Mohon tunggu...
Kang Gandhung Fajar Panjalu
Kang Gandhung Fajar Panjalu Mohon Tunggu... Dosen - Kompasianer Baru - Sejak 2011.

Pembelajar malam, Perindu hujan yang kena gerimis dikit langsung berteduh,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita dan Awal Puasa yang Tak (Lagi) Sama

30 Maret 2022   13:01 Diperbarui: 30 Maret 2022   15:40 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rukyatul Hilal sebagai salah satu metode penentuan awal bulan. Credit:sindo 

Rembulan malam sudah tak lagi utuh. Ia semakin mengecil layaknya perahu yang berlayar makin jauh. Artinya, tak lama lagi akan terjadi proses pergantian bulan dalam siklur lunar dan berarti akan ada bulan baru dalam takwim kalender qomariyah.

Satu hal yang patut menjadi perhatian adalah bahwa pergantian bulan dalam kalender qomariyah akan memasuki bulan puasa. Awalnya, tak ada yang istimewa. Mirip dengan awal bulan hijriyah sebagaimana "biasanya".

Namun yang menjadikannya perhatian adalah, awal puasa tahun ini berpotensi berbeda. Setelah sembilan Ramadhan masyarakat Indonesia mengawalinya secara hampir bersama, kecuali sebagian kelompok kecil yang secara khusus menggunakan metode berbeda.

Hampir satu dekade terakhir, tidak banyak perbincangan seputar perbedaan awal puasa, lebaran dan hari raya kurban. Hilal (bulan sabit muda) muncul dengan derajat yang sangat tinggi, atau sekalian tidak muncul (derajat negatif) sehingga disempurnakan menjadi 30 hari.


Mengapa muncul perbedaan?

Sejatinya perbedaan tersebut bukan sebatas karena pilihan metode antara hisab (menentukan awal bulan dengan data astronomis) maupun rukyah (melihat hilal secara langsung). Karena pada dasarnya, pengguna metode rukyah-pun akan mengawali pengamatannya dengan hisab. Yang lebih menjadi persoalan adalah standar atau kriteria hisab yang digunakan.

Misalnya Hisab Haqiqi Wujudul Hilal (WH) yang digunakan oleh Muhammadiyah, di mana apabila telah terjadi konjungsi sebelum tenggelam serta saat tenggelamnya matahari piringan bulan masih di atas ufuk berapapun derajatnya maka dinyatakan hilal telah terwujud dan dianggap sebagai bulan baru.

Berbeda dengan Hisab Imkanur Rukyah (IR), di mana metode ini melakukan penghitungan dengan kriteria standar minimal hilal dapat terlihat mata. Kriteria ini mengalami beberapa perkembangan. Pada tahun 1994, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meskipun menyatakan menggunakan Rukyat, namun di sisi lain juga menetapkan batas minimal hilal dapat dilihat adalah setinggi 2 derajat.

Pada 1998, Pemerintah RI menggunakan kriteria Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) versi lama, yakni IR 238, artinya tinggi minimal 2 derajat, sudut elongasi minimal 3 derajat atau umur bulan minimal 8 bulan. Tahun 2016, muncul kriteria yang dikenal dengan Neo-MABIMS IR 364 dengan syarat tinggi minimal 3 derajat dan sudut elongasi minimal 6,4 derajat.

Dengan berbagai kriteria tersebut, tahun ini menjadi awal perbedaan beberapa organisasi keagamaan terkait awal ramadhan, bahkan mungkin juga dengan pemerintah.

Pasalnya, Kementerian Agama Republik Indonesia telah mengeluarkan pemberitahuan penggunaan kriteria Imkanur-Rukyat MABIMS baru (IR 364) berdasarkan edaran Dirjen Bimas Islam nomor B--79/DJ.III/HM.00/02/2022. Artinya, potensi perbedaan pendapat seputar awal bulan hijriyah akan semakin terpampang nyata karena munculnya perbedaan antara kriteria WH, IR 2 derajat, IR 238 serta IR 364.

Upaya menyatukan kalender Islam sejatinya bukan sama sekali tiada. Tahun 2016 misalnya diluncurkan Kriteria Kalender Islam Global (KIG) Istambul Turki dengan beberapa kriteria baru. Uniknya, Majelis Tarjih Muhammadiyah telah merilis Kalender Islam Global 1443 H dengan kriteria Kongres Turki 2016 tersebut.


Potensi Perbedaan Hari-Hari Istimewa

Sebagaimana pembahasan sebelumnya, akan muncul potensi perbedaan hari-hari besar Islam pada masa-masa yang akan datang, terlebih antara dua kelompok yakni pengguna WH dan IR. Apalagi jika kriteria Neo-MABIMS diterapkan.

Diawali dengan perbedaan penetapan 1 Ramadhan 1443 H, lalu penetapan 1 Zulhijah yang berdampak pada perbedaan hari raya 'Idul Adha 1443 H. Namun hari raya 'Idul Fitri 1443 H akan dilakukan serentak oleh dua kategori tersebut karena tidak ada perbedaan dalam penetapan 1 Syawal 1443 H.

Tahun 2023 diisi dengan perbedaan penetapan hari raya 'Idul Fitri dan hari raya 'Idul Adha, meskipun dalam penetapan 1 Ramadhan tak ada beda keduanya. Sebaliknya, pada 2024 muncul perbedaan dalam penetapan 1 Ramadhan, namun keduanya menetapkan hari yang sama dalam penetapan Idul Fitri dan 'Idul Adha.

Sementara itu tahun 2025 diisi dengan kesamaan penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal, lalu berbeda lagi dalam penetapan 1 Zulhijah. Pada tahun 2026, 1 Ramadhan dan 1 Zulhijah akan dilaksanakan bersama, namun akan berbeda penetapan hari 'Idul Fitri.

Artinya, pada tahun 2022 dan 2024 nanti, kategori WH akan berpuasa lebih lama dari pada kategori IR yang hanya 29 hari. Sebaliknya, tahun 2023 dan 2026 kelak, kategori IR yang akan berpuasa lebih lama sehari. Anekdot "Puasa bareng lebaran duluan" akan kembali bermunculan pada tahun-tahun tersebut.

Keduanya akan kembali bersama dalam penetapan tiga tanggal istimewa tersebut pada tahun 2027 dan 2028, sementara tahun 2029 mereka kembali menemui perbedaan dalam penetapan 1 Zulhijah meski sama dalam menetapkan dua awal bulan istimewa sisanya.


Bersama dalam Perbedaan

Diriwayatkan, suatu ketika dua orang sahabat Nabi melakukan perjalanan. Ketika waktu shalat tiba, keduanya tak mendapatkan air dan mereka pun bertayamum. Setelah keduanya melakukan shalat, tiba-tiba keduanya mendapatkan air. Lalu, salah seorang diantara keduanya mengulang shalat dengan berwudhu. Sementara temannya tidak mengulangi lagi shalatnya.

Ketika bertemu Nabi SAW, keduanya menceritakan perbedaan pendapat tersebut. Kepada yang tidak mengulang shalatnya, Nabi bersabda, "Engkau telah menepati sunnah dan shalatmu sah." Adapun kepada laki-laki yang berwudhu dan mengulang shalatnya, Nabi bersabda, "Anda mendapatkan dua pahala." (HR Abu Daud dan Nasai).

Menyikapi perbedaan seperti itu, Nabi tak menyalahkan mereka. Beliau menghormati perbedaaan itu. Nabi membenarkan dua pendapat yang berbeda. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa dalam memahami teks, baik al-Qur'an maupun Hadits, peluang perbedaan pendapat itu memang terbuka.

Jika semasa Nabi masih hidup saja perbedaan tersebut bisa muncul dan disikapi dengan arif oleh nabi, apalagi setelah beliau wafat. Peluang adanya perbedaan pasti terbuka lebar. Sikap umat Islam dalam menghadapi perbedaan pendapat tersebut tentu haruslah bersikap arif dan bijak selagi masih dalam koridor yang dibenarkan.

Sikap arif sebagai masyarakat awam tentu dengan tidak bimbang memilih pendapat yang diikuti serta tidak menjadi pihak yang memperkeruh keadaan. Di sisi lain, para cerdik cendekia perlu untuk bersikap arif dengan menjadi payung besar yang menaungi berbagai perbedaan pendapat yang muncul serta tidak menghakimi pendapat yang berbeda.

Momentum perbedaan yang kelak akan muncul dalam beberapa tahun ke depan setelah hampir satu dekade berjalan bersama, semoga menjadikan masyarakat kita lebih bijak, dewasa, toleran dan mampu menerima berbagai perbedaan di masyarakat.

Semoga Allah menerima puasa kita, dan semoga kita menjadi hamba-Nya yang beruntung dan digolongkan sebagai hamba-Nya yang bertaqwa. Amin.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun