Sekitar era tahun tujuh puluhan, dimana saat itu sedang marak-maraknya 'Judi Kopyok' dikampung-kampung, khususnya dikampung penulis waktu itu, saat ada hiburan, tanggapan/pagelaran seperti wayag kulit, ketoprak, dan tontonan lainnya, pasti ada gelaran 'Judi Kopyok'. Bandar duduk bersila, menggelar lapak yang sudah ada gambarnya macam-macam, diterangi lampu minyak saat itu, dengan peralatan judi kopyoknya.
Orang-orang yang nonton hiburan ya tetap nonton, dan tidak jauh dari area panggung, biasanya di pekarangan sekitar dengan suasana remang-remang juga ada pagelaran sendiri, 'judi kopyok'. Bahkan sampai saat inipun disebagian perkampungan masih juga ada. Saat ada aparat berpatroli, bandar dan para pejudi akan segera berkemas mengamankan lapak dan dirinya masing-masing.
Ada cerita menarik terkait judi kopyok ini bagi penulis dan masih terkenang sampai sekarang, salah seorang warga kampung yang menjadi aparat dan bertugas di Surabaya saat itu, ketika pulang kampung membawah lapak sama peralatan judi kopyok, diserahkan kesaudaranya salah satu warga yang rumahnya biasa digunakan untuk judi kopyok, alasanya waktu itu simple, 'sekedar buat hiburan.' Lapak dan peralatan judi tersebut konon dari hasil razia saat bertugas di Surabaya, entahlah.
Masuk ke era tahun delapan puluh dan sembilan puluhan, di negeri ini juga ramai dengan apa yang disebut dengan SDSB (Sumbangan Dermawan Berhadiah), Porkas, judi togel, dll. Â Cerita menarik bagi penulis, saat masih sekolah di tingkat SLTA, ketika pulang setiap hari Kamis sore, di jembatan di tengah kota kecil, dimana penulis bersekolah, selalu ramai dengan orang-orang pada duduk-duduk disekitar jembatan tersebut.
Pada awalnya orang tidak peduli, lama kelamaan karena rutin setiap Kamis Sore selalu ramai, dan dari informasi dan cerita kawan-kawan ternyata orang-orang itu sedang menunggu pengundian SDSB, karena malamnya akan ada pengundian dan esok hari pengumuman keluarnya undian SDSB, dan orang-orang tersebut rela begadang hanya untuk menunggu, dengan harapan akan dapat undian SDSB, terbuai angan-angan dan harapan semata.
Cerita tentang judi tidak ada habis-habisnya, apapun bisa dijadikan sebagai ajang perjudian, namun sebagai bangsa yang menjujung tinggi nilai-nilai relegius dan berpedoman pada nilai-nilai luhur Pancasila tentunya kita sepakat bahwa perjudian, apapun bentuknya itu tidak dibenarkan dan harus dilarang.
Bahkan, Islam mengajarkan bahwa judi adalah salah satu tipu daya setan untuk menyesatkan manusia. Judi dapat menimbulkan permusuhan antar sesama, membuat seseorang lalai dalam beribadah kepada Alloh SWT, dan dapat merusak sendi-sendi kekeluargaan.
Sudah saatnya pemerintahan baru di bawah komando Presiden Prabowo Subianto, sebagai sosok kesatria, harus berani mentauladani dan menerapkan ajaran atau falsafah, 'Sunan Ampel', yaitu 'Mohlimo'.
'Moh' (tidak mau) dan 'Limo' (lima perkara), tidak mau melakukan lima perkara, yaitu : 'Emoh Main' (tidak mau berjudi), 'Emoh Ngumbi (tidak mau minum yang memabukan/miras), 'Emoh Madat' (tidak mau mengisap candu atau ganja/narkoba), 'Emoh Maling' (tidak mau mencuri, kolusi, korupsi dan nepotisme), dan 'Emoh Madon' (tidak mau berzina/portitusi/pornografi).
Sungguh suatu falsafah yang sarat makna, dan masih sangat relewan ditengah kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara kita hari ini. Lima perkara tersebut merupakan sumber kehancuran dalam kehidupan setiap insan manusia. Persoalanya adalah sejauh mana keseriusan aparat berwenang, para pengambil kebijakan, pembuat undang-undang untuk tidak lagi kompromi dengan lima hal tersebut (judi, miras, narkoba, pornografi, korupsi).
Tentu kita sangat apresiasi kepada aparat yang telah bekerja keras berhasil membongkar jaringan judi online, narkoba, portitusi online, korupsi, dll. Dan kita sangat prihatin dengan adanya pihak-pihak yang terus melindungi dan membekingi lima masalah tersebut, kondisi seperti ini harus terus disuarakan oleh semua kalangan, agar masyarakat lebih terbuka wawasannya, lebih waspada dan sadar untuk tidak main-main dengan lima perkara tersebut diatas.