Aku mencium kening ibu , untuk terakhir kalinya.  Mereka mengatakan, sudah waktunya, usianya sudah 90 tahun. Hanya saja, untuk menjadi ikhlas dan mengobati sedih ini masih saja berat. Meski ibu sudah renta, ia adalah  semangat hidupku. Sangat kehilangan.Â
Belum setahun aku ditinggalkan wafat suami. Â Rasanya berat membawa kabar duka kepada ibu. Sengaja aku sembunyikan kabar duka itu, sampai saat suami dikebumikan. Â Jangan sampai ibu menjadi sedih, kesedihan ternyata bisa merenggut kesehatan fisik seseorang.
Pada akhirnya ibu tahu juga. Ia  yang masih sehat dan bugar, masih lincah dan berjalan kesama kemari tampak  terpukul. Dengan berat hati kusampaikan kabar duka itu.  Mengajak ibu hadir di pengajian  40 hari wafatnya suami.
Semoga ibu tetap sehat. Sepeninggal suami, aku pindah kembali ke Bandung. Tadinya  bermukim di Jakarta mendampingi pak suami. Kini bisa  lebih sering mengunjungi ibu, berbicara dari hati ke hati.  Makan lotek kesukaan ibu bersama-sama.
Beberapa bulan kemudian, kakakku mengadakan syukuran usia ibu 90 tahun sekalian  silaturahmi usai lebaran. Ibu gembira sekali, ia ikut nyanyi bareng. Ibu  suka dna pandai menyanyi, pandai juga main piano. Gembiranya ibu karena  adik satu satunya dan para adik sepupunya ikut hadir.
Semoga ibu tetap berbahagia. Aku tahu duka seorang ibu , aku merasa menjadi seorang ibu. Pasti ibu ikut bersedih karena aku sangat berduka. Namun, di hadapan ibu, anak-anak, dan siapapun, aku harus menjadi sosok yang kuat dan tegar.
Cukup juga ibu bersedih  karena tidak semua anaknya berada dalam ekonomi yang stabil. Jangan sampai  bertambah beban ibu, biarlah ibu tetap bahagia dan tenang  di hari tuanya.
Tidak boleh cengeng. Selalu bangkit saat terjatuh.
Bukankah ibu yang mengajarkan semangat itu? Kami anak-anaknya menjadi saksi  penderitaan ibu,  kesedihan,  saat mendampingi ayah. Tidak mudah juga menghadapi lingkungan yang tak selalu baik dan adil. Tak perlu kami kisahkan,  bagaimana ketidak adilan  kerap menerpa ayahku. Namun memiliki istri sekuat ibu, badai hebatpun  mereka terjang bersama.
Komitmen hebat ibu dan ayah untuk selalu menjaga biduk rumah tangga mereka melaju terus membelah badai sekalipun.
Ibu seorang apoteker, yang lulus profesi apoteker setelah memiliki 5 anak. Menikah saat masih berkuliah di jurusan farmasi ITB. Aku dan kakak-kakak sering diajak  ke kampus saat ibu sedang praktikum di lab.
Bersama  kakak perempuan  , kami bermain di halaman lab.  Judulnya, adik bayi diasuh oleh pembantu di rumah, yang balita diasuh ibu sambil kuliah dan praktikum. Saat itu ayah tugas belajar ke Nederland.
Ayah dan ibu merintis hidup dari nol.  Mulai dari mengontrak rumah bilik  di Gandok Ciumbuleuit , menyewa pavilyun kamar kost di jalan Dago  125, sampai  mendapat rumah dinas UNPAD, Jalan Progo, Kota Bandung.
JIWA ENTREPREUNERSHIPÂ
Untuk menambah  penghasilan keluarga, ibu pernah berjualan empek-empek, meski ia tetap bekerja sebagai apoteker. Memproduk es mambo yang dititipkan ke sekolah-sekolah.
Pernah juga ibu di rumah membuka salon. Karena ibu juga lulus dari kursus kecantikan. Sebagai apoteker ibu  memproduksi sendiri skincare dan menjualnya  di kalangan terbatas. Pernah juga ibu membuka konfeksi terima  jahitan, karena ibu memang  jago bikin baju dan menjahit.
Kami suka diajak ibu  ke Jalan Tamim, belakang Pasar baru Kota Bandung,  untuk berbelanja tekstil murah  berkualitas tinggi.  Biasanya ibu akan memproduksi baju-baju daster  lalu menjualnya.
 Rumah kami jadi showroom sederhana.Tentang menjahit, ibu tidak pernah kursus , tapi autodidak.  Sejak kecil hingga  remaja,  baju-baju kami anak perempuan adalah buatan ibu.
Jika lebaran tiba, ibu menerima pesanan ketupat , kue kering dan kue maksuba ala Palembang . Termasuk juga empek-empek. Jadi , pernah kami bergadang, Â saking banyaknya pesanan.
Kami anak-anak perempuannya terlatih untuk  ikut mengerjakan semuanya. Mulai dari belanja ke pasar Babatan (dulu termasuk murah) , sampai mengurus bahan masakan, kupas bawang dan lainnya.
Bergantian dengan kakak, gaya memasak ibu, pakai tungku kayu bakar. Jadi kudu rajin menjaga nyala api. Untuk membuat lapisan kue maksuba yang mirip  cara membuat  lapis legit. Bikin kue 8 jam ala Palembang,  pakai oven dan api  bawah plus api atas oven (arang).
Lain waktu, ibu menerima catering dari mahasiswa ITB, nasi kotak. Pernah juga terima pesanan tumpeng, aku bagian menghiasnya. Â Jadi ibu mengajarkan, untuk hidup, apa saja yang bisa kita lakukan. Jangan lemah dan berpangku tangan.
Secara tidak langsung, ibu mengajarkan bahwa  selalu ada  jalan di setiap lini kehidupan. Kerja apa saja, yang penting halal.
MENGAJAR TARI, MUSIK, SENI, BERENANG DAN MENGEMUDI
Kami  tak pernah sekolah mengemudi, tapi menguasai  setir  mobil  manual sejak usia 16 tahun , saat  mulai bisa mengambil SIM 17 tahun. Guru mengemudi kami , anak perempuan ibu, adalah ibu.
Ketika anak-anak lain ikut semua les, dari les renang, les tari , les bahasa inggris, les piano, ibu tak memiliki anggaran yang cukup. Karenanya setiap hari Minggu ibu mengajak kami berenang di kolam renang Centrum, tak jauh dari rumah. Jadi bisa berjalan kaki. Ibu mengajarkan langsung berenang .
Kakakku sempat juga  tampil sebagai penari Sriwijaya, karena ibu sendiri yang mengajarkannya. Ibu  pernah mengajar tari Tanggai ini di sebuah sekolah di Malaysia saat ikut ayah bertugas ke Malaysia.
 Bahkan ibu membuat sendiri kostum para penari, menjahitnya, dan  membuiat kalung, pending, paksangkong, tanggai sendiri.  Kreativitas dan kegigihan ibu sangat menginspirasi. Hasilnya , sekolah tersebut menjadi juara terbaik di Johor Baharu Malaysia.
Terlalu banyak  cerita tentang keteladanan kreativitas dan semangat ibu.  Bagaimana ia selalu  optimis,  kuat, semangat, pantang berkeluh kesah, dan selalu rendah hati. Ibu suka sekali bersedekah dan membantu mereka yang kesusahan. Meski jadinya sering pula  diculasi. Bagi kami, beliau wanita tahan banting dan hebat.  Meski masa kecil dan remajanya  penuh dengan kesejahteraan,  tapi saat berkeluarga ia memilih  mandiri  tanpa  bantuan orang tua.
Kami belajar banyak dari ibu, rumah tangga yang mandiri, tegar berjuang meski harus mulai dari nol.Â
KABAR Â GEMBIRA , VITAMIN JIWA UNTUK ORANG TUA
Ketika anak anaknya  sedih dan menangis, seorang ibu bisa jadi jauh lebih sedih dari anaknya sendiri.
Sebagai anak,  aku dan kakakku  , tak pernah curhat kabar sedih, duka, atau masalah lainnya. Termasuk saat berumah tangga. Keteladanan ibu  sangat menginspirasi kami. Sampaikan saja kabar gembira dan kebaikan kepada orang tua.
Kabar gembira adalah  vitamin jiwa untuk ibuku. Ketika ibu tetap tegar  ditinggal wafat ayah. Ayah mengalami gangguan sel darah. Penyakit yang agak aneh. Namun  penyakit ini dialami mereka yang pernah bekerja di lab radioaktif. Ayah saat membuat  tesis Fisika Nuklir melakukan percobaan di lab nuklir (Penang Malaysia). Ada kelalaian ayah, dalam  kostum pengamanan dan cara yang  tidak  sesuai SOP.Â
Setiap kabar gembira membuat ibu  sumringah, kami yakin,  cara ini membuat ibu sehat lahir batin.  Sebaliknya, kami terbiasa untuk menyelesaikan berbagai kesulitan ekonomi  sendiri, tampa melibatkan orang tua.  Kami belajar dari ibu yang sangat mandiri.
Ibu tak pernah  sombong, selalu  peduli dan sayang pada orang kecil. Sama seperti ayah.
Ketika ibu menghadiri  pengajian 40 hari wafatnya suami, ibu membawa amplop tebal.
"Pegang uang ini....  Pasti berat  ditinggal suami, uang pensiun itu kecil.... , ibu mah kan punya uang dari kontrakan.... " wajah ibu sangat kuatir. Ya ampun,  sungguh tak sampai hati jika  ibu ikut berduka.
"Ibu tidak usah kuatir, alhamdulillah  pensiun sudah sangat mencukupi. Anak anak kan sudah menikah dan mereka  mandiri...,Ibu jangan kuatir....," aku mencium tangannya.
Tangan yang begitu tegar membesarkan 6 orang anak, yang berjuang  dalam mendampingi suami. Melahirkan kami semua dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Seorang ibu adalah sosok yang paling berduka, ketika musibah menimpa anaknya. Bahkan  bisa berkali kali lipat merasa nyeri dan  marah, ketika anaknya teraniaya.
Masih  terbayang dalam ingatanku, setiap  mengunjunginya, berulang kali ia bertanya,, bagaimana  bisa menantunya itu wafat dalam keadaan tidak pernah sakit berat, apalagi dirawat di rumah sakit. Bagaimana bisa tidak ketahuan punya penyakit jantung. Entahlah, selama ini pemeriksaan kesehatan  tidak ada yang serius. Semua di luar dugaan.
Ibu hanya 5 hari  dirawat di ICU rumah sakit. Karena pembengkakan jantung.  Selama dirawat, ia selalu menanyakan  ayah , dan menanyakan ibunya.
"Ibu cepat sembuh ya, kita kumpul kumpul lagi .... Seperti waktu syukuran 90 tahun ibu.... Bikin halal bihalal lagi ya bu..., ibu mau kan? Ada Tante Ida, Tante Upik, Tante Lili, Tante Ita..... semua pada hadir.... ," kami menyemangati. Ibu mengangguk,  ia selalu bahagia jika sudah berkumpul  keluarga.
 Dalam dua hari ibu bisa pulang  ke rumah. Rumah adik bungsuku. Kamar yang sengaja kami renovasi untuk ibu, dan baru saja selesai ketika ibu masuk IGD. Karena rumah ibu sudah kami anggap tak layak huni. Dan sebelumnya ibu sangat sulit untuk diminta pindah dari rumah masa kecil kami itu. Setiap diajak kemanapun, ibu selalu minta pulang.
Kami berharap, ibu mau pindah ke rumah adik bungsuku yang tidak begitu jauh dari rumah masa kecil kami.
Namun  baru 2 hari di rumah , ibu  harus kami larikan lagi ke rumah sakit karena sesak nafas. Sampai akhirnya ia meninggalkan kami untuk selamanya.
Selamat jalan ibu sayang. Semoga  Allah memberikan tempat terbaik , syurga untuk ibu. Mengampuni semua salah dan khilaf, menerima semua amal kebaikan ibu.... Jasa ibu bagi kami tak terbatas..... Semangat , doa dan ibadah, dan nilai-nilai moral kebaikan,  ketekenunan , ketegaran ibu, akan selalu jadi panutan hidup kami.
Doa kami akan terus menggema untukmu , ibu dan ayah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H