Mohon tunggu...
Mas Sam
Mas Sam Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca tulisan, menulis bacaan !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Telor Busuk

5 Oktober 2020   00:20 Diperbarui: 5 Oktober 2020   00:32 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ploook !

Sebutir telur busuk mendarat tepat di mukaku. Sejurus kemudian meleleh melumuri wajahku. Bau busuk menyengat menusuk hidung.

"Kurang ajar. Ada yang berani main-main denganku !", geramku dalam hati. Tunggu pembalasanku, janjiku sambil mataku mengawasi perempuan yang segera di ringkus oleh para pengawalku.

Dia meronta berusaha melepaskan dari telikungan pengawalku. "Politikud busuk", teriaknya sambil berusaha melepaskan diri dan merangsek ke arahku.

Aku pun menghentikan pidato kampanyeku. Beberapa orang pendukung setiaku berusaha membersihkan mukaku dengan tisu basah. Seorang wanita pendukungku menuangkan air mineral, membasuh mukaku.

Aku tidak menyangka kampanye perdanaku mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan. Memang aku memaksakan untuk kampanye tatap muka langsung. Kampanye secara virtual tidak efektif menurutku.

Dengan bertemu langsung aku bisa merasakan gairah para pendukungku. Dengan demikian mereka akan beranggapan aku mau dekat dengan kehidupan mereka.

Sebagai petahana aku sebenernya banyak diuntungkan. Semua fasilitas milik pemerintah bisa aku manfaatkan. Bahkan anggaran pun bisa aku gunakan untuk menciptakan citra baik diriku.

Sudah sejak dua tahun belakangan aku sibuk mendekati masyarakat pemilih. Aku rajin mengunjungi warga dan komunitas. Setiap bertemu dengan mereka tidak lupa aku memberikan bantuan sosial dengan menggunakan anggaran pemerintah daerah tentunya.

Dengan strategiku seperti ini lawan-lawwn politikku harus berpikir dua tiga kali kalo mau menantangku maju ke pilkada. Harus kuat dukungan modal yang tidak sedikit. Kalau nanggung percuma hanya buang-buang modal saja.

                                  **

"Mas aku perlu dana 5 M", pinta istri mudaku. Katanya uang sebanyak itu untuk mengamankan dukungan untukku.

Tanpa berpikir panjang aku pun menyanggupinya. Toh untuk kepentingan mendongkrak popularitasku juga, pikirku.

Setiap aku mau berkunjung ke suatu wilayah istri mudaku itu selalu merengek pengin ikut. Aku sebenernya jadi kasihan dengan istri pertamaku yang tidak pernah aku ajak. 

Padahal istriku itu besar sekali jasanya untuk suksesnya karirku di dunia politik. Pada awal aku terjun ke dunia politik dukungan dana dari keluarganya tidak terhitung jumlahnya.

Memang si beberapa kerabat dari istri sudah aku tempatkan di beberapa tempat yang strategis. Anggap saja semacam balas budi begitu. 

"Hati-hati dengan si pelakor itu mas", kata istriku suatu waktu memperingatkan aku. 

Aku tidak menanggapinya. Aku pikir istriku sedang cemburu saja. 

Menjelang pilkada memang istri mudaku kelihatan sibuk banget. Selain selalu minta mendampingi setiap acaraku dia juga mempunyai agenda bertemu dengan warga tersendiri.

Pembawaannya yang supel menjadikan dirinya gampang diterima oleh masyarakat. Akulihat dia mencoba mendekati kaum milenial karena memang usianya tidak terpaut jauh.

Aku senang-senang saja dengan aktivitas istri mudaku itu. Tidak ada syak wasangka apapun.

                              **

Aku baru tersadar ketika pendaftaran bajal calon pilkada. Ternyata dia ikut mendaftar sebagai kandidat calon dalam pilkada 2020.

Jadi selama ini dia menggalang dukungan untuk dirinya sendiri bukan untukku. Sungguh permainan politik yang cantik, pikirku.

Sejarahpun tercatat pada pilkada tahun ini, istri muda memperebutkan kursi kepala daerah melawan suaminya sendiri.

Aku yang sudah malang melintang sebagai politikus merasa kecolongan dengan majunya istri mudaku sebagai kandidat dalam pilkada.

"Politik itu kotor. Politikus itu licik ya pak", tanya ketua pemenangan pilkadaku.

Aku mencoba menjelaskan kepadanya, "politik itu indah !"

"Ketiwasan pak."

"Ada apa memangnya", tanyaku.

Perempuan yang tadi melempar telor busuk ke muka bapak adalah suruhan ibu muda, dia menjelaskan setelah mendapatkan informasi dari aparat.

Wajahku memerah. Darahku memdidih samai ke ubun-ubun. 

Bruuk. Aku terkena stroke !

Jkt, 051020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun