Mohon tunggu...
Mas Sam
Mas Sam Mohon Tunggu... Guru - Guru

Membaca tulisan, menulis bacaan !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Minggat

10 Agustus 2020   10:52 Diperbarui: 11 Agustus 2020   17:13 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Amarahku memuncak. Bukan saja karena kehadiran si kakek dengan permintaannya yang aneh-aneh tetapi juga terhadap sikap suamiku yang hanya diam saja. Aku merasa tidak terlindungi sehingga aku memilih untuk meninggalkan rumah. Minggat !

Bayangkan dengan dengan kedatangan si kakek di rumah kami bagiku sangat mengganggu privacy kami. Aku merasa jengah di rumah jadi serba tidak bebas di rumah sendiri. Apalagi tatapan matanya yang mengikutiku kemana pun aku bergerak. Belum lagi keinginannya untuk memberihkan rumah dan badanku yang katanya diselimuti kabut hitam.

Puncak kemarahanku ketika si kakek berniat untuk membersihkan tubuhku dengan cara memandikan dengan air kembang tujuh rupa. Gila kataku. 

Aurat yang selalu kujaga dan hanya boleh dilihat oleh suamiku masa harus kuperlihatkan kepadanya dengan dalih yang tidak masuk akal.  

Masih bisa aku terima seandainya aku mandi sendiri tapi si kakek bersikukuh harus dia yang memandikan dengan alasan hanya dia yang tahu rapal ritualnya.

Kehadirannya di rumah kami juga menambah pengeluaran rumah tangga kami. Pagi-pagi aku harus menyuguhkan kopi hitam dengan beberapa potong makanan kecil. Siang sedikit aku harus membuatkan teh tubruk yang kental. 

Tengah hari makan siang harus dengan lauk ayam kampung goreng. Kopi hitam kembali harus aku buatkan pada sore hari. 

Setelah maghrib makan malam harus dengan sayur bening dan ikan goreng. Malam hari agar tetap terjaga aku harus menyediakan air panas dalam termos dan kopi bubuk hitam plus makanan kecil.

Apalagi kami harus menyediakan beberapa uba rampe dalam setiap ritual yang dilakukan oleh si kakek.

***

"Kenapa mas diam saja?", tanyaku kepada suamiku.

"Dia orang pintar. Kita tidak boleh sembarangan!", jawab suamiku ketika aku mendesaknya untuk mengambil tindakan atas sikap dan perilaku si kakek.

Aku semakin jengkel jadinya. Tidak hanya kepada si kakek tapi juga pada suamiku yang menurut saja apa yang dikatakan si kakek. Sebenernya ini hanya pemicu kemarahanku saja. 

Kami sudah hidup bersama lebih dari empat bulan tapi suamiku tidak beranjak dari dirinya sendiri. Hidup kami masih harus disokong oleh mertua. Semua kebutuhan kami dipenuhi oleh mertua menjadikan suamiku sangat tergantung terutama kepada ibu mertuaku.

Aku yang terbiasa hidup mandiri menjadi berontak dengan situasi seperti ini. Apalagi setelah menjanda aku terbiasa mencari penghasilan sendiri dan tidak pernah menggantungkan diri kepada orang lain apalagi kepada orang tua. 

Kepada para lelaki yang memaksa ingin memberikan sesuatu kepadaku apalagi ada buntutnya di belakang pasti aku tolak dengan tegas.

Mendapati suamiku yang bergantung sepenuhnya kepada orangtuanya tanpa mau bekerja membuatku berpikir ulang tentang rumah tangga kami. Apalagi melihat sikap suamiku yang pura-pura tidak tahu kelakuan si kakek di rumahku semakin membuatku tidak betah di rumah. Begitu ada kesempatan keluar rumah maka aku kabur !

Apakah aku harus menjadi janda untuk yang kedua kalinya ?

Jkt, 100820

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun