Lirih tapi suaranya jelas kudengar. Seorang wanita menangis di gudang tua. Siapa?
Setahuku tidak ada orang lain di rumah ini selain kakek dan nenek. Pak dhe, anak sulung kakek-nenek sudah lama tinggal di rumahnya sendiri di kampung sebelah.
Bulik, anak bungsu kakek-nenek juga sudah diboyong oleh suaminya. Mereka sekarang tinggal di kota. Bapakku, anak kedua dari tiga bersaudara kakek-nenek juga tinggal di metropolitam.
Setiap libur sekolah aku selalu tinggal bersama mereka. Kadang-kadang seminggu bahkan pernah sampai dua minggu. Hari terakhir libur aku baru pulang ke rumah.
Aku memang senang sekali tinggal di kampung. Suasananya sangat damai. Berbeda dengan keadaan di kota yang bising. Bukan saja oleh bising suara kendaraan dan mesin-mesin pabrik. Tapi juga suara gaduh orang-orang. Saling berebut, saling bersaingan.
Pagi-pagi di kampung aku bisa mendengarkan suara kokok ayam atau cericit burung. Lenguhan sapi merdu seperti irama penyanyi sopran. Malam hari orkestrasi jangkrik, belalang dan burung celepuk begitu syahdu.
Udaranya sangat sejuk. Daun-daun hijau membuat mata bersinar. Pucuk-pucuk daun menebarkan aroma wangi. Apalagi bulir-bulir embun, bening membuat hati terasa tenteram.
Penduduknya ramah-ramah. Senyumnya begitu tulus. Sifat kekeluargaan dan kegotongroyongannya masih tinggi. Semua pekerjaan jadi terasa ringan.
Beda dengan kehidupan kota yang hiruk pikuk. Orang-orangnya mementingkan diri sendiri. Kekerabatan selalu dinilai dengan sejumlah nominal.Â
Saban hari rasa-rasanya otakku akan pecah.
**
Oleh kakek aku begitu disayang. Katanya karena aku satu-saunya cucu yang mau berlama-lama tinggal di rumahnya. Cucu-cucu yang lain tidak ada yang betah menginap di rumah kakek.
Alasannya ada saja. Mereka bilang rumah kakek serem, kamarnya sempit dan kamar mandinya jorok. Makanannya nggak enak.
Menurutku masakan nenek adalah masakan yang paling enak yang pernah aku rasakan. Padahal cara masaknya sederhana banget. Bumbunya diulek saja. Memasaknya dengan kayu bakar.
Nenek suka mengajakku memetik sayuran di kebun atau ke sawah. Kakek menanam bermacam-macam tanaman sayuran. Jadi nenek tinggal memetiknya kalau mau memasak.
Kakek-nenek sangat menyayangiku. Bahkan aku begitu dimanjakannya. Aku boleh ngapain saja di rumah mereka. Hanya ada satu tempat yang aku tidak boleh memasukinya.
"Dita jangan masuk ke kamar gudang ya kalau main" pesan kakek sangat mewanti-wanti ketika aku masih kecil.
Sekarang setelah dewasa aku menjadi penasaran kenapa mereka melarangku masuk ke gudang di bagian belakang rumah.
Ketika kakek pergi ke sawah dan nenek belanja ke pasar aku nekad ingin mengetahui isi di dalam gudang. Dengan berjingkat-jingkat aku melangkah ke gudang.
Lamat-lamat kudengar seperti ada seorang perempuan yang menangis. Suaranya lirih sekali. Seakan menahan kepedihan hati.
Sangat gelap. Kondisinya begitu pengap. Sepertinya lampunya tidak pernah dinyalakan. Barang-barang rongsokan berantakan. Debu bererbabgan ketika aku mencoba menggeser sebuah bangku.
Mataku menyisir ke seluruh ruangan. Aku ingin melihat barangkali ada barang yang masih bisa digunakan. Di bawah meja mataku tertumbuk ke sebuah benda yang tidak asing dengan anak-anak kecil.Â
Sebuah dakon kayu dengan ukiran yang indah. Dua buah patung kecil berada di ujung-ujungnya saling berhadapan.Â
Dengan susah payah aku dapat mengambilnya. Debu tebal menutupi lubang-lubangnya. Tidak sabar aku meniupnya dengan keras. Debu-debu menghambur ke mukaku. Mataku tertutup. Gelap. Hidung dan mulutku penuh kemasukan debu.
Pandanganku semakin gelap. Aku kesulitan untuk bernafas. Dada terasa tersumbat, tersengal-sengal. Tetiba kepalaku terasa pusing. Berat sekali. Akupun kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Terkulai pingsan.
Dalam pingsanku, kulihat patung-patung tadi menangis. Merintih.
"Kenapa kalian menangis?"tanyaku.
"Sejak dibeli oleh kakekmu aku tidak pernah dimainkan."
"Kami sedih!"
Jkt, 021220
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H