"Wah, saya sangat setuju kalau Mas Karjo mau maju sebagai calon lurah, dalam Pilkades nanti, dan saya siap lho, menggalang ibu-ibu untuk mendukung pencalonan Mas Karjo, "ujar Ibu Ani, tetangga sebelah yang tiba-tiba datang dari sebelah rumahnya, tanpa disadari oleh Mas Karjo dan istrinya.
Akhirnya kabar pencalonan Mas Karjo akan maju sebagai calon lurah dalam Pilkades terus menggelinding, dari mulut ke mulut, tersebar semakin hari semakin meluas, semua ini awalnya hanya bisik-bisik diantara ibu-ibu di desa dalam berbagai pertemuan tidak resmi, namun akhirnya meluas, begitulah "politik kaum emak-emak", Â ternyata tidak hanya di tingkat pusat saja, di tingkat bawah, seperti di desa Mas Karjo ini, emak-emak juga memiliki peran penting dalam jagat politik di era milenial ini.
"Saya siap lho, Â mendukung Mas Karjo dalam pemilihan lurah nanti, jangan kawatir Mas, begitu kan ibu-ibu, "ujar Ibu Dewi, ketika Mas Karjo sedang melayani para pembeli sayuran yang kebanyakan ibu-ibu di dekat masjid di desanya.
Suasanapun semakin riuh, ibu-ibu yang lain menimpalinya, ikut memberikan dukungan dan support untuk pencalonan lurah bagi Mas Karjo. Sehingga setiap Mas Karjo berhenti untuk melayani para pembeli sayuran yang kebanyakan kaum ibu, obrolan terkait dukungan pencalonan dirinyapun terus mengalir dan ini diungkapkan secara langsung oleh kaum emak-emak dengan tulus, tanpa basa-basi, apalagi politis. Â
Bagi Mas Karjo ini adalah sinyal positif, untuk lebih percaya diri maju ke gelanggang Pilkades  memperebutkan kursi calon lurah di desanya. Ibaratnya, ini merupakan kampanye gratis setiap hari, sementara calon lainya baru akan berkampanye pada masa kampanye nanti, ini berkah bagi Mas Karjo sebagai tukang sayuran keliling yang ia jalani dengan penuh kesabaran.
***
Ternyata diluar dugaan bagi Mas Karjo, bahwa apapun yang namanya politik baik ditingkat desa maupun di tingkat pusat hampir sama saja, setelah melalui serangkaian proses mulai dari pendaftaran, penetapan calon, pengundian nomor urut dan masa kampanye ini, begitu banyak riak-riak dan intrik-intrik yang selama ini tidak terbayangkan.
Kebetulan ada tiga kandidat yang maju untuk memperebutkan kursi calon orang nomor satu di desa Mas Karjo ini, satu adik mantan petahana, ikut mencalonkan diri juga, dan nomor dua tokoh pemuda, namun dikenal sebagai sosok yang kurang baik di tengah masyarakat desa, sering membekingi perjudian dan dikenal sebagai makelar berbagai kegiatan ilegal, sehingga warga kurang simpati kepadanya, namun dari sisi dana dua sosok kandidat ini cukup kuat, berbagai persoalan seolah bisa diselesaikan dengan uang. Dan kedua kandidat ini berkeyakinan bahwa warga di desanya bisa dipengaruhi dengan uang untuk kemenanganya dalam pertarungan Pilkades.
Sementara Mas Karjo menempati nomor urut tiga, tukang sayur yang sangat bersahaja, hanya ingin memberikan kontsribusi bagi kemajuan desanya, itu saja, apakah ini salah dalam percaturan politik di tingkat desa !.
Gemuruh dalam hati kecil dan pikiran Mas Karjo terus bergolak, hatinya terasa diiris-iris, nyeri, perih, kesal dan dongkol.
Tiba-tiba, "Brak...!!", Biadab..!!,