-arep (musim pengharapan) selama 98/99 hari yang meliputi mangsa kawolu, kasanga, kasadasa (Handayani, Prasetya, & Wilujeng, 2018: 38).

Sedangkan pembagian musim berdasarkan cuaca yang terjadi terdiri dari empat musim, yakni ketiga, labuh, rendheng, dan mareng. Mangsa ketiga merupakan musim kemarau dengan usia 88 hari yang meliputi mangsa kasa, karo, dan katelu. Kemudian disusul mangsa labuh (95 hari) yang meliputi mangsa kapat, kalima dan kanem. Musim labuh merupakan peralihan antara musim ketiga dan rendheng. Pada musim ini hujan mulai turun, petani sawah mulai mengerjakan sawahnya.

Setelah mangsa labuh kemudian tibalah mangsa rendheng (94/95 hari) yang merupakan musim penghujan dimana hujan telah turun banyak yang meliputi mangsa kapitu, kawolu dan kasanga. Yang terakhir adalah mangsa mareng yang berusia 88 hari dimana kondisi cuaca tidak menentu. Musim mareng terdiri dari mangsa kasadasa, dhesta, dan sadha (Handayani, Prasetyo, & Wilujeng, 2018: 37).

Implementasi pranata mangsa

Dalam dunia pertanian dikenal dua jenis pola bertani berdasarkan lahan yang digarap yakni pertanian lahan basah dan lahan kering. Keduanya memiliki perbedaan yang mencolok dalam hal ketersediaan air serta letak geografis lahan. Lahan basah umumnya terletak di daerah dataran rendah, sedangkan lahan kering terletak di daerah yang lebih tinggi. Jenis lahan tersebut sangat berpengaruh terhadap penggunaan pranata mangsa dan pembagian mangsa-mangsa yang lain.

Menurut pengamatan saya, pranata mangsa yang kini digunakan berpedoman pada lahan tempat pembakuan kalender tersebut, yakni daerah Surakarta. Sedangkan lahan yang menjadi objek pengamatan merupakan lahan basah yang tanaman pokoknya berupa padi. Oleh karena itu, petani Jawa yang bercocok tanam di lahan kering kemungkinan besar menemukan ketidaksesuaian dengan ciri-ciri yang kini telah disebutkan dalam berbagai literasi tersebut.

Kalender pranata mangsa merupakan sistem yang fleksibel. Bagi para petani, perbedaan tersebut tidaklah menjadi persoalan. Hal tersebut seperti halnya yang dilakukan oleh para petani di desa saya. 

Pranata mangsa hanya dijadikan sebagai patokan, sedangkan ciri-ciri setiap musim akan diobservasi secara mandiri oleh para petani. Mereka menggunakan pengalaman selama bertahun-tahun untuk memahami dan memprediksi musim tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, observasi tersebut dikenal dengan istilah ngelmu titen (pengetahuan melalui pengamatan/observasi).

Pranata mangsa hari ini

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, tanda-tanda alam merupakan objek observasi bagi masyarakat petani. Tepat atau tidaknya sangat bergantung kepada kondisi alam. 

Akhir-akhir ini banyak petani yang mengeluh karena musim tidak lagi sesuai dengan kondisi pada zaman dahulu. Musim yang biasanya turun hujan ternyata terik matahari yang datang.

Pun begitu sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa alam sedang bergejolak tanpa tahu sebab musababnya. Isu-isu mengenai pemanasan global dan perubahan iklim yang kini mencuat agaknya telah dirasakan oleh petani dengan bergesernya ketepatan pranata mangsa tersebut.

Nasib pranata mangsa hari ini hampir serupa dengan peringatan Hari Krida Pertanian. Keduanya tidak populer. Sejalan dengan keduanya adalah profesi bertani yang semakin hari semakin menurun. 

Anak-anak muda tidak lagi tertarik dengan dunia pertanian. Kuno, kotor, dan tidak menghasilkan, begitu kira-kira kata mereka. Mengenai semua itu saya sering merenungkan kata-kata petani tua di desa saya, Pancen wis tekan zamane (Memang sudah sampai pada zamannya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun