Mohon tunggu...
Rama Dio Syahputra
Rama Dio Syahputra Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pelajar Indonesia di Perancis.

Saya senang memaknai dunia manusia yang hanya sementara ini. Di antara kebebasan dan keinginan, saya menghakimi makna itu dengan ditemani diri saya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pergi untuk kembali 2

23 April 2020   04:03 Diperbarui: 23 April 2020   23:01 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertemuan

Di kala itu aku baru saja meraih gelar sarjana. Kehidupan terasa ringan dan sama sekali tidak ada beban. Seorang bujangan yang sedang merasakan kebebasan karena kewajibannya yang sudah selesai. Aku ingat sekali momen kemerdekaanku itu, tidak ada yang mengalir di tubuh selain rasa bangga dan bahagia, aku merayakan kelulusanku sebagai seorang sarjana muda di Perancis. Semua keluarga dan kerabat terdekatku pun ikut senang, sampai suatu ketika aku ditanya oleh adik laki-lakiku yang menghubungi melalui telepon.

"Mas! Selamat ya! Aduh , aku mau banget main ke sana..."

"Iya, Dek. Makasih ya," aku tertawa kecil, "kamu harus ke sini nanti, De! Kita jalan-jalan."

"Eh, iya! Artinya kalau kuliah Mas sudah selesai, Mas akan pulang, dong?!" Serunya dengan semangat.

Pertanyaan dari Danil itulah yang membuatku berhenti merayakan kelulusanku. Aku menjawabya belum tahu karena memang benar-benar tidak tahu. Entah aku akan langsung pulang atau tidak, yang jelas pertanyaan itu selalu menghantuiku sebelum tidur. Karena keinginanku untuk pulang ke Jakarta semakin berkurang setiap harinya, aku menjadi betah sekali. Namun, terkadang rasa rinduku terhadap keluarga semakin terus bertambah.

Pada akhirnya, di musim gugur itu aku telah memutuskan untuk tinggal dua bulan lagi di Perancis, yang sebetulnya keputusan itu hanyalah sebuah bentuk penundaan terhadap kelabilanku. Walaupun begitu, aku menikmati perpanjang waktuku.

Di salah satu kota kecil bernama Albertville, aku bekerja paruh waktu sebagai pengantar surat kabar. Sebuah pekerjaan yang cocok untukku karena ia tidak perlu menghabiskan banyak waktu. Cukup tiga jam sampai empat jam dalam sehari saja dan juga aku melakukannya di saat hari masih sangat pagi. Seringnya, aku mengtarkan koran-koran itu dengan menaiki sepeda, badan yang masih mengantuk pun sudah terbiasa sekali melakukannya. Lalu, setelah pekerjaanku selesai, apa yang biasanya akan kulakukan? Ya, apa lagi selain bermain di alam.

Di balik rutinitasku yang cukup menyenangkan itu terdapat kegundahan yang begitu mendalam. Aku bahagia dan senang sekali hidup di Perancis atau di desa kecil seperti Albertville, gunung-gunungnya yang tinggi dan menakjubkan itu membuatku lupa akan kata pulang. Namun, aku pun tahu bahwa sebenarnya kegundahan itu hanya membuatku berlari lebih jauh dan mencari kesenangan yang sementara saja.

Entah dengan cara mendaki gunung atau apa, aku selalu menyadari kalau semua itu kulakukan agar tidak bersedih ketika suatu hari nanti harus pulang. Di antara kesedihan dan kebahagiaan itu aku merasakan suatu kesendirian. Rasa sepi yang selalu datang ketika sedang merindukan, sekalipun aku tidak memintanya namun ia selalu menemaniku disaat segala kesibukanku sudah selesai dilakukan.

Suatu hari sehabis pulang bekerja, aku memutuskan untuk pergi ke salah satu gunung yang tidak terlalu tinggi. Meskipun, awan sudah terlihat mendung dan gelap aku tetap naik ke dataran tinggi yang bernama dent du chat. Niatku hanya ingin bersantai di atas sambil menikmati pemandangan dari atas puncak. Aku belum pernah mendakinya, salah satu temanku bilang kalau dent du chat memiliki ladang yang indah sekali, karena itu aku menjadi penasaran.Ia benar-benar tidak tinggi sama sekali, mungkin bisa dibilang seperti sebuah bukit yang cukup lebar. Setelah melewati hutan yang dirimbuni oleh daun-daun yan gugur, tidak terasa aku sudah berjalan dua jam lamanya. Lalu, tiba-tiba saja terdengar suara tetesan air yang menyentuh tanah, aku pikir itu hanyalah gerimis hujan yang kecil.

Sayangnya aku salah. Setibaku di ladang hijau yang luas hujan pun tiba-tiba turun deras sekali. Aku yang tidak membawa perlengkapan hujan dipaksa harus berteduh. Karena melihat sebuah pohon yang besar sekali, aku langsung lari dan meneduhkan diri. Anehnya, daun-daun di pohon yang berbentuk seperti pohon beringin itu belum kunjung gugur, aku tidak tahu mengapa namun yang jelas aku senang karena bisa memayungkan diriku dari serangan hujan.

Waktu terasa lambat sekali, cipratan air hujan yang dingin pun tidak berhenti membasahi sedikit kulit kakiku. Di bawah pohon itu aku menikmati luasnya ladang hijau yang terbentang, seperti bukit yang memiliki kelok tak terbatas. Lalu, tiba-tiba saja terlihat seseorang yang berlari dari kejauhan. Derasnya hujan membuatku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Ia semakin mendekat ke arahku dan sepertinya dia juga ingin berteduh.

"Salut! Uh la... Il pleut beaucoup, hein?" Sapa perempuan yang sudah basah kuyup itu.

Dengan kaos tangan pendek berwarna merah dia masih berusaha menenangkan nafasnya. Dia bilang kepadaku kalau hujannya deras sekali, aku pun masih bergeming sesaat karena terkejut akan kehadirannya yang tiba-tiba.

"Hai! Iya deras sekali hujan ini... kamu dari bawah atau baru ingin mendaki ke puncak?" Tanyaku dengan senyuman yang terlalu lebar.

"Aku baru saja ingin ke puncak, cuma tiba-tiba hujannya deras sekali. Tidak biasanya di musim gugur air hujan turun sederas ini, dan bodoh sekali aku lupa membawa jaket hujan..." Ungkapnya sambil menghela nafas.

Di momen itu aku tidak bisa berbohong kalau keindahan matanya membuatku lupa akan ladang yang menakjubkan itu. Warnanya sungguh biru, aku tidak mengira kalau mata seperti milik dewa laut poseidon akan benar-benar ada di dunia. Tatapan tajam dari mata birunya itu benar-benar memanahku.

"Wah, aku juga lupa membawa jaket hujanku. Lagi pula siapa yang menyangka hujannya akan sebesar ini."

"Iya benar-benar tidak biasa sekali." Tuturnya yang melihat ke arahku.

Aku merasakan akan ada kecanggungan yang terjadi dengan perempuan asing itu. Di kepalaku sudah tersimpan banyak sekali basa-basi yang siap untuk dilontarkan kepadanya, namun aku salah mengira. Dia malah memecahkan kecanggungan itu dengan begitu mudah. Selagi duduk di atas tanah dan dihembus oleh embun yang dingin, dia bertanya kepadaku.

"Dari mana asalmu? Yang jelas kamu tidak berasal dari sini kan?" Tanya gadis sebayaku itu dengan tawa dan senyumannya.

"Apa kamu tidak bisa menebak?"

Dia berpikir dan mengeryitkan dahinya. "Aku tahu kamu dari Asia... tapi dari mana ya. Ah! Laos mungkin?"

"Tidak, bukan..." Tanggapku.

"Atau mungkin Jepang? China? Korea? Dari mana? Aku benar-benar tidak tahu..."

Aku tertawa dan menjawab. "Aku dari Indonesia!"

"Quoi? Indonsie?" wajahnya kembali bingung, "Wah, Indonsie?! Bali apakah ia ada di Indonsie?"

"Iya betul! Bali ada di Indonesia!"

"Aku tahu Indonsie! Kamu datang dari jauh sekali... bagaimana kamu bisa sampai di gunung ini?" Perempuan Perancis itu terheran-heran denganku.

Dia terlihat ceria sekali. Dari setiap kata yang diucapkan bibirnya terdengar suatu semangat hidup yang membuatku ikut tersenyum. Keramahannya pun mewarnai hari yang sudah siang itu.

"Ceritanya panjang sekali... aku yakin kamu tidak akan punya waktu untuk itu." Jelasku serius.

"Kata siapa? Kita punya banyak waktu di sini, lagi pula hujan ini tidak mungkin berhenti sebentar lagi, kan? Ayo! aku ingin mendengar ceritamu itu."

"Baiklah! Aku akan mencoba--- "

Dia memotongku. "Attend! Sebelum itu, siapa namamu?"

"Aku Radhi, kalau kamu?"

"Namaku Clara," ucapnya sambil bersalaman tangan denganku, "ok, Radhi! Kalau begitu lanjutkan... aku akan mendengarkanmu."

Di ladang itu pun aku bercerita kisah singkat perjalanan hidupku. Aneh sekali ketika tahu bahwa dia benar-benar mendengarkan, bagiku bercerita seperti itu adalah sebuah pengalaman baru. Aku merasakan ada sesuatu yang lebih darinya, sesuatu yang membuatku berpikir bahwa waktu bekerja dengan cara yang sangat misterius. Siapa yang menyangka kalau aku akan bertemu dengan pujaan hatiku di antah-berantah seperti ladang itu? Tentunya tidak ada.

Aku tidak ingin hujan berhenti dan mengusir kami berdua. Kedamaian yang ada di ladang itu bersuara tentang kebebasan di alam, aku dapat mendengarnya dengan jelas sekali, dan ditambah lagi ada seorang gadis yang memberikan nada baru di dalam nyanyian itu. Senyuman manis di bibir merah mudanya membuatku berasumsi kalau dia menikmati apa yang sedang kunikmati bersama dirinya, yaitu berbagi canda, tawa, dan juga cerita. Di saat sedang berdua dengannya aku menjadi sadar kalau kesendirianku di dunia tidak berarti lagi ketika sudah dihadapkan dengan seorang perempuan.

Jadi, pada akhirnya kehadiran Clara adalah jawaban dari segala kegundahanku. Semenjak pertemuan itu kami berdua tidak berhenti untuk mengenal satu sama lain lebih dalam lagi. Ada warna-warna baru di hidupku yang membuat semuanya menjadi berubah seketika, yaitu cinta dan kebahagiaan.

"Pulang! Harus pulang! Karena banyak yang sudah merindukan. Tidak! Tidak bisa pulang! Karena sudah jatuh ke dalam cinta yang sangat dalam!"

-Aku tiba dan kembali

Di hari ini, kenangan akan pertemuan itu adalah satu-satunya alasan yang membuatku semangat untuk kembali lagi ke atas sana. Semangat yang berasal dari kasih sayang dan yang mungkin mampu membawaku kembali sampai ke sana. Meskipun begitu, semua tidak semudah yang ada di pikiranku. Dengan kondisi tubuh yang sudah tidak seperti dulu lagi, aku tahu akan berat sekali untuk sampai di ladang itu, hanya saja aku harus menepati janjiku.

Tiga hari sudah berlalu semenjak aku tiba di Albertville dan di hari yang sedikit berawan ini, aku memutuskan untuk memulai pendakianku. Karena telah beristirahat dengan cukup setelah perjalanan panjang, aku merasa sudah cukup siap berjalan kaki jauh. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengganjal keyakinanku, entah apa itu namun aku dapat merasakannya di dalam tubuh.

Aku mengenakan jaket yang cukup tebal sekali, dua tongkat hiking, dan tas punggung kecil yang berisikan makanan ringan. Sejak dulu aku sering mengejek orang tua yang berjalan pelan ketika mendaki, karena sering kali mereka menghalangi jalanku. Namun, sekarang aku adalah orang yang menghalangi itu. Sembari jalan aku tertawa sendiri ketika mengingat waktu mudaku dulu.

Sungguh setiap langkah terasa sangat berat. Bebatuan yang basah membuat jalan yang harus kulalui menjadi semakin licin, sedikit demi sedikit aku mendaki dengan hati-hati. Jika terpeleset maka selesai sudah, tidak ada lagi kenangan yang akan dikenang. Biarpun setiap tanjakan dan akar-akar pepohonan itu melelahkan kakiku, tetapi aku masih mencoba untuk menikmati kesengsaraan itu.

"Clara, sungguh berat sekali kakiku. Tolong bantu aku untuk melangkah ke atas sana." Pikirku yang sedang kelelahan. Nafasku sedikit sesak dan terasa ada pusing di kepala. Kemudian, setelah sampai di bawah rimbunnya pepohonan, aku beristirahat sebentar sambil bersender di salah satu batu besar, bentuknya datar dan lebar sekali, kurang lebih lima meter. Meskipun, sudah melepaskan dahaga lelah di tubuhku masih saja belum hilang. Karena itu, aku memutuskan untuk memejamkan mata sebentar di bawah cantiknya daun-daun yang berguruan.

Kurang lebih lima menit aku melanjutkan lagi pendakianku. Tidak jauh dari sana, ladang hijau itu sudah terintip sedikit. Perlahan-lahan aku semakin dekat. Lalu, akhirnya sampai juga. Semua masih sama, pohon besar itu pun masih tertanam dengan tegap dan gagah, hanya saja kali ini rerumputan ladangnya berwarna agak kekuning-kuningan. Aku duduk di bawah pohon itu dan tersenyum sekaligus terharu karena akhirnya sampai. Udara dingin mulai terasa di kulitku. Lagi-lagi aku merasa seperti ada yang menyambut.

Sembari duduk dan meluruskan kaki, aku memejamkan mata dan mengingat suara beratnya ketika dia menyapaku pertama kali, senyuman anggunnya dan juga mata birunya di kala dia masih muda. Aku berusaha kembali ke waktu itu dengan pikiranku yang dibatasi oleh ruang, sampai-sampai tetesan air mata sudah tidak bisa lagi kutahan. "Clara, aku sudah di sini dan menepati janjiku. Aku benar-benar merindukanmu. Lalu, setelah ini apa?" Ucapku di bawah pohon itu.

Ketika aku sedang merenung dan menyelami diriku, tiba-tiba saja dari arah matahari terbenam, datang seorang anak kecil perempuan yang berjalan sendirian ke arahku. Sepertinya, umurnya tidak lebih besar dari Alice, wajahnya pun putih sekali, dan ia tidak mengenakan alas kaki apa pun. Cukup aneh dan aku rasa dia sedang hilang sendirian. Jadi, aku langsung bertanya.

"Halo, Nak... apakah kamu sedang hilang? Dimana orang tuamu?"

"Jangan panggil aku, Nak! Dan juga aku sedang tidak hilang. Aku sedang mencari seseorang." Tegasnya dengan intonasi tinggi.

Mendengar jawabnya, aku tertawa. "Galak juga ya bicaramu itu. Memangnya kamu sedang mencari siapa?"

"Kamu tidak perlu tahu! Bukan urusanmu, Pak Tua." Jawabnya.

Aku tersenyum kepadanya. "Kamu benar-benar mengingatkanku pada cucuku."

Dia berjalan ke sebelahku dan mencabuti bunga-bunga yang ada di rerumputan, lalu dengan rambut panjang dan bicaranya yang lantang dia bertanya. "Memangnya, kamu sedang apa di sini?"

"Sedang apa, ya? Aku sedang menikmati pemandangan ini saja. Ladang ini indah sekali."

"Kamu jangan berbohong denganku. Kamu sedang apa di sini? Wajahmu terlihat sedih, terus kamu duduk sendirian di bawah pohon ini." Katanya lirih.

Seketika, aku langsung tersentak. Ucapannya membuatku berpikir dua kali tentang apa yang baru saja dikatakan oleh anak kecil ini. "Apakah hanya sebuah kebetulan saja?" Pikirku.

"Aku sedang mengenang orang yang kucinta, Nak --- "

"Sudah kubilang jangan panggil aku, Nak!" Potongnya tiba-tiba.

"Baiklah kalau begitu aku harus memanggilmu apa?"

"Panggil aku dengan sesuka hatimu, asal jangan "Nak" Karena aku bukan anak kecil!" Pintanya tanpa kegemasan sama sekali.

"Bagaimana kalau Alice? Dia adalah nama cucuku."

Dia berpikir sejenak. "Aku tidak keberatan dengan itu."

Aku dibuat bingung oleh kehadirannya. Tiba-tiba saja dia datang dan mengajakku bicara. Belum lagi lagaknya yang begitu unik sebagai seorang anak kecil, namun bersikap seperti orang dewasa. Ya, apa pun itu aku berusaha meladeninya yang tidak berhenti mengajakku bicara. Kejudesannya sungguh lucu dan menyebalkan di saat yang bersamaan.

"Siapa orang yang kamu cinta itu?" Lanjutnya.

"Dia istriku. Tapi, dia sudah meninggal."

"Memang kamu benar-benar cinta denganya? Memangnya apa arti cinta untukmu?"

Pertanyaan yang seharusnya tidak keluar dari mulut seorang anak kecil itu membuatku menggelengkan kepala. Akan tetapi, aku masih saja berusaha menjawabnya "Untuk Clara, cintaku tidak mengenal batas. Memang kalau aku jelaskan apa arti cinta, kamu akan mengerti? Karena Itu adalah sesuatu yang sulit untuk dijelaskan."

"Lagi-lagi kamu meremehkanku, Pak Tua! Sombong sekali dirimu itu..."

Aku mendengarnya dengan senyuman yang tak tertahan. "Ya-ya... aku akan menjelaskannya, tapi berhenti sebut aku Pak Tua, ya. Kamu bisa panggil aku Radhi."

Dia pun tersenyum tipis. "Baiklah, Radhi. Jawab aku, apa itu cinta?"

"Bagiku, Cinta adalah sesuatu yang benar-benar --- "

"Halah! Kamu itu! Katanya tahu arti cinta yang sebenarnya."

Aku bergeming dan kaget karena dipotong olehnya. "Dengarkan aku dulu, Alice. Aku belum selesai bicara."

"Bicara apa lagi? Tentang cinta? Radhi, aku beri tahu ya. Kalau cintamu memang benar tidak ada batasnya, maka kamu tidak perlu mengartikannya dengan kata-kata yang terbatas itu. Mengerti?" Jelasnya yang masih mengumpulkan bunga-bunga kecil.

Aku terdiam sejenak dan semakin dibuat penasaran karena mendengar tuturanya. "Siapa dia sebenarnya?" Tanyaku di dalam kepala.

"Jadi, sekarang kamu sudah mengerti, kan?"

"Ya, aku sudah mengerti."

"Sekarang aku ingin tanya denganmu," dia berjalan mondar-mandir di depanku yang masih duduk di bawah pohon itu, "Apa yang kamu takutkan di dalam kehidupan ini?"

Kali ini aku benar-benar berusaha menjawabnya dengan jujur. "Aku hanya takut dengan waktu."

Dia tertawa keras sekali.

"Kenapa, Alice? Mengapa kamu tertawa?"

"Boleh juga jawabamu itu! Aku suka. Tetapi, kamu masih berbohong padaku, Dhi."

"Berbohong bagaimana? Aku tidak berbohong..." Tanyaku yang kebingungan.

"Kenapa kamu tidak jujur kalau sekarang kamu takut dengan kematian?"

Aku langsung merinding dan membeku. Apakah aku sedang bermimpi? Sepertinya tidak. Ini semua terasa nyata sekali. Aku masih dapat merasakan lembabnya tanah dengan tanganku. Harumnya daun-daun basah pun masih terasa sekali. Namun, mengapa dia dapat bertanya seperti itu? Seolah-olah dia mengenal dan mengetahui banyak sekali tentangku.

"Iya, tidak? Kamu sedang takut mati, kan?" Tanyanya dengan girang.

"Alice, siapa kamu sebenarnya?"

Dia tertawa lagi. Lalu, "Aku adalah Alice. Kan, kamu sendiri yang bilang tadi. 'aku akan panggil kamu Alice, karena kamu seperti cucu perempuan --- "

"Cih, aku bertanya serius kali ini... " Tanggapku yang menatap matanya.

"Aku juga serius, Dhi. Sudahlah tidak ada gunanya juga kamu bertanya, yang penting kamu jawab pertanyaanku tadi. Apa kamu takut mati?"

"Alice, aku sudah melalui banyak sekali hal di dalam hidupku. Begitu banyak kegagalan dan keberhasilan yang memberikanku makna akan kehidupan. Tidak ada yang membuatku bertanya lagi sampai hari ini, kecuali kamu. Jadi, kamu jawab dulu pertanyaanku tadi. Siapa kamu sebenarnya?"

Dia berhenti memunguti bunga-bunga itu, lalu duduk di sebelahku dan membisik pelan. "Aku akan jawab itu nanti, sekarang kamu jawab dulu ya pertanyaanku. Aku mohon."

Aku menghela nafas panjang. "Tidak ada yang tidak takut mati di dunia ini, Alice. Jadi, ya. Aku takut."

"Kenapa tidak ada?" Dia mengambil air putih di tasku tanpa izin.

"Ya, karena semua manusia memiliki titik kelemahan pada akhirnya."

"Loh, dulu kamu tidak memilikinya, kan?"

"Maksudmu?"

"Iya! Dulu ketika kamu muda. Kamu tidak takut mati, kan? Menantang maut ke sana dan kemari." Tanyanya sambil berdiri lagi untuk mengumpulkan bunga.

Keherananku kepada Alice sudah berkurang, jadi aku tidak bertanya lagi bagaimana dia bisa tahu tentang ini atau pun itu dari diriku. "Itu semua sudah berlalu. Aku sudah berubah. Nanti kamu akan merasakannya ketika kamu sadar bahwa umurmu telah bertambah."

Dia memberikan senyuman sinis kepadaku dan berkata. "Lemah sekali dirimu. Apa kehidupan telah memukulmu sekeras itu? Sampai-sampai kamu berubah menjadi kakek tua yang lemah seperti sekarang."

"Aku tidak lemah. Semua itu karena waktu yang dapat merubah setiap orang, termasuk aku." Jelasku.

"Jangan berbicara waktu denganku, Radhi! Pemahamanmu masih sangat dangkal akan itu..." Ungkap Alice dengan sangat tegas.

Aku sedikit tersindir dengan ejekannya. "Memangnya apa yang kamu ketahui tentang waktu?"

"Cinta saja kamu tidak tahu artinya, apa lagi waktu. Sudahlah kalau aku menjelaskannya pun, orang tua sepertimu pasti tidak akan mengerti..."

Aku menatapnya heran dan memintanya lagi. "Setidaknya beri aku penjelasan sedikit saja."

"Nanti kamu akan tahu dan mengerti sendiri, aku berjanji." Ujar Alice yang sedang memilih bunga-bunga kecil yang telah dikumpulkannya.

"Aku tahu seharusnya tidak mengatakan ini, tetapi kamu adalah salah satu orang yang paling aneh yang pernah kutemui, Alice."

"Salah satu? Tidak ada lagi yang sepertiku tahu. Pilih kata-katamu dengan bijaksana. Oh ya, Radhi, apa kamu bisa pegang ini sebentar? Tolong" Pintanya sambil memberikanku salah satu bunga yang berwarna putih itu.

"Radhi..."

"Ya, Alice?"

"Aku minta maaf kalau perkataanku kasar kepadamu, ya. Aku tidak bermaksud." Terangnya tiba-tiba.

Mendengar ucapannya, aku sedikit tersenyum dan terharu. "Tidak apa-apa... aku tidak mengambil hati dan aku pikir kita bisa menjadi teman yang baik. Ya, kan?"

"Ih, siapa yang ingin berteman dengan orang tua lemah sepertimu!" Ejeknya lagi.

"Kamu memang benar-benar --- "

Dia tertawa terbahak-bahak. "Tidak-tidak. Aku hanya bercanda. Eh, iya. Aku mau tanya, Dhi... kalau kamu takut mati, apa artinya kamu mempercayakan dirimu kepada tuhan agar ketakutan itu dapat hilang begitu saja?"

"Pertanyaan seperti itu sulit sekali kujawab, Alice." Balasku dengan pelan.

"Coba jawab saja dulu, aku ingin tahu."

"Jika Tuhan yang kamu maksud adalah sang pencipta yang tidak memiliki kelemahan, aku pikir tidak," dia melirik ke arahku. "dulu aku pernah mengalami sebuah kejadian buruk bersama mendiang istriku. Di salah satu gunung di Nepal, kami berdua sudah yakin bahwa kami akan mati karena terjebak oleh longsoran salju. Namun, dia terus meyakinkanku bahwa kami berdua pasti bisa bertahan. Kemudian, dengan keyakinan terhadap diri sendiri dan juga Clara, pada akhirnya kami pun berhasil selamat."

"Oh, jadi yang sebenarnya kuat itu memang istrimu, ya? Beruntung sekali orang lemah sepertimu memilikinya." Gurau Alice.

"Ya, kalau itu aku akan mengakuinya. Dia memang benar-benar tangguh sekali sebagai seorang manusia."

"Lantas, Tuhan seperti apa yang kamu percaya?"

Aku tidak menjawabnya. Begitu hening suasana di ladang itu. Benar-benar tidak ada siapa-siapa selain kami berdua. Tidak disangka aku menikmati percakapan bersama seorang anak kecil. Dia membuatku lupa bahwa hari semakin lama semakin gelap. Sinar mentari tertutup pelan secara perlahan, tentunya aku sudah tahu bahwa awan mendung mulai berdatangan. Namun, kami masih saja lanjut menjadi pelipur lara untuk satu sama lain.

Di antara ladang hijau dimana kisah cintaku bermula, datanglah seorang anak kecil yang mengetahui segalanya. Tidak ada keraguan yang terdengar dari ucapannya, begitu juga tidak ada kebohongan yang ingin didengar olehnya. Alice, siapakah kau sebenarnya?

Sambil berbaring di atas tanah dengan banyak bunga di genggaman tangannya, Alice berkata. "Radhi, aku itu sudah menjelajahi seluruh ruang dan waktu di alam semesta ini. Berbagai bentuk kehidupan telah kudatangi, mereka semua sama, tidak ada yang memiliki keabadian."

Aku memikirkan perkataanya yang cukup khayal itu. "Apa maksudmu menjelajahi waktu?"

Dia tertawa lagi. "Lebih baik kamu tidak tahu banyak tentangku, Dhi. Kepalamu bisa meledak nantinya."

"Terserah kamu saja, Alice." Pungkasku.

Suasana di bukit itu sepi sekali, terkadang ada ocehan burung gagak yang terdengar menggema, rumput-rumput bergoyang pelan karena hembusan angin. Langit mendung yang ditunggu pun akhirnya datang, abu-abu gelap, dan mulai membunuh sinaran mentari secara perlahan.

"Alice, aku rindu sekali dengan Clara. Terkadang aku bertanya mengapa dia harus pergi secepat itu."

Dia hanya diam dan tidak menjawabku yang tiba-tiba mencurahkan perasaan.

"Aku datang ke sini untuk menepati janjiku kepadanya dan sudah kutepati janji itu. Semua ini demi dirinya seorang. Tetapi, setelah ini apa? Apa lagi tujuanku untuk hidup... rasanya sudah tidak ada lagi yang tersisa."

"Radhi... tujuan itu akan selalu ada, kamu saja yang tidak mau mencarinya!" Balas Alice.

"Aku sudah tidak tahu lagi apa yang akan kulakukan setelah turun dari ladang ini. Waktu hidupku sudah sebentar lagi dan aku selalu merasa bahwa ketika janji ini sudah terpenuhi, maka hanya akan ada kebahagiaan yang kurasakan, tetapi nyatanya kebahagiaan itu hanya sementara, pada akhirnya semua ini malah menimbulkan pertanyaan lagi."

Tiba-tiba dia berdiri dan berkata. "Pulang ke anak-anakmu, Dhi, aku yakin 'Alice' masih menunggumu di rumah, bukan? Dia pasti senang melihat kakeknya pulang."

Aku menahan air mata. Ucapannya membuatku sadar kalau yang dia katakan adalah benar. Kemudian aku melihat waktu di jam tangan, lalu "Wah?!"

"Kenapa?"

Aku berdiri dan bilang. "Sepetinya aku sudah harus turun, sudah pukul empat sore, matahari akan terbenam dan pergi sebentar lagi. Orang tua sepertiku, butuh berjam-jam untuk turun..."

"Matahari tidak akan kemana-mana, Radhi. Dia selalu ada di sana." Ucap Alice.

Aku tertawa dan tersenyum. Lalu merapihkan tasku dan bersiap untuk bergegas pergi. "Alice, ayo kita turun bersama ke bawah. Kamu tega membiarkan orang tua sepertiku jalan sendirian? Ayo!" Sambil mengayunkan tangan dan mengajaknya turun.

Dia hanya diam dan masih asik mengikat bunga yang telah dikumpulkannya dengan ranting kering.

Aku memalingkan badanku darinya yang ikut berjalan. Kemudian, baru melangkah empat kali dia meraih tanganku dan menariknya. "Radhi! Kamu mau kemana?!"

"Aku sudah tidak seperti dulu lagi Alice, ketika hari sudah gelap di alam bebas seperti ini, artinya aku sudah harus turun." Jelasku.

"Kamu harus ikut aku dulu! Sebentar saja, aku ingin menunjukan kamu sesuatu."

Aku kebingungan dan hanya bisa menurutinya, ia pun tidak berhenti memegang tanganku dengan tangan kananya. "Kamu ingin membawaku kemana, Alice? Jangan terlalu jauh, kakiku sudah tidak kuat lagi untuk berjalan ke atas."

Sambil masih memegang bunganya, dia menggiringku ke jalan setapak yang berlawanan dengan arah pulang. Kami berjalan turun sedikit kebawah, ke sisi lain dari bukit yang luas itu, aku belum pernah melihat sisi itu sebelumnya, padahal entah sudah berapa kali aku telah mendaki dent du chat.

Kemudian, tidak jauh dari situ aku melihat sebuah rumah kecil yang terbuat dari batu bata merah dan kayu, ada cerobong asap yang menyala di atasnya, betul-betul sebuah rumah tua yang elok sekali. Aku sangat terheran karena tidak menyangka akan ada rumah di atas gunung ini. Alice membawaku ke depan pintu rumah itu.

"Radhi, kamu ketuk pintunya, ya! Dan ini untukmu!" dia memberikanku bunga-bunga hasil petikannya yang sudah terikat rapih oleh ranting, "Dan jangan lupa memberikannya, ya!"

Aku mengambil bunga darinya. "Hah? maksudmu? Alice! ini rumah siapa?! Ada-ada saja kamu ini... mana mungkin aku mengetuk pintunya tahu!"

"Sudahlah Pak Tua! Cerewet sekali kamu ini, ketuk saja pintunya! Jangan lupa untuk tersenyum!"

Aku bingung sekali dan entah mengapa aku masih menuruti perkataanya. Lalu, aku berjalan ke depan pintu itu dan melihat Alice yang berdiri berjarak tidak lebih dari satu lemparan batu dariku. Dia berwajah girang sekali, aku tidak tahu mengapa dia senang, mungkin saja dia hanya ingin mengerjaiku. Pintu itu berwarna merah, lalu terdengar seperti ada seseorang di dalamnya, seperti bernyanyi dengan pelan dan merdu, aneh sekali rasanya aku seperti mengenal suara itu.

"Cepat! Lama banget, sih!" Serunya yang gemas.

Tepat sebelum aku membuka pintu itu, air hujan menetes di dahiku. Aku melihat Alice sekali lagi di belakang, kemudian langsung mengetuk.

Tok tok tok. Suara ketukan pintu. Tidak ada yang membuka lalu aku mengetuknya lagi. Tok tok tok dan tiba-tiba pintu merah itu pun terbuka. Jantungku langsung berdegub sangat kencang, tubuhku tidak bisa bergerak sama sekali, mulutku melongo lebar karena tidak percaya kalau mataku melihatnya berdiri di depanku.

"Radhi! Akhirnya! Lama sekali aku menunggumu! Aku rindu sekali denganmu, Mon Amour... Wah! Kamu membawakan bunga kesukaanku, ya?" Dia langsung memelukku tanpa ragu dan erat sekali.

Aku menerima pelukan itu, lalu melepaskannya dengan perlahan. "Cla --- Clara? Ini kamu? Tidak mungkin, ini tidak mungkin!"

Clara tersenyum manis dan dengan begitu lembutnya, dia mengelus pipi keriputku. "Radhi, ini aku... ini aku, Claramu."

Wajahku berlinang air mata. Dadaku sesak sekali karena menangis terisak-isak. Dia pun langsung mengusap basah air mataku itu. "Radhi... arrte-toi, jangan menangis lagi. Kamu sudah kembali. Kamu sudah sama aku, kamu sudah kembali, Radhi..."

Aku masih terguncang. "Ini tidak munkin nyata. Aku tidak percaya. Kamu sudah mati, Istriku. Bisa-bisanya Alice mengerjaiku seperti ini," aku ingin marah ke Alice dan langung menengok kebelakang. Namun, tidak ada apa-apa, dia menghilang begitu saja. "dimana dia?! Alice! Dimana kau?!"

Aku kebingungan sekali dan berusaha mencari penjelasan. Lalu, dengan suara lembutnya, Clara bertanya. "Kamu mencari siapa? Kamu mencari dia, ya? Nanti akan ada waktunya dia kembali, Dhi. Tenang saja..."

Perkataan Clara malah membuatku menjadi lebih bingung dan takut, ditambah lagi Clara memberikanku senyumannya yang mempesona itu.

"Kenapa kamu malah tersenyum?"

"Radhi, aku tahu kamu bingung sekali sekarang. Tapi kamu harus percaya denganku. Kamu percaya denganku, kan?" Tanyanya.

"Aku tidak pernah tidak." jawabku lirih.

Dia menatapku dalam sekali, lalu. "Kamu sudah mati, Radhi."

Mendengarnya, aku langsung duduk lemas di tanah. Clara pun meraih kedua tanganku dan berusaha membantuku berdiri lagi.

"Dia tidak bilang ke kamu, ya?" kami berdua diam sesaat, "Pantas saja! Dasar! padahal aku sudah bilang kepadanya kalau kamu adalah orang yang tidak suka dibuat seperti ini. Aku minta maaf ya..."

"Aku belum mengerti semua ini, Clara. Aku benar-benar tidak mengerti. Apa maksudmu aku sudah mati?" Tanyaku yang masih kebingungan.

"Sebelum dia bertemu denganmu di bawah pohon itu, dia sudah bilang ke aku kalau kamu sebentar lagi akan sampai di sini. Kamu lupa, ya?" Ungkap Clara.

"Lupa apa?"

"Sejak kamu memilih untuk beristirahat sebentar di batu itu... kamu sudah tiba di sini, Dhi. Tubuhmu sudah tidak kuat sama sekali. Aku selalu bilang untuk jangan pernah memaksakan diri, kan? Tapi kamu memang benar-benar tidak pernah mendengarkanku."

Tiba-tiba aku teringat kembali semuanya. Batu lebar itu, daun-daun yang berwarna, dan juga aku yang memejamkan mata karena kelelahan. "Clara..."

"Ya?"

"Aku minta maaf..." aku langsung mencium dahinya lalu memeluk kencang tubuh indahnya itu. "Aku meninggalkan anak-anak dan Alice si kecil. Tidak seharusnya mereka kehilanganku dengan cara seperti ini."

Clara mengusap lembut pundakku. "Mereka semua pasti mengerti. Aku yakin suatu hari nanti anak-anak akan mengenal betapa besar cinta orang tua mereka, dan sudahlah... lagi pula tanggung jawabmu itu sudah lama selesai. Jangan kamu sedihi lagi, ya? Aku sudah bersamamu sekarang."

Aku mencium bibir merah mudanya yang lembut itu. Rasa akan kehadiran satu sama lain langsung terlahirkan kembali. "Clara. Aku rindu sekali denganmu, aku benar-benar rindu denganmu... kamu tidak akan meninggalkanku lagi, kan?" Tanyaku lirih.

Clara tertawa kecil. "Aku tidak pernah meninggalkan kamu, Radhi," kami masih berpelukan lagi dan belum berhenti melepaskan rindu satu sama lain, lalu tiba-tiba saja, "Wah! Hujan! Dhi, ayo kita masuk ke dalam! Banyak sekali yang kamu harus ceritakan kepadaku!, aku tidak sabar untuk mendengarkannya."

Aku memutarkan badan ke belakang untuk yang terakhir kalinya. Lalu, dari kejauhan terlihat dia yang memilih kupanggil sebagai Alice itu sedang menatap ke arah kami berdua. Kemudian, dia melambaikan tangannya dan tersenyum lebar sekali, sebuah senyuman polos dari seorang anak kecil. Sambil mengacungkan jempolnya ke arahku, dia mengangguk-anggukan kepalanya, seolah-olah dia merasa berhasil karena sudah membuatku bahagia. Aku pun membalas kembali senyumannya itu dan langsung masuk ke dalam rumah.

Akhirnya aku kembali bersamamu Clara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun