Kulihat badannya masih menggigil, jaket kulitku tak sanggup menghangatkan tubuhnya. Wajahnya terlihat pucat. Aku memeluknya erat.
"Minumlah mbak, biar hangat", kataku sambil menyodorkan segelas teh manis hangat.
Tangannya serasa tak mampu meraih gelas yang aku sodorkan. Â Aku membantunya mendekatkan ke bibirnya. Â Pelan dia menyeruput teh. Â Diulangi sekali lagi, kali ini lebih lama meneguknya.
"Makasi mas. Â Badan mulai hangat", katanya.
"Habiskan mbak", pintaku.
Wajahnya mulai memerah cerah. Â Aku merasa lega. Â Matahari mulai meninggi sinarnya menghangatkan alam sekeliling.
"Kita berjemur yuuk mbak", ajakku.
Tanpa menunggu jawabnya aku memapah dia ke halaman rumah. Â Pagi yang indah seindah wajah mbak Dita yang baru.
"Mbak Dita makin cantik", kataku sambil terus memandangi wajahnya.
"Mas bisa aja", katanya sambil tersipu.
Senyumnya manis sekali. Â Matahari makin meninggi sinarnya semakin terasa panasnya. Â Tubuh kami berkeringat.
Sore hari sebelum kami kembali ke kota, kami berdua ibu dan uwak, berbincang di teras sambil menikmati teh dan singkong rebus.
"Bagaimana keadaan mbak Dita, wak ?", tanyaku agak serius ke uwak.
"Lihat aja wajahnya. Â Udah bersih kan", jawab uwak.
Kami serempak memandangi wajahnya yang membuat mbak Dita tersipu.
"Iya lebih seger", kata ibu.
"Lebih cantik bu", candaku.
Kami semua tersenyum.
"Emang gimana ceritanya nak Dita ?", tanya uwak yang membuatnya kaget tidak menyangka dengan pertanyaan uwak.
"Saya tidak tau, wak", jawabnya.
Menurut cerita ibunya, kemungkinan ini semua karena dendam kesumat neneknya kepada kakeknya. Â Sebenernya kakek neneknya adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Â Persoalannya adalah perbedaan kasta sosial ekonomi mereka. Â Kakeknya berasal dari dari keturunan orang kaya raya di kampungnya, sementara neneknya hanya seorang gadis biasa.
Pada awal pernikahan mereka keadaannya baik-baik saja karena memang mereka saling berkasih sayang. Â Prahara rumah tangga mereka muncul ketika istrinya mengandung sudah sekitar 7 bulanan. Â Anak dalam kandungan ini yang kelak lahir sebagai ibunya mbak Dita.
Setelah selametan tujuh bulanan itulah tragedi keluarga kakek neneknya terjadi. Â Sebagai keluarga dari keturunan keluarga berada acara selametan tujuh bulanannya diadakan secara mewah. Â
Acara nujuh bulan dilaksanakan dengan rangkaian upacara yang sakral dan lengkap. Â Makanya empunya hajad yang baru mengandung dirias paes agung, riasan kebesaran layaknya permaisuri kraton.
Celakanya suaminya tertarik kepada sang perias yang memang selalu berdandan wah dan penampilan yang luwes. Â Sejak saat itulah dia menelantarkan istrinya dan memadu kasih dengan sang perias. Â
Sekali merasakan kenikmatan dengan sang perias, dia semakin menjadi-jadi kegilaannya terhadap para wanita. Â Dengan harta bendanya yang melimpah dia dapat memikat hati perempuan-perempuan yang diincarnya. Tak terhitung berapa perempuan yang menjadi korbannya. Tidak terbatas janda-janda di kampungnya, tetapi juga perawan-perawan. Â Bahkan tidak sedikit para istri yang tergoda dengan rayuan asmaranya.
Sejak itulah dia melupakan istrinya yang sedang hamil tua. Istrinya yang merasa disakiti hatinya dan ditelantarkan puluhan tahun menaruh dendam. Untuk meluapkan dendamnya dia melakukan "topo broto". Â Pas cucunya lahir, ari-ari (placenta) sang bayi dicuci bersih kemudian ditaburi kembang tujuh rupa. Â Setelah ditiupkan jampi-jampi, ditanam di depan rumah sebelah kiri pintu.
"Kelak anakmu akan membalaskan dendamku", katanya kepada putri semata wayangnya yang baru melahirkan.
"Cucuku Dita kalo sudah dewasa akan membuat laki-laki yang melihat menjadi terpikat".
Kenyataannya sejak sekolah di SMP Dita sudah dikejar-kejar teman-teman laki-lakinya. Â Bahkan guru olah raga dan pelatih Pramukanya menaruh hati kepadanya.
Semasa di SMA sudah terhitung berapa teman cowoknya juga guru-guru laki-lakinya yang terang-terangan menyakatan kesukaannya. Â Ada seorang guru sampai nekad melamar ke orang tuanya.Â
Cerita tentang para lelaki yang mengejar-ngejarnya berakhir ketika dia dipersunting oleh seorang laki-laki kaya raya. Â Sebenernya dia tidak mencintai laki-laki pilihan orang tuanya tersebut. Â Tetapi demi mengangkat derajad dan berbakti kepada orang tuanya dia dengan terpaksa menerimanya. Seperti sudah diceritakan, sekalipun sudah bersuami tetap saja banyak laki-laki yang nekad ingin bersanding dengannya. Â Sampai pada suatu saat mbak Dita merasa lelah dan terganggu dengan ulah para pemujanya.
Sehabis lewat waktu Ashar kami pamit kepada ibu dan uwak untuk kembali ke kota.
"Ibu kami pamit ".
"Wak kami balik ke kota, ya".
"Ya udah sana nanti keburu gelap", kata ibu.
"Kalian hati-hati di jalan. Â Kalau bisa besok nyari tempat kontrakan yang baru ya nak Dita", saran uwak.
Kami segera melaju meninggalkan kampung dengan motor. Â Sepanjang perjalanan mbak Dita memelukku erat-erat. Â Perjalanan kami menjadi semakin menyenangkan karena rembulan sedang purnama.
Kulihat rembulan di wajahnya. Â Sinarnya begitu lembut menyejukkan hati. Â
Jkt, 030720
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H