Sistem norma hukum dalam RUU KUHP secara tidak langsung telah menutup secara halus kebebasan warga negara. Disisi lain, upaya perlindungan penguasa sangat nyata. Hal ini sangat mencederai adanya jaminan kebebasan bersuara bagi warga negara sebagai bentuk ikut mengawal proses bernegara (Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD 1945).Â
Konsep "otoritarianisme new and free style" bagi Penulis sering digunakan untuk mengukur kualitas kebijakan dengan hasilnya. Ternyata proses yang dianggap meninggalkan produk kolonial justru mengarah pada otoritarian. Samar dan halus. Cuma jelas dan nyata efeknya bagi buruknya demokratisasi.
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi dan penafsir UU telah banyak memberikan arahan dan pijakan agar norma hukum dalam sebuah UU dapat sejalan dengan demokratisasi Indonesia. Putusan MK yang khusus memberikan check and balances terhadap kebebasan suara bagi warga negara jusrtu diabaikan.Â
Sifat putusan MK yang open legal policy ditafsir tunggal dan subjektif. Norma hukum yang telah ditiadakan oleh MK justru dihidupkan kembali oleh pemerintah khususnya sebagai inisiatif utama dalam penyusunan KUHP baru.
Putusan MK No.013-022/PUU-IV/2006 atas uji materi dari Pasal 134 KUHP sebagai induk asli (Pasal 136 dan 137 secara otomatis juga dianggap inkonstitusional) jelas telah mematikan pasal penghinaan pada Presiden dan Wakil Presiden. Induk asli dari Pasal 134 telah dihapus.
Ini sejalan dengan nafas proses demokrasi Indonesia. MK juga telah memberikan tafsir Pasal 207 KUHP dari BAB VIII khusus tentang Kejahatan Terhadap Penguasa. Hal ini beda dengan redaksional asli dari BAB II tentang Kejahatan-Kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.Â
Pasca putusan MK tahun 2006 Presiden dan Wakil Presiden dianggap penguasa. Cuma dalam praktek dengan delik aduan (klacht delicten). Bukan delik umum atau biasa (gewone delicten). Bahkan jika Presiden dan Wakil Presiden dianggap dihina dapat menggunakan norma hukum tentang pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP).
Bahkan dalam perkembangan tafsir norma hukum tentang perdebatan delik, melalui Putusan MK No. 31/PUU-XIII/2015 juga memberikan tafsir pada Pasal 319 KUHP. Penegak hukum dalam space ini dapat menggunakan penerapan restorative justice agar kebebasan bersuara tetap terjaga.
Pemerintah menggunakan analogi dengan putusan MK No.06/PUU-V/2007 atas uji materi Pasal 154 KUHP. Dalam norma hukum ini ada redaksional ".......merendahkan terhadap pemerintah.......". Pada BAB V tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. MK sudah bijak dengan mencabut norma hukum tersebut.Â
Hal ini sangat logis bahwa pada tahun 2006 pemaknaan "penghinaan Presiden dan Wakil Presiden" telah dihapus. Dalam original intent Pasal 154 ada bingkai pemerintah di dalamnya ada lembaga kepresidenan sebagai lembaga dari Presiden dan Wakil Presiden sebagai jabatan personal. MK telah konsisten menjaga demokrasi dengan baik. Memberikan pembeda antara personal, jabatan dan kelembagaan.
Hal aneh justru diperlihatkan oleh pemerintah dengan menggunakan basis argumentasi tafsir dari Pasal 154 KUHP dalam membuat dasar norma hukum untuk menghidupkan lagi pasal tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Dianggap menafsir ulang atas putusan MK pada tahun 2006. Inilah kekacauan pemahaman bagi pemerintah.Â