Amarahku memuncak. Bukan saja karena kehadiran si kakek dengan permintaannya yang aneh-aneh tetapi juga terhadap sikap suamiku yang hanya diam saja. Aku merasa tidak terlindungi sehingga aku memilih untuk meninggalkan rumah. Minggat !
Bayangkan dengan dengan kedatangan si kakek di rumah kami bagiku sangat mengganggu privacy kami. Aku merasa jengah di rumah jadi serba tidak bebas di rumah sendiri. Apalagi tatapan matanya yang mengikutiku kemana pun aku bergerak. Belum lagi keinginannya untuk memberihkan rumah dan badanku yang katanya diselimuti kabut hitam.
Puncak kemarahanku ketika si kakek berniat untuk membersihkan tubuhku dengan cara memandikan dengan air kembang tujuh rupa. Gila kataku.Â
Aurat yang selalu kujaga dan hanya boleh dilihat oleh suamiku masa harus kuperlihatkan kepadanya dengan dalih yang tidak masuk akal. Â
Masih bisa aku terima seandainya aku mandi sendiri tapi si kakek bersikukuh harus dia yang memandikan dengan alasan hanya dia yang tahu rapal ritualnya.
Kehadirannya di rumah kami juga menambah pengeluaran rumah tangga kami. Pagi-pagi aku harus menyuguhkan kopi hitam dengan beberapa potong makanan kecil. Siang sedikit aku harus membuatkan teh tubruk yang kental.Â
Tengah hari makan siang harus dengan lauk ayam kampung goreng. Kopi hitam kembali harus aku buatkan pada sore hari.Â
Setelah maghrib makan malam harus dengan sayur bening dan ikan goreng. Malam hari agar tetap terjaga aku harus menyediakan air panas dalam termos dan kopi bubuk hitam plus makanan kecil.
Apalagi kami harus menyediakan beberapa uba rampe dalam setiap ritual yang dilakukan oleh si kakek.
***