Dalam pembagian musim berdasarkan situasi yang dialami oleh petani, musim dibagi menjadi enam mangsa yang meliputi mangsa terang, mangsa paceklik, mangsa semplah, mangsa udan, mangsa pangarep-arep dan mangsa panen. Mangsa terang (musim tanpa hujan) berusia 82 hari yang terdiri dari mangsa sadha dan mangsa kasa.
Mangsa terang diapit oleh dua musim yang berlawanan yakni mangsa panen (dhesta) dan mangsa paceklik (mangsa karo). Mangsa panen merupakan musim dengan bahan pangan melimpah, sedangkan mangsa paceklik merupakan musim kekurangan bahan makanan.
Pasca mangsa terang kemudian datang mangsa semplah (musim putus asa) (99 hari) yang merupakan kelanjutan dari musim paceklik. Kehidupan dirasa semakin mencekik karena bahan makanan semakin berkurang. Musim tersebut terjadi pada mangsa karo, katelu, kapat dan kalima.
Yang terakhir adalah mangsa udan selama 86 hari yang terdiri dari mangsa kanem dan mangsa kapitu. Di dalam musim ini petani mulai bercocok tanam karena musim hujan telah datang. Kemudian datang mangsa pengarep-arep (musim pengharapan) selama 98/99 hari yang meliputi mangsa kawolu, kasanga, kasadasa (Handayani, Prasetya, & Wilujeng, 2018: 38).
Sedangkan pembagian musim berdasarkan cuaca yang terjadi terdiri dari empat musim, yakni ketiga, labuh, rendheng, dan mareng. Mangsa ketiga merupakan musim kemarau dengan usia 88 hari yang meliputi mangsa kasa, karo, dan katelu. Kemudian disusul mangsa labuh (95 hari) yang meliputi mangsa kapat, kalima dan kanem. Musim labuh merupakan peralihan antara musim ketiga dan rendheng. Pada musim ini hujan mulai turun, petani sawah mulai mengerjakan sawahnya.
Setelah mangsa labuh kemudian tibalah mangsa rendheng (94/95 hari) yang merupakan musim penghujan dimana hujan telah turun banyak yang meliputi mangsa kapitu, kawolu dan kasanga. Yang terakhir adalah mangsa mareng yang berusia 88 hari dimana kondisi cuaca tidak menentu. Musim mareng terdiri dari mangsa kasadasa, dhesta, dan sadha (Handayani, Prasetyo, & Wilujeng, 2018: 37).
Implementasi pranata mangsa
Dalam dunia pertanian dikenal dua jenis pola bertani berdasarkan lahan yang digarap yakni pertanian lahan basah dan lahan kering. Keduanya memiliki perbedaan yang mencolok dalam hal ketersediaan air serta letak geografis lahan. Lahan basah umumnya terletak di daerah dataran rendah, sedangkan lahan kering terletak di daerah yang lebih tinggi. Jenis lahan tersebut sangat berpengaruh terhadap penggunaan pranata mangsa dan pembagian mangsa-mangsa yang lain.
Menurut pengamatan saya, pranata mangsa yang kini digunakan berpedoman pada lahan tempat pembakuan kalender tersebut, yakni daerah Surakarta. Sedangkan lahan yang menjadi objek pengamatan merupakan lahan basah yang tanaman pokoknya berupa padi. Oleh karena itu, petani Jawa yang bercocok tanam di lahan kering kemungkinan besar menemukan ketidaksesuaian dengan ciri-ciri yang kini telah disebutkan dalam berbagai literasi tersebut.
Kalender pranata mangsa merupakan sistem yang fleksibel. Bagi para petani, perbedaan tersebut tidaklah menjadi persoalan. Hal tersebut seperti halnya yang dilakukan oleh para petani di desa saya.Â
Pranata mangsa hanya dijadikan sebagai patokan, sedangkan ciri-ciri setiap musim akan diobservasi secara mandiri oleh para petani. Mereka menggunakan pengalaman selama bertahun-tahun untuk memahami dan memprediksi musim tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, observasi tersebut dikenal dengan istilah ngelmu titen (pengetahuan melalui pengamatan/observasi).
Pranata mangsa hari ini
Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, tanda-tanda alam merupakan objek observasi bagi masyarakat petani. Tepat atau tidaknya sangat bergantung kepada kondisi alam.Â