2. Tamu Berempati Mulia
Niat mereka bertamu dan bermalam ke rumah orang tua atau sesepuh, murni iangin membahagiakan orang tua. Karenanya mindset mereka telah membentuk sikap dan perilaku serta tindakan yang terpola.
Biasanya mereka datang dengan seribu cinta dan pengabdian. Paham betul orang tuanya sudah lemah, tak bertenaga, dan keuangan menipis. Karenanya mereka datang sambil membawa perbekalan.
Perbekalannya bisa masakan yang siap santap. Atau ketika membawa bahan mentah (sayuran , ikan, daging dll) mereka tidak membiarkan tuan rumahnya terjun ke dapur untuk mengolah bahan mentah itu. Tamu berempati mulia ini akan turun ke dapur, lalu memasakkannya untuk orang tua sepuh  alias sang tuan rumah, dan untuk diri sendiri.
Mereka berupaya memahami, kalau  berjibaku di dapur memasakkan untuk belasan dan puluhan orang bukan perkara gampang.Â
Butuh tenaga ekstra besar. Lebih ironis jika tuan rumah tak punya pembantu , siapa lagi yang mengerjakannya kalau bukan ibunda yang sepuh itu? Tegakah kita membiarkannya
Sehabis makan ,  si “Empati Mulia’ ini  selalu menyuci piringnya sendiri. Tidak rela membiarkan tangan keriput ibunya menyuci panci periuk dan piring gelas sehabis masak dan makan.
Bukan hanya menyuci piring sendok gelas cangkir mangkuk sendiri, bahkan menyusi piring sendok gelas cangkir mangkuk tetamu lainnya yang biasanya berbondong-bondong datang.
Saat mandi dan menggunakan air, juga dihemat. Karena tahu orang tuanya sudah pensiunan , sehari-hari juga sangat irit menggunakan air. Jangan sampai sebagai tamu malah lebih boros dari tuan rumah.
Tidak membiarkan sampah pampers berkotoran tergeletak di kediaman tuan rumah. Bersihkan dulu, lalu buang ke tempat sampah di luar rumah. Bukan tempat sampah di dapur rumah.
Nah, kita masuk kelompok tamu yang mana? Yang nomor satu (berempati rendah) , atau yang nomor dua (berempati mulia) , atau antara ke duanya?Â