Salah satu tempat kuliner istimewa di Kota Bandung, ya di Jalan Progo . Lokasinya tidak jauh  di balik belakang Gedung Sate (Jalan Cimandiri).
Ada Mom's Artisan Bakery  , Hummingbird Eatery , Sejiwa Coffee , Bakso Asgar Ikah, Shabo Kojo, Kopi Mandja , Iga Bakar Sijangkung, Giggle Box , Sweet Cantina (Nagawarna) dan lain sebagainya.
Studio foto  Jonas Photo yang keren kekinianpun ada  di pertigaan jalan Progo dan jalan Banda. So , jalan Progo memang mulai booming semenjak Studio Jonas Photo pindah dari Jalan Batik Jonas Sukaluyu ke jalan ini. Owner Jonas Photo ini juga membeli rumah kediaman Pak Rd Mulkan (Progo 12) ,  Pak Syahran Basah (Jalan progo 7), kediaman Pak Rasyid (jalan Progo 9), serta rumah di ujung Progo  sebelah timur (dulu bekas tempat kantor iuran PLN) yang kini menjadi Giggle Box.
Penuhnya parkiran mobil , ramainya wisatawan antar kota , tawa gembira dan keramaian , membuat siapapun sulit membayangkan , dulunya ini jalan  hening yang mirip dengan suasana perumahan baru saat ini.
Tulisan ini pernah  penulis unggah di sebuah web site yang sekarang sudah tidak ada ( HOKI Online) 9 Maret 2009. Dan kini  aku mengunggah kembali
Cerita Masa Kecil , Jalan Progo Kota Bandung
Rumah Dinas Dosen UNPAD , tempat kami tinggal, waktu itu  bentuknya seragam. Semua posisinya di utara ,  menghadap ke Selatan. Dari jalan Progo 1  (Qahwa/Belah Doeren) sampai jalan Progo 15 (Sejiwa Coffee).
Menurut cerita ibu, bangunan  ini dibangun tahun 1960an. Karena tahun 1950 an saat ibu  merantau kuliah ke Bandung, bangunan ini belum ada, masih sawah. Bangunan bersejarah peninggalan kolonial Belanda justru yang sudah ada yang berada di seberangnya.
Sebut saja  rumah kediaman Bapak Raden Mulkan di Jalan Progo 12, lalu di sebelahnya yang menjadi bangunan Hummingbird tahap 1 , termasuk bangunan  yang juga Hummingbird Eatery tahap 2.
Khusus cerita  tentang penghuni lama rumah sebelum dijual ke Hummingbird (2). Ada supir yang sangat setia , puluhan tahun bekerja di pemilik rumah  sampai pemilik rumah tersebut wafat, dan supirnya  sudah sangat renta, namanya Pak Aun. Akhirnya pak Aun menjadi juru parkir di sekitaran  rumah tersebut, kost di seberang rumah, sampai wafatnya. Nah , tinggallah istrinya yang juga menjadi juru parkir, sering dipanggil dengan sebutan Bu Aun.
Senja ketika kami menginjakkan kaki ke sebuah rumah yang bakal kami huni, tampak ribuan kunang-kunang memberikan sensasi  indah. Senandung burung malam, kalong, serta jangkrik yang riuh rendah bersahutan.
Kemilau kunang-kunang membuat kami terperangah oleh pesona. Apalagi dari pekarangan belakang penulis bisa melihat jelas Gedung Sate yang megah itu. Waw......., seru sekali. Dan suasananya masih gelap . Malah kata orang, ini kawasan yang menyeramkan kalau malam, rawan kriminal saking sepinya. Lumayan gelap pula. Sesekali terdengar penjual sekoteng panas lewat.
Paginya penulis yang masih usia 5 tahun, jalan-jalan ke belakang rumah. Maksudnya menyusuri Jalan Progo ke arah barat, lalu belok ke jalan Banda menuju utara dan menyusuri Jalan Cimandiri ke arah timur.
Sebetulnya gampang saja kalau mau langsung ke Gedung Sate, tembok benteng rumah kami yang menghadap ke selatan itu pendek sekali, tinggal melompatinya, menyeberang selokan, ketemu kebun jagung dan sawah serta balong ikan. Langsung deh jalan Cimandiri melintang di depan kami. Tapi lantaran ingin lebih banyak mengenal lingkungan, ya kami jalan kaki.
Tahun 1969 itu, Gedung Sate masih memiliki pekarangan yang belum ditata. Belum ada pagar  dan taman, tamannya ditata tahun 1983an. Banyak pohon besar dan ilalang yang tingginya kadang bisa sampai semeter. Ada batu besar dan kuburan pejuang di sana. Harus waspada juga, lumayan banyak ular berkeliaran.
Kami juga biasa bermain di tanah kosong (sekarang bekas gedung DPRD lama) yang membentang luas di sebelah barat Gedung Sate, menyeberangi Jalan Banda. Sesekali ada oplet jurusan Stasiun Hall  -Jalan Gagak yang lewat sana , tapi jarang sekali.
Aku akhirnya sering sekali 'piknik' ke Gedung Sate di bagian yang halamannya lumayan lebih rapi, di sebelah timurnya. Tentunya sejak disekolahkan di TK Citarum yang satu gedung dengan SPG negeri 1 jalan Citarum (sekarang SMAN 20). Saat TK , olahraga paginya sering juga di sebuah lapangan luas, dengan rumputnya (sekarang Masjid Istiqamah).
Barisan rumah dinas UNPAD itu dari ujung jalan barat berbatasan dengan jalan Banda, hanya ada 8 rumah. Sementara di bagian timurnya ada beberapa petak tanah kosong dan kebun ( sekarang ada 8 rumah berdiri di atasnya), lalu ke arah timur 4 rumah dinas ITB yang terus memanjang sampai ke jalan Cimanuk. Bangunan yang berdiri di jajaran rumah dinas UNPAD itu dibangun tahun 1960an, sementara yang sebelah barat rumah dinas ITB tahun 1950an.
Sebagai bocah , aku terkesima dengan sebuah pohon karet yang besar di depan rumah, kaktus besar, bougenvile ungu dan cemara . Halamannya rindang dan asri. Rumputnya rumput Jepang. Banyak sekali kapling kosong di sebelah barat rumah kami, namun tahun 1970an ada 2 rumah berdiri. Yang satu milik Walikota Bandung Rd Hidayat, yang satu milik Bupati bandung Rd Lili Sumantri. Dan berangsur lahan kosong didirikan ruman dinas ITB, ada 6 rumah baru berjajar.
Menyusul bangunan demi bangunan yang didirikan di Jalan Cimandiri, sehingga tak mungkin lagi aku'moncor' melompati pagar untuk sekedar main kucing-kucingan dan balap lari di lapangan Gedung Sate bagian belakang.
Sebenarnya di tahun 1970 dan 1971 pemandangan berkesan seputar Gedung Sate tersebut sementara harus kutinggalkan. Maklum, kami sekeluarga harus menyusul ayah yang mendapat tugas negara di negeri Jiran. Maka bulan Mei tahun 1971, kami pulang.
Hati kecilku saat itu merasa kecewa karena tak lagi dapat menyaksikan lapangan luas, kebun dan sawah. Jalan Cimandiri mulai dipenuhi oleh bangunan-bangunan permukiman dan sebuah wisma (sekarang wisma dan gedung Alumni Unpad). Sementara di bagian timur rumah tempat tinggal kami mulai dipadati bangunan-bangunan baru secara berangsur.
Saat masih tinggal di negara Jiran, ada satu hal yang teramat aku rindukan dari rumah di Bandung, yakni ribuan kunang-kunang yang ternyata saat itu nyaris tak kutemukan lagi. Entah kenapa, saat sawah ladang berubah menjadi bangunan tembok, kepedihan mulai merayapi dasar jiwa. Ada sesuatu yang hilang. Jalan Cimandiri mulai dipadati bangunan, tak ada lagi kebun dan sawah serta balong ikan.
Tinggal di jalan Progo saat  itu sarat kebahagiaan masa kecil. Setiap subuh  terdengar kokok ayam jantan, saat mentari terbit induk ayam bersama anak-anaknya riuh  ramai mencicit. Biasanya ayah akan mengajak kami memberi makan dedak dan butiran beras ke anak-anak ayam.Â
Pohon pisang kepok di belakang rumah juga rajin berbuah, jadi pisang rebus yang legit. Buah arben warna merah dan hitam sering  jadi  hidangan di meja, saking suburnya. Asisten rumah tangga ibu, sering menangkap belut di selokan belakang rumah untuk dimasak. Mau masak telur, tinggal ambil dari kandang, karena ayam peliharaan ayah rajin bertelur.
Lucunya juga , halaman belakang rumah menyatu dengan halaman rumah sebelah, rumah temanku Dedet Hidayati , ayahnya Pak Achmad Yunus, dulu  pernah menjadi dekan dan PR UNPAD . Nantinya mereka pindah ke Taman Cibeunying, dan rumah sebelah dihuni oleh Pak Rio.Â
Tapi juga harus waspada, karena beberapa kali  rumah kami kemasukan ular .Â
Bisa  main di jalan,  tanpa takut ketabrak mobil atau motor saking sepinya. Selokan yang di depan rumah juga  bening bersih,  senang bisa  menyeburkan diri main  ke dalam selokan menangkapi ikan impun untuk dibikin akuarium pakai toples bekas. Banyak juga yang  suka berburu kepiting  dan belut untuk dimasak.
Pohon karet besar depan rumah, untuk main panjat panjat . Namun akhirnya pohon besar ini ditebang.
Dulu pagi hari selalu berasa indah, apalagi hari libur. Kami biasanya main di halaman depan rumah, bentang tikar sambil berjemur. Kadangkala sambil ngemil dan sarapan. Â
Berangkat ke sekolah  , setiap pagi merupakan semangat dan kebahagiaan tersendiri. Ada Mang Becak langganan yang akan mengantarkan kami  setiap pagi ke sekolah dan menjemput kembali siang harinya.Â
Menikmati pagi hari yang bersih, kabut yang masih sangat  sering mewarnai pagi. Udara sejuk, dan hening di waktu malam. Sampai suara anjing menyalak dari kejauhan bisa terdengar, Atau denting lonceng gereja Katedral dari jalan Merdeka juga terdengar.
Tukang sayur  langganan kami , yang dagangannya dipikul , nyaris tak pernah absen hadir. Maka kami tak perlu berepot ria ke pasar. Pasar terdekat, Cihapit dan Gempol. Pasar terdekat  memang Cihapit dan Gempol.
Jajanan Anak Progo ,Tempo Dulu
Tahun 1971, 1972, 1973 , jajanan  favorit kami Roti Angbok. Roti yang lewat pakai motor. Es nong-nong  pakai cone dan roti berbentuk bundar juga termasuk kesukaan anak-anak. Ada juga gulali , pakai tangkai bambu , dari gula merah  atau gula aren bertabur kacang tanah tumbuk yang  lewat depan rumah. Jajanan lain , arumanis. Semua itu berasa Istimewa sangat special. Itu semua  jajanan yang lewat.Â
Kalau malam hari  ada  wedang ronde alias sekoteng panas. Belum ada yang jual mie tektek kala itu.  Kalau tukang bakso tahu  siang hari sudah ada, meski tidak banyak .
Tahun 1974 an ada Kios Ucok di  ujung jalan Cimanuk Riau, buat jajan Coca Cola.
Nah kalau mau jajan atau belanja sembako,  kami biasa berjalan kaki ke Gempol. Ada gang kecil, jalan pintas dari jalan Banda yang tembus ke Pasar Gempol. Favorit aku dan adik kakak , jajan di Warung Pipih, murah meriah. Makanan kecil, seperti coklat payung  juga enak.Â
Warung Pipih di bawa pohon besar itu tempat jajanan favorit. Keripik singkong dan sukro  berlapis sambal merah , dulu jadi jajanan trendy nya anak-anak.
Toko Alung Gempol, tempat anak-anak juga jajan kue kering. Jenis kue di masa silam  tidak sebanyak sekarang.
Pada masa itu jangan dipikir banyak  yang jualan  makanan atau jajanan. Sangat jarang.
#BandungTempoDulu #JalanProgoBandung #KenanganMasaKecil #NostalgiaBandung
Bersambung :Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H