Mohon tunggu...
Mastiara Diah
Mastiara Diah Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Sabbe satta bhavantu sukhitatta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Hate Speech Melalui Akun Pseudonim di Instagram pada Era Post-Truth

18 Januari 2024   23:00 Diperbarui: 18 Januari 2024   23:02 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar Belakang

Perkembangan media sosial melaju dengan sangat cepat setiap tahunnya, terlihat dari data pengguna media sosial yang terus bertambah tahun ke tahun. Menurut data dari wearesocial.com (2021), Indonesia memiliki total populasi berjumlah 274,9 juta penduduk yang ada dan sekitar 170 juta orang atau 61,8% dari jumlah populasi Indonesia aktif menggunakan media sosial, dimana 86,6% dari jumlah tersebut aktif menggunakan media sosial Instagram. Instagram sendiri adalah aplikasi media sosial yang biasanya dipakai untuk mengunggah dan berbagi foto dan video dari momen yang mereka abadikan dan membagikannya ke orang-orang.

Instagram menawarkan pengguna cara yang unik dalam mengunggah foto dan video menggunakan smartphone, dan dapat menggunakan alat manipulasi berupa filter yang beragam jenis guna merubah tampilan dari hasil foto dan video tersebut. Aplikasi ini dapat juga membagikan hal tersebut ke dalam berbagai platform media social lain (seperti Facebook, Twitter, dll).

Seperti pengguna platform sosial media lainnya, Instagram pun memiliki berbagai macam pengguna. Rosenbach dan Schmundt menyatakan bahwa terdapat tiga kategori penggunaan identitas di media, antara lain: pengguna dengan nama asli (orthonym), pengguna nama samaran atau alias (pseudonym), dan pengguna tanpa nama (anonym), namun dalam beberapa referensi akun pseudonym dan anonym tidak dibedakan (Kalaloi, 2019).

Menurut Donath, dalam dunia maya, identitas individu bersifat samar. Peran seseorang baik secara individu maupun kepribadiannya tidak bisa disamakan antara dunia maya dengan dunia nyata. Identitas dunia maya ialah cara seseorang menunjukkan dirinya pada orang lain. orang tersebut dapat memilih, membatasi, dan menentukan apa yang ingin orang lain ketahui tentang dirinya (Damayanti & Yuwono, 2013).

Instagram Sebagai Media Sosial

Instagram muncul sebagai media sosial baru pertama kali pada Oktober 2010 di Amerika. Media sosial mewadahi penggunaannya untuk terus terhubung satu sama lain dan menyediakan banyak informasi apapun dari mana saja. Media sosial Instagram saat ini dapat menyediakan berbagai macam informasi mengenai keadaan di wilayah lain dan membuat kita terkoneksi satu sama lain. Dalam ranah komunikasi, dapat dikatakan media sosial sebagai penyedia informasi dan alat komunikasi yang menghubungkan satu sama lain.

Instagram merupakan aplikasi berbagi foto yang popularitasnya meningkat sejak kemunculannya terjadi. Dengan lebih dari 85 juta pengguna di Indonesia (wearesocial, 2021). Instagram telah dianggap sebagai media sosial yang menarik karena media ini fokus pada foto dan juga video berdurasi pendek. Wearesocial (2021) juga menjelaskan bahwa dari survei yang mereka lakukan, platform Instagram merupakan media sosial terpopuler keempat dengan lebih dari 1 miliar pengguna di dunia. Instagram memiliki beragam fitur lain seperti Instastory dengan bermacam-macam efek kamera atau biasa disebut filter dan juga fitur siaran langsung (live).

Instagram biasa digunakan sebagai tempat sharing segala macam kegiatan dan juga keluh kesah pengguna. Dengan aplikasi ini pengguna bebas berbagi momen, cerita, pengalaman yang tidak terbatas oleh jarak dan waktu dengan followers-nya. Tidak ada batas privasi dalam media sosial Instagram, apa saja yang dibagikan oleh kita maupun orang lain dapat terlihat dengan jelas oleh kita. Dampak yang muncul karena Instagram adalah adanya budaya berbagi yang berlebihan di dunia maya (Nasrullah, 2015: xiii).

Hate Speech

Saat ini, banyak masyarakat yang menyalahgunakan kebebasan berekspresi yang diberikan kepada mereka dan mengekspresikan kebencian baik kepada seseorang maupun kelompok tertentu, yang dapat disebut dengan hate speech. Menurut Council of Europe hatespeech (2013), ujaran kebencian dapat dimaknai sebagai semua bentuk ekspresi yang menghasut, mempromosikan, menyebar, atau membenarkan kebencian xenopobhia, rasial, anti-semitisme atau lainnya dalam bentuk kebencian berdasarkan intoleransi, diskriminasi, dan permusuhan terhadap kelompok kaum minoritas, atau imigran (Jubany dan Roiha, 2015).

Dalam arti hukum, hate speech merupakan perilaku, perkataan, pertunujukkan ataupu tulisan yang dilarang dikarenakan mampu memicu terjadinya tindak kekerasan atau sikap prasangka baik dari pihak pelaku maupun korban dari tindakan tersebut. Menurut R.Susilo, terdapat enam macam penghinaan terhadap individu, yakni 1) Menista secara lisan; 2) Menista dengan tulisan; 3) Memfitnah; 4) Penghinaan ringan; 5) Mengadu secara memfitnah; dan 6) Tuduhan secara memfitnah.

Hate speech merupakan bagian dari marjinalisasi, yaitu penggambaran buruk bagi seseorang atau sekelompok orang (Eriyanto, 2011). Marjinalisasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni :

  • Eufimisme (penghalusan makna), digunakan untuk memperhalus "keburukan". Cara ini banyak digunakan dalam media dan dipakai untuk menyebut tindakan kelompok dominan pada masyarakat bawah, sehingga dapat menipu, terutama rakyat.
  • Disfemisme (pengasaran bahasa), digunakan untuk "menjelekkan" sesuatu.
  • Labeling, penggunaan kata-kata ofensif pada individu, kelompok, atau sebuah peristwa atau kegiatan.
  • Stereotipe, penyamaan sebuah kata yang umumnya bersifat negatif terhadap orang, perangkat tindakan, ataupun kelas. Stereotipe dapat juga dimaknakan sebagai praktik representasi dimana hal tersebut menggambarkan suatu hal dengan penuh konotasi negatif, prasanga, dan subjektif.

Dampak Hate Speech

Pada tahun 2015, Unesco melakukan studi yang berjudul "Countering Online Hate Speech" yang menyebutkan bahwa hatespeech online semakin berkembang dengan pesat dan menimbulkan masalah baik di dalam maupun di luar Eropa (Gagliardone dkk, 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh Khelmy K. Pribadi, menyimpulkan bahwa konten negatif yang tersebar di sosial media seperti ujaran kebencian, sentimen bernada SARA, dan berita bohong berdampak pada sikap dan pola pikir generasi muda, terutama pada kalangan siswa tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).

Dampak lain dari hate speech adalah terjadinya permasalahan terhadap komunikasi verbal pada sejumlah mahasiswa seperti kurang daya konsentrasi, frekuensi, dan kesantunan di dalam lingkup akademik, selain itu juga menimbulkan rasa kurang percaya diri untuk berkomunikasi di kampus, khusunya dengan para dosen, dikarenakan mereka mempunya pelarian dengan "curhat" di dunia maya (Yohan, 2016).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hatespeech yang terjadi saat ini dapat mempengaruhi pola pikir dan sikap generasi muda, selain itu juga dapat menimbulkan permasalahan verbal pada masyarakat.

Era Post-Truth

Kata 'post-truth' pertama kali digunakan oleh Steve Tesich dalam artikelnya yang berjudul The Government of Lies di majalah The Nation pada tanggal 6 januari 1992. Berdasarkan Oxford Dictionaries, 'post-truth' dapat diartikan dengan istilah atau iklim yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang objektif. 

Tahun 2016 menurut PEW Research Center, 62% dari populasi Amerika menggunakan media sosial untuk tetap mendapat informasi terbaru (Gooch, 2017). Padahal hal yang didapat dari platform itu belum tentu benar. Cara komunikasi telah berubah sejak kemunculan internet, tidak hanya dalam kecepatan, tetapi juga dalam berbaur dengan kelompok lain dengan bias yang serupa dengan mereka, sehingga keyakinan mereka kian menguat.

 

Perilaku Hatespeech di Media Sosial Instagram

Instagram merupakan sebuah platform sosial media yang saat ini memiliki pengguna yang sangat besar, dimana hampir setiap orang memiliki setidaknya satu akun Instagram.

Instagram tidak membatasi penggunanya untuk membuat lebih dari satu akun Instagram saja, dengan kemudahan ini, banyak pengguna yang membuat akun-akun tambahan, baik dengan menunjukkan identitas asli atau tidak menunjukkan identitas asli dalam akun Instagramnya.

Kebebasan untuk membuat lebih dari satu akun dan tanpa menunjukkan identitas asli ini membuat seseorang merasa lebih aman karena merasa bahwa identitasnya tidak akan diketahui oleh orang lain atau disebut dengan akun pseudonim. Pada Instagram sendiri ditemukan banyak sekali pengguna akun pseudonim dengan berbagai macam tujuan, seperti untuk menyebarkan karya, informasi, gosip terhangat, atau menyebarkan hal-hal yang mayoritas disukai oleh masyarakat, seperti meme yang sedang meroket popularitasnya.

Sebaliknya, akun pseudonim juga dapat digunakan untuk tujuan yang kurang tepat, misalnya untuk menyebarkan ujaran kebencian pada suatu tokoh atau organisasi. contohnya akun @muhammad0000 yang memberikan komentar negatif pada akun artis Lesti Kejora pada salah satu postingan Lesti. Selain itu juga ada akun yang dibuat khusus untuk menyebarkan ketidaksukaan atau kebencian pada seseorang atau sebuah kelompok, misalnya akun @bts_hater07 yang menyebarkan kebencian pada sebuah grup vokal asal Korea, BTS. Akun tersebut mengunggah foto meme yang menjelekkan BTS dan mengatakan bahwa mereka bukanlah laki-laki sejati dan merupakan gay.

Contoh lainnya adalah komentar yang diberikan oleh akun @agathaptrc_ pada salah satu postingan Chandrika Chika dengan username @chndrika_. Chika adalah seorang perempuan yang terkenal lewat videonya di aplikasi TikTok, dan Instagramnya kini telah memiliki 2.2 juta pengikut. Akun @agathaptrc_ mengatakan Chika "si cabee muraah" yang termasuk dalam labeling terhadap Chika.

KESIMPULAN

Perkembangan teknologi yang semakin maju menyebabkan perubahan dalam cara hidup manusia, termasuk dalam cara berkomunikasi dengan orang lain. Saat ini era komunikasi telah memasuki era post-truth, dimana pembentukan opini saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan pribadi dibandingkan dengan fakta-fakta yang ada. Dengan hal ini, banyak orang yang makin berani untuk menungkapkan pikiran dan perasaan mereka di berbagai platform media, salah satu contohnya adalah Instagram. Salah satu kemudahan yang diberikan oleh Instagram adalah pengguna bisa membuat suatu akun tanpa harus menggunakan identitas asli mereka, atau yang disebut dengan akun pseudonim.

Namun sayangnya banyak orang yang menggunakan akun pseudonim miliknya untuk tujuan yang kurang baik, salah satunya bertujuan untuk menyebarkan hatespeech pada sosok figur yang tidak mereka senangi. Banyak cara yang mereka lakukan seperti menulis komentar yang tidak baik di akun orang lain, menyebarkan berita palsu, sampai sengaja membuat akun khusus yang bertujuan untuk menyebarkan kejelakan dari sosok yang tidak mereka sukai.

Dampak yang ditimbulkan dari hate speech selain berdampak dalam pola pikir dan sikap generasi muda, juga dapat menimbulkan permasalahan verbal dalam komunikasi seperti berkurangnya rasa percaya diri, konsentrasi, juga sikap sopan santun.

Menjadi penting bagi masyarakat untuk dapat meminimalisir dampak yang dapat ditimbulkan akibat dari perilaku hatespeech yang dilakukan di media sosial. Salah satu hal yang dapat mencegah atau mengurangi hatespeech yang terjadi di media sosial ialah dengan melakukan edukasi kepada masyarakat luas.

Edukasi dapat dilakukan di media sosial Instagram dengan membuuat berbagai konten yang menarik dan mengedukasi seperti reels penjelasan hatespeech, cara berkomunikasi yang baik dalam bermedia sosial, dan bahaya atau dampak yang dapat ditimbulkan dari hatespeech baik bagi korban maupun bagi pelaku tindakan hatespeech.

Dengan adanya berbagai edukasi mengenai hatespeech yang tersebar luas di Instagram, diharapkan bahwa hal itu dapat mengurangi tindakan hatespeech yang terjadi di Instagram, terutama yang dilakukan oleh akun pseudonim.

DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, M. N., & Yuwono, E. C. (2013). Avatar, Identitas dalam Cyberspace. 15(1), 13--18. https://doi. org/10.9744/nirmana.15.1.113-18

Eriyanto. (2011). Analisis Isi: Pengantar Metodologi Untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Prenada Media Group.

Hootsuite (We are Social). 2021. Digital 2021: Global Overview Report, dilihat 2 Juli 2022. https://wearesocial.com/digital-2021

Kalaloi, A. F. 2019. Media Sosial dan Keberanian Mengutarakan Pendapat di era Kontemporer : Menelik Teori Spiral of Silence dalam Ruang Media Sosial. ResearchGate.

Mawarti, Sri. "Fenomena Hate Speech Dampak Ujaran Kebencian." TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama 10.1 (2018): 83-95.

Unesco. (2015). Countering Online Hate Speech. France: Published in 2015 by the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization 7, place de Fontenoy, 75352 Paris 07 SP

Yohan, 2016, "Hate Speech dan Dampak Media Sosial Terhadap Perkembangan Komunikasi Akademik", dalam Mawa`izh, Vol. 1, No. 2, Desember 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun