]MASRIERIE no 75
Dearest Chantiq.
Diamku tak lagi emas. Dalam hitungan tahun, rupanya ada seseorang bakal memupus rencanaku. Jangan-jangan , aku bakal kehilangan celoteh kocakmu. Atau… kegemaranmu minta ditemani berburu buku bagus di Toko Gramedia , tinggal cerita.
Rasanya gemetaran saat kabar kabur berseliweran . Katanya kamu kini sedang ceria-cerianya. Karena seseorang mirip bintang Korea itu tak pernah jauh dari sisimu. Itu yang aku cemas bukan kepalang. Katanya juga, cerita-cerita jiwamu itu sudah ia miliki. …
Dearest Chantiq , aku punya dosa apa..?
Sepertinya, aku terlambat sadar, bahwa sosokmu semakin jauh…dan terus memudar….
Padahal tadinya aku terlalu yakin, bahwa kelak, ujung-ujungnya kamu akan berlabuh dalam hidupku. Melihat bahasa jiwamu, derai senyum tulus dan jujur, mata damaimu, ucapan renyahmu,
“Bodoh, mana bisa Chantiq tahu kalau kamu diam saja… Memangnya dia tukang ramal yang bisa menebak harapanmu…. Bodoh, sudah buang waktu berapa tahun? Ditolak atau tidak, cinta perempuan itu seperti mawar rekah yang layu , jika tak pernah kau sirami dengan pengakuan cinta.. apalagi tak pernah kau rawat dengan kehadiranmu…. Lambat laun, benih cinta itu akan redup dan mati…………….”, ada suara keras dari balik hati ku, dari benak lamunanku.
Entah ya…..? Suara siapa itu?
Kukerahkan segala jenis keberanian , untuk memangkas kebodohan. Memungut kembali kata-kata yang tersimpan di masa silam. Kalimat cinta itu pernah aku tenggelamkan, atas nama keangkuhan.
Karena bahasa jiwamu itu, membuat aku yakin bahwa kamu sebenarnya membutuhkan kehadiranku. Matamu berbinar bahagia setiap aku berdiri di depanmu. Aku pikir, aku sudah menjadi segalanya bagimu. Lagipula, perempuan sepertimu, bukan tipe gampang jatuh cinta.
Sifatmu apa adanya, tak pandai basa-basi.
Makanya aku tak pernah merasa perlu mengatakan rencana dan asa sesungguhnya. Tidak bakalan kamu berpaling ke lain hati. ….
Seperti segumpal resah , selalu saja gejolak diamku semakin liar , dan bertambah liar… dalam hitungan masa.
Matahari selalu surut seraya menyisakan cemas yang baru. Dan sekepal rindu yang baru. Dan terus menggunung hingga tak terukur lagi banyaknya.
Aku ingin meneriakkan rasa dari balik jeruji yang aku ciptakan sendiri. Agar gemanya melambung , menyatu dalam batinmu.
Pada sebuah senja, di puncak kemarau kering, langit berwarna jingga. Dengan gemetar aku menekan tombol bel rumahmu. Ketika ibumu mengembangkan senyum mempersilahkan aku duduk, gemetarku mereda.
Setelah 2 tahun tak pernah mendatangimu, bahkan aku selalu jual mahal menyapamu lewat media sosial. Bahkan aku berharap kamu yang aktif menyambangi diriku…. Seperti banyak perempuan masa kini….. Keangkuhanku meremehkan hatimu. Kebodohanku, mengira kamu akan kalah dan mengungkapkan cinta lebih dulu kepadaku.
Sengaja aku permainkan hatimu, berharap kau merindu aku. …… Tapi sepertinya aku kalah telak sekarang.
Bisu sangat ruang tamu yang aku rindukan ini .
Jantungku tak keruan debarnya. Kala kulihat sepasang kilau bening sejuk menatapku. Tatapan yang terlalu lama aku rindukan.
Seperti dapat segelas es krim di tengah hari, kamu duduk tersenyum. Tulus, teduh, jujur….. sangat indah…indaaah sekali.
Aku menarik nafas. Lalu….kalimat-kalimat dari dadaku tumpah ruah tanpa jeda, bak bendungan pecah. Cinta, kangen, sayang, ingin memiliki, ingin selalu bersama, ingin membangun rumah tangga, ………
“Lhoooo, sumpah, aku tidak pernah pikir kalau kamu itu sayang aku…???? Pastinya kamu hanya anggap aku karib biasa saja…. Ya seperti juga baik dengan yang lain?.. Makanya aku kini siap ke pelaminan , dengan seseorang yang pertama kali mengungkapkan cinta…. Dalam hati dulu, aku bersumpah, siapa yang pertama mengungkapkan cinta setelah aku lulus kuliah, itulah yang bakal aku terima cintanya…….. ” deg, gleg, …. Bbbhhhhh …..
Itu jawabanmu…..???!! Padahal kamu adalah sumber ketenteraman itu. Padahal jalinan bahasa kita dulu selalu pas, cocok satu sama lain, manis dalam kenangan…. Oh Teganya kamu Chantiq?
“Ehem….Setidaknya, aku berterima kasih. Akhirnya kamu sudi juga ya … bilang cinta. Padahal bulan demi bulan sampai tahun berjalan, aku selalu menunggu kamu katakan itu. Aku selalu mimpi kehadiranmu… Sampai akhirnya seseorang yang lebih ksatria memetik cintaku. …. Akhirnya aku berkesimpulan, kamu tak pernah sungguh-sungguh…. Kamu hanya iseng … kamu hanya mempermainkan perasaanku…. Kamu bukan type setia…. Kamu bukan kstaria…. Kamu hanya pengecut…….,” matamu basah oleh kepedihan.
Sungguh, ketika janur kuning itu melengkung di hadapan rumahmu, aku masih belum percaya. Namun setidaknya, aku lega, dan aku tetap merasa menang , karena sanggup meruntuhkan keangkuhanku sendiri.
Karena aku rindu Bahasa Jiwamu, dearest Chantiq.
Gila, satu tahun kemudian , aku masih saja angkuh. Bahwa aku masih ke-ge-er-an, anggap kamu takkan bisa melupakan aku. Lantas, saat kamu pulang belanja di satu supermarket aku nekad mendatangimu. Aku bilang lagi, aku cinta. Aku yakin , pasti rasa cinta di masa silam itu tidak pernah hilang.
Tapi aku terkejut melihat mata dinginmu. Amarah dan gusar, Rasa terganggu. Muak dan kesal.
“Mohon maaf sebesar-besarnya. Jujur, sebaiknya jangan coba-coba mengungkapkan cinta kepada orang yang hatinya sudah milik seseorang. Apalagi sama sekali tak ada rasa sayang dan cinta kepadamu. Apalagi, kamu pernah mempermainkan hatinya di masa lalu…. Ungkapkan saja cinta , kepada orang yang menunggumu, bukan orang yang membencimu!!!!!!” gdubrak….. terjaga dari mimpi burukku.
Mimpi yang jadi kenyataan.
(illustrasi by masrierie)
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dan silahkan bergabung dengan grup FB Fiksiana Community.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI