Ketidak pahaman dalam memahami putusan MK. Bentuk tafsir subjektif dengan seenaknya menggunakan analogi putusan MK agar dianggap benar dalam membuat norma hukum. Induk pasal uji materi saja beda. Pertimbangan hakim MK juga berbeda.
Apalagi jika mencermati amar putusan yang digunakan tidak memberikan ruang dan izin agar pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dapat dihidupkan kembali. Bahkan tidak ada sifat open legal policy sebagai dasar pijakan.
Walaupun berubah dari delik umum atau biasa menjadi delik aduan tetap saja akan mengancam kebebasan bersuara bagi masyarakat. Gramatikal dan norma hukum yang disusun masih memberikan imunitas yang besar bagi Presiden dan Wakil Presiden.Â
Jika kita cermati khususnya pada halaman 216 dari Naskah Akademik (NA) RUU KUHP tahun 2015) bahwa konsepsi tetap mempertahankan norma hukum ini terlalu adanya ketakutan tersendiri. Asumsi dan prediksi belaka.Â
Atas dasar karakteristik budaya bangsa masih relevan. Cuma memaknai penghinaan dengan kritik atau ancaman masih sangat bias. Sangat multi tafsir. Apalagi dimaknai kebenaran tunggal hanya dari pihak pemerintah.
Kontroversi norma hukum
Â
Dalam Pasal 218 ayat (1) dan 219
 Dalam BAB II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Khusus pada harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden?. Ancaman pidana 3 tahun 6 bulan. Ini kritikan?. Pembedaan pada wilayah policy atau personality?. Personal ataukah pada kebijakan yang melekat jabatan?. Hal ini masih bias. Kritikan identik dengan policy. Bukan pada personality. Kalau kritik dimaknai sebagai hinaan dan dianggap sebagai serangan pada personality?. Ini dapat membahayakan bagi hak kebebasan berpendapat bagi warna negara. Betul dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 ada batasan  limitatif dalam mengeluarkan pendapat. Bukan kultur barat.
      Kita punya nilai tersendiri, tetapi jangan dimaknai sebagai alasan konstitualisme untuk menghidupkan norma hukum tersebut. Bukankah sudah dibatalkan oleh MK?. Kenapa sebagai pejabat takut kritikan?. Kebebasan warna negara dan pers juga dikekang secara halus. Bahkan ancaman penjara sampai 4 tahun 6 bulan?. Walapun dalam praktek norma hukum ini nanti akan tetap bersinggungan dengan UU ITE. Norma hukum dan redaksionalnya masih bias dan menimbulkan spekulasi yang mengarah pada tafsir subjektif. Khususnya bagi penegak hukum.
Dalam Pasal 232 dan 233