"Iya Ma, Karina baik-baik aja kok," jawabnya pelan.
"Beneran? Suara kamu kedengeran sedih."
Karina menghela napas, "Karina... Karina kangen Nino, Ma."
"Sayang..." suara ibunya penuh kasih, "Mama ngerti. Tapi Karina harus kuat ya. Nino pasti gak mau liat kamu sedih terus."
Karina mengangguk pelan, "Iya Ma... Karina... Karina bakal coba."
Setelah menutup telepon, Karina memandang ke luar jendela. Hujan mulai reda, menyisakan rintik-rintik kecil. Entah kenapa, kali ini hujan terasa berbeda. Bukan lagi simbol kesedihan, tapi seperti air mata yang membasuh luka hatinya.
Karina berdiri, mengambil jaket, dan keluar rumah. Kakinya melangkah ke arah yang sudah dia hafal di luar kepala. Makam Nino.
Di depan makam kekasihnya, Karina berlutut. Air mata Karina mengalir, tapi kali ini bukan air mata kesedihan.
"Mas," dia mulai berbicara, "aku... aku mau bilang makasih. Makasih udah ngasih aku kenangan yang indah. Makasih udah ngajarin aku apa artinya cinta."
Karina mengusap nisan Nino lembut, "Aku janji, aku bakal terus hidup. Bukan cuma buat aku, tapi juga buat kamu. Aku bakal wujudin mimpi-mimpi kita. Kamu... kamu akan selalu ada di hatiku, Mas. Selalu."
Karina berdiri, merasakan beban di hatinya terangkat sedikit. Dia tau ini baru awal dari proses penyembuhan. Tapi setidaknya, dia sudah berani melangkah.