Sofyan Hdayat, seperti pemuda Garut pada umumnya, dia mewarisi bakat menyukur rambut dari para leluhur tanah kelahirannya.
Hanya dengan sekali melihat kakak iparnya memangkas rambut pelanggannya, dia langsung paham bagaimana membuat kaum laki-laki tambah tampan penampilannya. Sejurus kemudian dia sudah berani memegang kepala pelanggan pertamanya.
"Daripada kerja tidak kelihatan hasilnya, kamu ikut kakak iparmu saja sana", nasehat emaknya yang mendorong langkahnya merantau ke Jakarta 5 tahun yang lalu.
Ya, kakak iparnya memang sudah lebih dahulu menjadi tukang cukur di Jakarta. Beberapa tahun merantau dia sudah bisa membuat rumah sendiri di atas tanah pembagian mertuanya. Kesuksesan ini yang membuat emaknya menyuruhnya mengikuti jejak sang kakak ipar.
Dengan segala kepatuhannya dia pun mengikuti anjuran sang emak. Memang setelah dipikir-pikir sudah bertahun-tahun bekerja di pabrik hasilnya tidak nampak. Seakan-akan hanya habis untuk makan saja.
Padahal dia sudah bekerja 8 jam sehari. Kadang harus lembur segala. Gaji mingguan yang diterimanya hanya pas-pasan untuk menghidupi dirinya dan emaknya.
Sempat juga dia pindah kerja ke perusahaan. Dia sempat menjadi kepercayaan bosnya. Saking percayanya semua pekerjaan harus dia pegang.Â
Dari membuat surat penawaran barang sampai mengurusi keluar masuknya keuangan perusahaan. Padahal sesungguhnya dia diterima di perusahaan sebagai tenaga administrasi gudang saja.
Merasa haailnya tidak sebanding dan atas nasehat emaknya maka dia mengajukan pengunduran diri. Sofyan Hidayat sudah bertekad bulat mwngikuti jejak kakak ipar.
Mengawali sebagai Tukang Cukur
Dengan diiringi restu emak dia melangkah dengan mantab. Sang kakak ipar pun berjanji akan membimbingnya supaya menjadi seorang tukang cukur yang sukses.
Kakak iparnya termasuk tukang cukur yang terbilang sukses. Menyewa tempat usaha yang strategis menjadi modal utama kesuksesannya. Dia jeli melihat daerah yang padat penduduknya. Dari sanalah dia mengharapkan pelanggannya berdatangan.
Dengan sentuhan keramahtamahan dan hasil pekerjaan yang memuaskan membuat pelanggannya selalu kembali meminta jasanya. Inilah yang ditularkan oleh kakak iparnya.
Sebulan magang dengan sang kakak ipar dia dilepas untuk mandiri. Berkat bantuan kakak iparnya dia mengontrak sebuah bangunan ruko sederhana. Sekali lagi, yang dilihat bukan bangunannya tetapi banyaknya pelanggan yang diincarnya.
Memulai Bekerja Secara Mandiri
Hari pertama memulai usaha dia kedatangan pelanggan sepasang suami istri dengan anaknya yang masih kecil. Dia berpikir lumayan dua kepala.
Ternyata pelanggan pertamanya adalah sang anak yang masih balita. Terbayang bagaimana susahnya menyukur rambut anak kecil. Belum lagi anaknya menangis yang membuatnya keluar keringat dingin.
Pengalaman baru yang kelak akan membuatnya menuju tangga kesuksesan. Ya pengalaman baru. Sewaktu magang di tempat kakak iparnya belum pernah dia menangano pelanggan anak-anak begini.
Sambil shalawatan dia dengan hati-hati sekali menyukur rambut balita pelangganna. Dibantu sang ibu yang mencoba menenangkan anaknya, maka luluslah dia dari ujian pertamanya.
"Terima kasih", katanya sambil menerima uang selembar sepuluh ribuan. Itulah tarif yang dia kenakan untuk sekali cukur bagi anak-anak.
Alhamdulillah bisa makan hari ini, pikirnya dalam hati.Â
Sambil mendengarkan musik dangdut yang diputar dari handphone jadulnya dia dengan sabar menunggu datangnya pelanggan. Tapi rupanya rizkinya hari ini hanya satu. Pelanggan balita.
Entah sebagai isyarat dari Tuhan atau memang karena pembawaannya yang ramah, pelanggan-pelanggan hari-hari selanjutnya kebanyakan anak-anak dibandingkan remaja atau orang dewasa.
Memang ada perbedaan pendapatan kalau dia mendapatkan pelanggan orang dewasa. Tarif anak-anak 10 ribu rupiah, sedangkan remaja dan orang dewasa 15 ribu rupiah. Kadang orang dewasa minta dirapikan jenggot dan kumis dan harus menambah lima ribu rupiah lagi.
Siapapun pelanggan yang datang dia berikan pelayanan yang terbaik. Berapapun penhasilan yang dia terima selalu dia syukuri.Â
Dalam sehari rata-rata dia mendapatkan 5 pelanggan anak-anak dan 3 atau 4 pelanggan dewasa. Artinya setidaknya setiap hari dia mendapatkan pemasukan 100 ribuan rupiah.
Pendapatannya itu langsung dia pisah-pisahkan. Dua puluh ribu untuk tabungan bayar kontrakan. Tiga puluh ribu untuk makan minumnya. Sisanya dia tabung persiapan masa depannya dan mengirimi emaknya di kampung. Begitulah dia mengatur keuangannya.
Memberanikan Diri Membangun Rumah Tangga
Dua tahun setelah berusaha secara mandiri dengan penghasilan yang terbilang lumyan tetap Sofyan Hidayat menikah dengan seorang gadis temannya sewaktu masih bekerja di pabrik.
Istrinya yang bekerja sebagai bagian HRD tidak memungkinkan untuk ikut merantau ke Jakarta. Dia yang mengalah setiap bulan harus pulang kampung. Bahkan awal-awal.mwnikah dia lebih sering berada di kampung.
Tiga bulan menikah istrinya hamil. Ditasa bakal memerlukan biaya persalinan dan biaya untuk sang baby kelak maka dia lebih menahan diri untuk tidak terlalu lama-lama di samping sang istri. Untunglah komunikasi tetap berjalan lancar karena adanya alat komunikasi yang semakin canggih.
Betapa senangnya setahun setelah peenikahannya lahirnya anak laki-laki pertamanya, Muhammad Ammar al Fathir. Nama anaknya sekarang menjadi papan nama tempat usahanya Ammar al Fathir menggantikan nama sebelumnya, pangkas rambut Hidayah.
Kelahiran anak pertamanya kembali membuat dirinya harus banyak berada di kampung. Menemani istri dan anaknya. Bahkan kali ini dia harus meliburkan usahanya hampir 3 bulan.
Untunglah pelanggan setianya tetap menyambut kedatangannya kemudian dengan tetap memperrcayakan merapikan rambut mereka. Usaha pangkas rambutnya tetap berjalan maju.
Untung tak dapat diraih, rugi tak dapat ditolak. Begitulah lika-liku usaha pangkas rambut yang dikelolanya.
Gegara Pandemi Covid-19
Tanpa disangka-sangka datanglah musibah yang melanda seluruh dunia, pandemi cocid-19. Akibat penerapan PSBB usahanya mencapai titik nadir. Hampir tiga bulan sama sekali tidak ada pelanggan yang datang.
Bukan hanya dirinya bahkan hampir semua sektor usaha lumpuh. Bahkan kakak iparnya sendiri menyerah. Dia memutuskan untuk berhenti menjadi tukang cukur dan hidup bertani di kampung.
Sofyan Hidayat tidak mau menyerah. Dia punya keyakinan keadaan pasti akan pulih kembali. Maka dengan tetap sabar dia membuka kembali usaha ketika pemerintah melonggarkan PSBB.
Dia melayani dengan sepenuh hati satu atau dua pelanggannya yang datang. Dia tetap tersenyum ramah. Dia tetap melantunkan shalawatan ketika pelanggan anak-anak yang datang. Sesekali dia cerita tentang games yang baru ngetrend.
Tarif yang sebetulnya Rp.15 ribu untuk anak-anak dan 18 ribu rupiah untuk orang dewasa tidak dipatok secara kaku. Dia menyesuaikan kondisi keuangan pelanggannya.
Bahkan suatu kali dia membebaskan pelanggannya untuk tidak membayar. Pernah pula ada seorang pelanggan yang membayar dengan satu pack roti tawar. Dia pun dengan ikhlas menerimanya.
Sebuah teladan hidup tentang kepatuhan kepada orang tua dan kesalehan sosial yang mulai langka di dalam kehidupan, terutama di kota-kota besar.
Jkt, 211120
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H