Mohon tunggu...
Mas Say
Mas Say Mohon Tunggu... Dosen - Pemuda Indonesia

Diskusi: Kebangsaan dan Keindonesiaan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Putusan MKMK, antara Pencopotan Ketua MK dan Dampak bagi Pilpres 2024!

9 November 2023   00:18 Diperbarui: 9 November 2023   14:25 1543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (kiri) memimpin jalannya rapat perdana di Gedung II Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (26/10/2023). Foto: ANTARA FOTO/M Risyad Hidayat via Kompas.com

Berdasarkan jadwal Putusan MKMK resmi telah dibacakan pada tanggal 7 November 2023. Dalam berbagai kesempatan baik formal dan informal Penulis juga sudah memberikan pandangan dan analisanya jauh hari sebelumnya. Termasuk dalam tulisan pada media ini. Alhamdulillah atas izin Allah SWT tepat adanya. Minimal adanya sanksi "pemberhentian" jabatan bagi Ketua MK menjadi anggota hakim MK biasa.

Pemaknaan dari "pemberhentian" sebenarnya norma hukum etik pada aturan terdahulu (UU MK) yaitu berupa (Teguran Tertulis, Pemberhentian Sementara dan Pemberhentian baik PTDH dan PDH). Seperti dalam ulasan tulisan sebelumnya dasar hukum dan pijakan bagi MKMK adalah UU MK dan turunan teknis berupa PMK No. 1 Tahun 2023 tentang MKMK yang menggantikan PMK No.2 Tahun 2014.

Dalam aturan terbaru yang rilis resmi Februari 2023 PMK No. 1 Tahun 2023 tentang MKMK ada pergeseran norma etik lebih khusus yang dianggap lex specialis yaitu cuma ada 3 jenis klaster sanksi yaitu Teguran Lisan, Teguran Tertulis dan PTDH (Pasal 41 PMK). Kualifikasi jenis pelanggaran juga ada perubahan menjadi beberapa jenis dan kelompok (Pasal 10 PMK). 

Penulis juga memberikan kritikan sejak awal, mengapa jenis sanksi berat dan ringan menjadi bias? Tidak ada redaksional jelas? Justru ada perbedaan PTDH dan justru tergantung pada ruang adanya banding bagi hakim MK yang masuk dalam jenis pelanggaran untuk PTDH. Ada apa? Bahkan ada banding. Soal banding lebih baik ditiadakan dan cukup pembelaan saat sidang bukan dengan upaya banding. Norma etik PMK hasilnya akan muter-muter terus nantinya.

Alhasil, MKMK memberikan jenis "pelanggaran berat" (bukan termasuk jenis dari Pasal 10) dan tidak masuk PTDH. Adanya Dissenting Opinion dari 1 anggota MKMK menunjukan norma hukum dari PMK masih menjadi problematik. Wajib ada grand design ulang soal MKMK. 

Apakah akan dipermanenkan dalam bentuk UU yang lebih khusus tentang MKMK? Apa cukup dengan PMK yang dibuat berdasarkan kebutuhan saja walaupun secara umum ada dalam UU MK? Apa menunggu ada dugaan pelanggaran kode etik hakim MK baru ada pembentukan MKMK? Mari berpikir bersama.

Dalam konteks historis pernah ada soal sanksi dari MKMK mantan Ketua MK yaitu AM dan hakim MK PA berupa sanksi "PTDH". Dipecat tidak dengan hormat akibat kasus pidana. Bagi hakim MK yang aktif sekarang juga ada hakim MK yaitu AH dari 7 laporan dan 2 diantaranya ada masuk dalam katagori pelanggaran dengan sanksi "Teguran Tertulis" (akibat kasus relasi dan lobi Kejaksaan Agung dan dengan Komisi III DPR). Juga terakhir bagi hakim MK yaitu GH dengan sanksi "Teguran Tertulis" (akibat merubah redaksional kata dalam putusan MK). MK tidak belajar dari sejarah kelam ini.

Berbicara tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dalam prinsip "Sapta Karsa Hutama" yang mengandung 3 hal prinsip yaitu independensi, ketakberpihakan, dan integritas. Hal ini berdasarkan PMK No. 09/PMK/2008 tentang Pemberlakukan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Pemaknaan yang bersumber dari tolak ukur tersebut, maka MKMK menjadikan dasar dalam memberikan pertimbangan pada setiap putusan. Barometer hakim MK melanggar etika dan tidaknya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya baik saat, sedang dan pasca adanya putusan MK itu sendiri.

Secara umum hasil putusan MKMK. Dari 21 laporan yang masuk. Ada 15 ditujukan khusus kepada Ketua MK. Sisanya menyeluruh terhadap hakim MK lainnya. Biasanya semua pihak berbeda pandangan, khusus menyikapi Putusan MK No.90 mayoritas menjadi 1 tujuan ada etika dan moral yang terduga keras dilanggar baik dari kalangan akademisi, praktisi, politisi, LSM, mahasiswa, gerakan aktivis dan civil society pada umumnya. 

Saat Putusan MK No.90 pasca dibacakan. Betul dianggap telah final dan mengikat. Akan tetapi, kita tidak cukup setuju dan menganggukan kepala saja atas putusan MK tersebut. Harus tetap bersuara kritis. Sejak awal khusus bagi Penulis tidak setuju dan menolak argumentasi hakim MK yang mengabulkan. Lebih rasional dan logis terhadap hakim MK yang  menyatakan Dissenting Opinion atas putusan tersebut. Betul, seiring waktu banyak gelombang aksi yang mempersalahkan etika hakim MK ke MKMK.

Ada 4 jenis putusan dan pembagian kelompok katagori dari masing-masing Pemohon. Sistematika putusan MKMK (Pasal 39 PMK). Bisa jadi untuk menjadi bahan pertimbangan MKMK dalam membacakan putusan yaitu sebagai berikut:

Bagi semua 9 hakim MK akibat kebocoran RPH yang sifatnya rahasia dikenakan sanksi berupa "Teguran Lisan" pada putusan MKMK No.5/MKMK/L/11/2023;

Bagi sikap soal Dissenting Opinion kepada hakim MK yaitu S.I (tidak melanggar kode etik pada putusan MKMK No.3/MKMK/L/11/2023)  dan AH (melanggar kode etik dan terkena sanksi "Teguran Tertulis" pada putusan MKMK No.4/MKMK/L/11/2023); dan

Bagi ketua MK terkena jenis pelanggaran berat dan terkena sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua MK (Putusan MKMK No.2 /MKMK/L/11/2023).

Pembacaan dalam sidang putusan terbuka untuk umum diurutkan dari No. 5-2 Putusan MKMK. Mengingat terkhusus laporan terbanyak kepada Ketua MK. Hal ini disebabkan banyaknya pertimbangan anggota MKMK yang dibacakan paling akhir. Sedikit flash back dari masing-masing putusan MKMK dan analisa umumnya.

Putusan MKMK No.5/MKMK/L/11/2023

Pada intinya pertimbangan MKMK yang menarik adalah ada masalah soal kolektif kolegial dalam menjalankan tugasnya. Tidak saling mengingatkan. Akhirnya RPH yang dianggap rahasia menjadi konsumsi publik. Terlepas pihak dari mana dan/atau sumbernya siapa saja menjadi dilematik dan tolak ukur integritas hakim MK saat dan setelah adanya RPH.

Dalam amar putusan yaitu "Para Hakim Terlapor secara bersama-sama terbukti bersalah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama. Prinsip kepantasan dan kesopnan". Selain itu juga "Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para Hakim Terlapor.

Dalam pandangan Penulis, ini menjadi masalah serius soal kerahasiaan hasil RPH. Perlu evaluasi menyeluruh bagi semua internal MK. Baik hakim MK, staff dan pejabat lainnya. Nilai integritas perlu ditanamkan pada semua pihak. Jangan sampai ada yang bermain politis. Jangan terpengaruh anasir tekanan dan intervensi dari luar. Ini bahaya jika sistem tidak ada perubahan sejak dini.

Putusan MKMK No.3/MKMK/L/11/2023

Inti secara umum dari pertimbangan MKMK soal makna dan penempatan adanya Dissenting Opinion bagi hakim MK adalah ruang kelimuan. Bebas dengan cara dan basis arugumentasi yang digunakan masing-masing hakim MK. Dalam inti amar putusanya yaitu "Hakim Terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sepanjang terkait pendapat berbeda (Dissenting Opinion)".

Dalam pandangan Penulis, sejak awal tertarik atas sikap hakim MK yaitu Prof Saldi Isra. Konsep Dissenting Opinion yang dihadirkan berbeda dengan lainnya. Sederhana. Akan tetapi, penuh makna yang tersirat. Tingkat tinggi soal hukum dan filosofinya. Tajam dan kuat berbasis analisa hukum yang logis dan rasional. Hakim MK ini, dalam berbagai putusan MK selalu memberikan pencerahan soal konstitusi hukum dan demokrasi. Dalam bersikap selalu menunjukan sikap integritas. Memegang teguh prinsip Sapta Karsa Hutama secara menyeluruh. Baik di dalam dan di luar MK. Negarawan yang selalu menjaga nilai keilmuan dan moralitas. Selalu berbasis konstitusi.

Putusan MKMK No.4/MKMK/L/11/2023

Pemaknaan secara umum dari MKMK soal ini, dianggap telah melakukan pelanggaran 2 kali saat menjabat hakim  MK. Bahkan berkaitan dengan adanya putusan MK No.90 di ruang publik aktif memberikan statement. Dianggap tidak menjaga etika hakim. Dalam inti amar putusannya yaitu "Hakim Terlapor tebukti melanggar Sapta Karsa Hutama. Prinsip Kepantasan dan Kesopanan sepanjang terkait dengan pernyataan di ruang publik yang merendahkan martabat MK dan menjatuhkan sanksi teguran tertulis".

Dalam pandangan Penulis, ini sangat tepat dikenakan sanksi etik. Dengan terguran tertulis. Sangat jelas dalam ruang publik memberikan keterangan terhadap jurnalis dan aktif berbicara dalam forum publik berkaitan pasca adanya putusan MK No.90. Publik menilai adanya ketidak harmonisan integritas hakim MK. Dalam berbagai putusan MK sebelumnya selalu memberikan pendapat yang kontoversial. Terkadang dianggap menabrak kelaziman hukum pada umumnya.

Putusan MKMK No.2/MKMK/L/11/2023

Khusus dalam putusan MKMK ini ada 385 halaman. MKMK banyak memberikan pertimbangan multi perspektif terkhusus pada Ketua MK. Untuk mengarah adanya pelanggaran etika dan moral sebagai dan dalam kapasitas Ketua MK. Bahkan sebelum adanya putusan MK No.90 justru terkesan memberikan lampu hijau di ruang publik soal kepemimpinan muda. MKMK juga memberikan penilaian soal proses perubahan RPH yang dianggap cepat dan kilat. Soal putusan MK No.90 yang pernah dicabut dan diajukan lagi. MKMK menilai banyak kejanggalan soal sikap Ketua MK.

Fakta dan amar putusan MKMK (halaman 383) ini yang menjadi kunci dari segala kunci sumber kekacauan nilai etika dan moral hakim MK. Dalam inti amar putusan MKMK yang khusus bagi Ketua MK yaitu "....melakukan pelangggaran berat". Menjatuhkan sanksi "pemberhentian dari jabatan Ketua MK".

Selama dalam masa transisi peralihan ketua MK baru (2x24 jam), maka Ketua MK yang telah dinyatakan berhentikan tidak boleh "mencalonkan diri" dan "dicalonkan". Selain itu, bagi ketua MK "tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan....". Dalam perkara tertentu / PHPU yang nantinya dikhawatirkan akan terjadinya conflict of interest lagi.

Dalam pandangan Penulis, Ketua MK tampak menunjukan sikap berbeda. Baik sebelum, saat dan pasca adanya putusan MK No.90. Ada pun statement yang dihadirkan dalam ruang publik kurang mencerminkan negarawan dalam kapasitas sebagai Ketua MK. Apalagi figur Ketua MK adalah minimal representatif dari sikap kelembagaan MK. 

Hal menjadi aneh saat menolak mundur saat menghadapi perkara uji materi soal batas umur. Padahal conflict of interest nyata adanya. Ketidakwajaran muncul lagi saat \ sempat tidak ikut dalam sebagian RPH. Akan tetapi, tiba-tiba ikut RPH untuk kasus perkara putusan No.90.

Walaupun pada sisi lain, juga terdapat dialektika soal bisa batal dan tidaknya putusan MK oleh MKMK dengan perspektif adanya korelasi UU MK dan UU Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Bisa jadi agar ada terobosan hukum baru. Walaupun secara teori legal formal tidak bisa. Minimal dan paling tidak publik menjadi paham soal arah dan etika hakim MK selama ini. Biar tetap pada moral dan etika yang benar.

Putusan MKMK betul tidak menyentuh soal objek perkara putusan MK No.90. Benar adanya dengan adanya ini melegalkan dan mengkonfirmasi soal batas umur sudah final dan mengikat. Akan tetapi, sebagai catatan besar mayoritas pertimbangan MKMK proses yang dilalui tidak berbasis etika dan moral.

Nilai Etika Bagi Hakim MK

Dampak putusan MKMK akan menjadi hal biasa saja ketika dalam putusan MKMK tidak ada sanksi dan/atau Ketua MK tidak dipecat. Suara kritis dan bentuk konfirmasi adanya banyak laporan di MKMK membenarkan dugaan publik selama ini. Ada etika yang dilanggar. Ada moral yang diabaikan. Padahal adagium sederhana dari Ronald Dworkin yaitu "moral principle is the fondation of law". Jelas dan nyata. Moralitas landasannya. 

Secara legal formal putusan MKMK sah dan tidak bisa membatalkan Putusan MK No.90. Bahkan tetap sah dan formal syarat usia Capres dan Cawapres digunakan untuk syarat dalam Pilpres 2024. Biarkan sejarah mencatat. Biarkan jalan panjang hukum ketatanegaraan khususnya dan demokrasi dicabik dan diruntuhkan oleh kepentingan sesaat. Etika yang bermasalah menjadikan hukum seolah dianggap sah dan legal formal.

Dampak Internal MK

Pasca adanya putusan MK dengan kekosongan jabatan Ketua MK telah direkomendasikan oleh MKMK agar Wakil Ketua MK mengambil alih untuk melakukan pemilihan bagi Ketua MK baru selama batas waktu 2x24 jam. Kita berharap tidak ada kompromi berlebihan soal siapa yang akan menjadi ketua MK? 

Berharap hakim MK Prof Saldi Isra atau hakim MK Suhartoyo terpilih sebagai Ketua MK. Dengan adanya pembatasan dan larangan tupoksi bagi Ketua MK yang telah diberhentikan, maka akan menjadikan komposisi hakim MK cuma 8 saja dalam berbagai kasus tertentu yang akan ditangani nantinya. Ketua MK baru akan menjadi suara penentu jika ada deadlock dan komposisi hakim MK yang bersikap Dissenting Opinion. Sangat dilematik.

Persoalan lagi, jika bersamaan ada 3 gugatan baru di MK soal batas umur Capres dan Cawapres. Tanggal 8 November 2023 akan ada mulai disidangkan. Perkara No.141/PUU-XXI/2023. Apakah MK akan berpacu waktu soal ini dan menyelesaikan putusan sebelum tanggal 13 November 2023? Paling cepat dalam waktu sehari tanpa adanya pemerikasaan pendahuluan di MK? Bisa dilakukan dan celah itu ada. Dengan mengejar jadwal tanggal 8 November 2023?

Jika MK masih kejar tayang soal waktu yang beririsan dengan tahapan Pilpres 2024 dengan batas akhir penetapan Paslon oleh KPU, maka lagi-lagi MK akan masuk dalam pusaran politik yang lebih keras lagi. Hasilnya pun pasti kontroversial. Dianggap berat sebelah. Serba salah memang. Seperti arahan dari ketua MKMK, jika ada putusan soal gugatan baru biarkan menjadi bagian norma bagi Pilpres 2029 saja. Itu lebih bijak dan rasional. MK bisa tetap fokus terhadap pembenahan internal saja. Jangan terpengaruh oleh anasir politik di luar tupoksi MK sendiri.

Langkah KPU

KPU adalah penafsir dan pelaksana teknis dari UU. Termasuk dari putusan MK yang setiap waktu dapat berubah. Adanya PKPU baru No. 23 Tahun 2023 atas revisi PKPU No.19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sikap KPU ini telah dikonsultasikan dengan para penyelenggara pemilu, Komisi II DPR dan pemerintah serta telah diambil kesimpulan bersama pada tanggal 31 Oktober 2023. PKPU tersebut lahir atas sikap adanya putusan MK soal batas umur Capres dan Cawapres.

Bagi Pilpres 2024

Tahapan Pilpres 2024 sudah mendekati babak penentuan dan penetapan Paslon oleh KPU yaitu pada tanggal 13 November 2023. Resmi dan paten. Secara legalitas semua Paslon dianggap sah menurut hukum. Akan tetapi, sejarah akan mencatat perjalanan moralitas dan etika diacak-acak oleh oknum dan kalangan tertentu untuk kelanggengan politik dinasti. Dianggap memanfaatkan alat-alat kekuasaan. Menegasikan akal sehat dan pikiran waras. Justru menabrak aturan hukum. Hukum dianggap layaknya barang tidak berguna belaka. Diolah sesukanya saja.

Lalu siapakah yang untung dan rugi soal hasil akhir dari putusan MKMK atas limpahan electoral dari para voters? Ada pihak yang tidak terima? Khusus objek putusan MK No.90 adalah objek medan dan arena pertempuran wacana serta basis massa dari kedua kubu yang dianggap dalam barisan pemerintah baik dari PS dan GP. Inilah akibat cawe-cawe Presiden yang dianggap main 2 kaki? Justru menarasikan membuat panas situasi nasional di kalangan pemerintah itu sendiri. Poros AMIN yang dianggap di luar pemerintah terabaikan. Ini bisa membelah suara jika salah 1 pihak dari pemerintah baik PS atau GP tumbang pada putaran pertama. Akan lebih menguntungkan pihak AMIN.

Bahkan ada pihak yang dianggap dirugikan soal adanya putusan MK No.90 dengan celah akan mengajukan Hak Angket. Mekanisme jalur politik ditempuh. Pada dasarnya HA diatur dalam konstitusi sebagai pijakan berpikir. Pasca amademen ke-2 dalam Pasal 20A ayat (2) diturunkan pada UU MD3. Konsep HA memiliki subjek dan objek serta tata caranya. Pun tujuannya. Berkaitan dengan HA akan Penulis bahas lain waktu. Berhasilkah HA nantinya? Pada akhirnya Hak Menyatakan Pendapat pada pemerintah?

Apakah target utama Presiden yang dianggap berat sebelah pada kubu PS akibat anaknya menjadi Bacawapres? Berharap Pilpres 2024 tetap aman terkendali dan memiliki legalitas kuat dalam setiap fase dan tahapannya. Walaupun paradigma landasan berpikir menuju demokrasi yang sehat telah cacat etika dan moral. Sudah minus etika dari kepala negara dan pemerintahan dengan tolak ukur tegas dan nyata ikut "cawe-cawe". Ironis dan kronis atas utopis tujuan bernegara kita. Indonesia tercinta.

Penulis: Saifudin atau Mas Say

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun