Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Walmiki

10 November 2012   06:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:40 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Piringan Hitam dan Buku

Sudah jam 1 siang. Ayah masih belum muncul. Entah ayah sudah dimana? Padahal, aku ingin pulang. Tiduran di atas dipan sambil baca komik, juga dengar musik radio. Untung aku bawa buku cerita.

Jarum jam sekarang menunjuk 1.20 siang. Ayah muncul dari kejauhan. Ayah muncul dengan onthel kesayangannya. Ayah mengayuhnya setiap hari. Ayah lemparkan senyum dari jauh padaku. Aku tentu girang. Kegiranganku semakin rekahkan senyum ayah. Ayah tak pernah cemberut padaku.
“Miki, maaf ayah telat lagi?”
“Yahhh. Besok pasti telat lagi?”
Ayah tetap senyum sementara wajahku terlihat menyebalkan.
“Ayah minta maaf deh.”
Aku naik dan ayah mengayuh lagi. Kami susuri Klandasan. Jalanan ramai tiap hari. Aku suka lewat Klandasan. Semakin pelan kayuhan ayah aku semakin menikmati Klandasan. Ayah selalu pelan. Entah karena ayah tak kuat mengayuh atau karena ayah tahu aku menikmati Klandasan yang ramai. Ayah seperti mengertiku.
Setelah melintasi Klandasan, kami sampai di Stal Kuda. Rumah mungil kami di Stal Kuda. Jadi, setiap hari ayah harus mengayuh sepeda jauh sekali. Ke sekolahku di Lapangan Merdeka, lalu ayah ke Pintu Lima. Ayah jadi buruh di sana. Sejak aku lahir.
Sampai depan rumah, aku ganti baju dan jalani kebiasaanku jika siang. Ambil buku dan putar radio. Berbaring hingga terlelap. Hidup begitu menyenangkan dengan kebiasaan itu.
Biasanya aku terlelap hingga sore. Bangun tidur aku bermain hingga senja. Ayah tak pernah banyak tanya kemana aku bermain. Ayah tak pernah banyak larangan. Hanya pesan, “jangan jahat dan bikin masalah.” Itu saja.
Tak ada yang kalahkan indahnya sore di Balikpapan. Apalagi buat anak SD sepertiku. Sayang, waktu itu kami tak sadari jika sore waktu itu begitu indah kami nikmati. Sore kami bubar oleh datangnya senja. Kami, anak-anak kecil harus pulang dan mandi. Atau setan-setan dari kuburan nun jauh dari rumah-rumah akan datang dan jadikan kami santapan malam mereka.
Malam hari aku cuma di rumah. Hanya bersama ayah. Aku kerjakan PR. Ayah memasak. Selesai ayah masak, kami makan bersama. Setelahnya aku kerjakan PR lagi dan ayah akan membaca apa saja yang ada di rak bukunya. Setelah itu, ayah akan mengetik. Aku tak tahu apa yang ayah ketik. Ayah selalu asyik ketika mengetik. Seolah itu dunianya. Beda dengan duniaku yang isinya hanya bermain.
Aku tak bisa ganggu ayah. Bukan karena aku tak suka atau ayah akan marah jika kuganggu. Aku selalu sibuk dengan PR. Setelah itu aku pasti terlelap. Tak ada waktu ganggu ayah. Ayah juga tak marah jika aku memutar piringan hitam sebelum tidur. Ayah justru makin asyik saja. Piringan hitam itu baru mati jika lagunya habis.
Lagu kesukaan kami yang biasa kami putar My Way dari Frank Sinatra. Ayah tak perlu baca dongeng seperti beberapa tahun silam, seperti sebelum aku bisa membaca.

And now, the end is here
And so I face the final curtain
My friend, I'll say it clear
I'll state my case, of which I'm certain
I've lived a life that's full
I traveled each and ev'ry highway
And more, much more than this, I did it my way

Regrets, I've had a few
But then again, too few to mention
I did what I had to do and saw it through without exemption
I planned each charted course, each careful step along the byway
And more, much more than this, I did it my way
Yes, there were times, I'm sure you knew
When I bit off more than I could chew
But through it all, when there was doubt
I ate it up and spit it out
I faced it all and I stood tall and did it my way

I've loved, I've laughed and cried
I've had my fill, my share of losing
And now, as tears subside, I find it all so amusing
To think I did all that
And may I say, not in a shy way,
"Oh, no, oh, no, not me, I did it my way"

For what is a man, what has he got?
If not himself, then he has naught
To say the things he truly feels and not the words of one who kneels
The record shows I took the blows and did it my way!

Jika aku masih belum tidur juga dengan lagu tadi. Aku akan putar When a Wonderfull World yang dinyanyikan Louise Amstrong. Aku lebih suka suara Louise Amstrong ketimbang Frank Sinatra.

I see trees of green........ red roses too
I see em bloom..... for me and for you
And I think to myself.... what a wonderful world.

I see skies of blue..... clouds of white
Bright blessed days....dark sacred nights
And I think to myself .....what a wonderful world.

The colors of a rainbow.....so pretty ..in the sky
Are also on the faces.....of people ..going by
I see friends shaking hands.....sayin.. how do you do
They're really sayin......i love you.
I hear babies cry...... I watch them grow
They'll learn much more.....than I'll never know
And I think to myself .....what a wonderful world

The colors of a rainbow.....so pretty ..in the sky
Are there on the faces.....of people ..going by
I see friends shaking hands.....sayin.. how do you do
They're really saying... (I ....love....you).

I hear babies cry...... I watch them grow
you know their gonna learn
A whole lot more than I'll never know
And I think to myself .....what a wonderful world
Yes I think to myself .......what a wonderful world.

Aku hampir selalu putar keduanya. Kadang berulang-ulang jika susah tidur. Piringan hitam adalah pengantar tidurku. Sebelum beranjak tidur, aku selalu ucap, “selamat malam, Ayah.” Ayah tersenyum dan berhenti sejenak mengetik. “Slamat tidur. Smoga Miki mimpi indah.” Aku terlelap sementara ayah terus mengetik sebelum dirinya terlelap karena lelah dan kantuk.
Pagi sudah datang dari tadi. Waktunya pergi ke sekolah. Dibonceng ayah lagi. Pasti seru. Aku tak akan lupa masa-masa itu. Sehabis sarapan, kami bersepeda ke arah kota. Susuri Klandasan, Balaikota, Rumahsakit, lalu Lapangan Merdeka. Sampai depan sekolah aku turun. Tak lupa ayah selalu bilang, “semangat, Miki.” Aku hanya tersenyum dan ayah lalu menghilang.
Aku masuk kelas. Belajar. Mendengar pejelasan Pak Guru dan Bu Guru. Lalu membaca, mengerjakan soal matematika, atau mencatat. Dan, yang paling kubenci adalah menghafal. Sudah pasti jam istirahat dan usai sekolah adalah waktunya bermain atau baca komik.
Sebelum ayah menjemput, aku biasa bermain di selokan sama teman-teman yang super jorok. Mereka rela berkotor-kotor ria buat tangkap ikan-ikan kecil di selokan. Mahluk-mahluk kecil itu bikin kami tertarik. Kami sering bawa pulang ikan-ikan kecil itu. Bersama kami, umur ikan-ikan itu hanya dalam hitungan jam saja. Esok hari sudah tamat riwayat itu ikan-ikan malang yang tertangkap oleh kami.
Ayah tak pernah marah juga jika menemukanku dengan pakaian kotor karena tangkap ikan di selokan jorok dekat sekolah. Dari sikap ayah, sepertinya ayah pernah lakukan itu juga waktu sekolah dulu. Tak kalah jorok denganku.Ayah hanya tersenyum dan tak mau bahas kenapa baju sekolahku kotor. Karena aku yang tanggung nasib pakai baju jelek dan makin kusam warnanya ke sekolah. Ayah hanya setahun sekali ajak aku beli baju baru. Ayah kelihatan pelit kalo beli baju baru. Tapi, kalo buat beli komik atau majalah Bobo. Ayah selalu ada uang. Buat anak kecil sepertiku, beli buku itu mahal.
Seperti siang ini. Ayah muncul lagi seperti kemarin. Ayah tidak telat 20 menit siang ini. Ayah datang pukul 13.15 siang. Cuma telat 15 menit saja. Kalau kemarin aku menunggu sambil membaca kali ini aku menunggu dengan bermain di selokan yang jorok. Kali ini ayah juga tak marah. Begitu ayah muncul, aku berlari kea rah onthel ayah sambil pamit. Bersama ayah, aku lalu susuri Klandasan lagi.
Tak selamanya aku diam dalam kayuhan onthel ayah. Aku sering cerewet banyak tanya pada ayah. Tapi rupanya itu bukan masalah. Ayah selalu jawab pertanyaanku tanpa beban. Ayah selalu bisa menjawab walau aku tak paham maksud ayah. Siang itu aku bertanya atas apa yang aku lihat di Klandasan.
“Ayah, kenapa Tuhan kasih banyak orang miskin ke dunia?”
“Kenapa Miki tanya itu?”Ayah malah balik tanya aku.
“Entahlah, ayah. Tiap pergi pulang sekolah, tiap sore kalau main, banyak yang Miki lihat.”
“Ehm Kenepa Miki anggap mereka miskin?”
“Mereka tidak bisa sekolah. Baju mereka juga lebih jelek daripada baju Miki.”
“Pertanyaan yang sulit ayah jawab Miki. Itu kehendak Tuhan.”
“Apa Tuhan sedang menghukum mereka?”
“Tidak. Banyak anak kecil lahir miskin, padahal mereka tidak salah apapun.”
“Tuhan kan sayang pada umatnya, Ayah. Tapi kenapa mereka harus miskin?”
“Mungkin Tuhan ajak semua manusia bermain peran. Ada yang jadi si kaya dan ada yang jadi si miskin.”
“Jadi hidup seperti panggung sandiwara, Ayah?”
“Kira-kira begitu, Nak.”
“Jadi, semua sama saja di mata Tuhan? Yang miskin bukan yang nista. Yang kaya bukan yang mulia juga?”
“Betul, Miki. Kamu pintar sekali.”
Tiba-tiba onthel ayah berhenti. Aku bingung dan turun. Kulihat penjual Es Krim didepan ayah. Aku tersenyum. Ayah beli dua es krim. Satu untukku. Dan satu untuk ayah. Kami lalu duduk dan mengobrol lagi. Tepat di jembatan. Aku mulai bertanya lagi.
“Ayah, Miki heran. Baju kita jelek. Kita jarang beli baju baru. Kalau beli juga bukan baju yang bagus juga. Sama saja seperti orang-orang miskin itu.”
“Apa menurut Miki kita juga miskin.”
“Tapi kita selalu beli buku baru tiap minggu Ayah? Orang-orang yang kita anggap kaya saja tak pernah beli buku.”
Ayah tersenyum.
“Ya. Uang kita tidak banyak. Tapi, bisa tabung sedikit dan beli buku. Sekarang, Ayah beruntung. Bisa kerja. Beli buku dari uang hasil keringat ayah. Dulu ayah nangis lihat buku bagus dan tak mampu beli itu buku. Sekarang, walau cuma kerja jadi buruh, ayah bisa beli banyak buku. Dan buku-buku yang ayah mau. Waktu kuliah dulu, ayah rela kelaparan biar bisa beli buku.”
“Ayah lebih pilih lapar? Kenapa?”
“ Otak kita butuh makanan juga, Nak.”
“Itu kenapa kita harus beli buku?”
“Ya. Dalam kaya atau miskin.”
“Ayah, kita sepertinya tidak kaya. Tapi juga tidak miskin.”
Ayah tersenyum lagi. Dan tampak bangga dengan pendapatku. Ayah lalu mengusap rambutku yang lebat.
“Miki, ayo kita pulang.”
Kami bersepeda lagi sampai rumah. Seperti biasa. Aku lanjutkan kebiasaanku di siang bolong. Baca buku dan tidur siang. Begitu kebiasaan yang kulakukan waktu SD. Hidup tanpa beban dan menikmati semua hal tanpa tekanan.

2

Mesin Tik Ayah
Suatu pagi, aku pergi ke sekolah lagi bersama ayah. Bersepeda. Balikpapan sedikit berkabut pagi. Kami berangkat terlalu pagi. Mata ayah melirik ke toko sepeda yang masih tutup.
“Kenapa, ayah?”
“Tidak. Cuma lihat saja.”
Aneh waktu itu. Aku tak terpikir minta sepeda. Kupikir setiap hari aku tak merasa kekurangan. Aku sudah bisa baca bacaan bagus, entah buku atau majalah. Tak habis pikir kenapa aku berbeda dengan anak seumuranku. Boleh bermain di selokan atau di kebon tanpa kena semprot Ayah sama sekali. Itu sudah cukup menyenangkan.
Hampir semua teman-temanku tak pernah minta sepeda juga. Mereka biasa pakai sepeda ayah mereka juga. Kami tak ingin beli apapun. Apapun yang kami lihat akan kami pakai. Sudah pasti kami kembalikan kalau selesai. Maklum kami anak kampung.
Ayah tampak buru-buru pagi itu. Sampai depan sekolah, setelah antar aku, terlihat ayah tidak berjalan menuju Pintu Lima tempat kerjanya. Ayah mlah mengayuh sepedanya ke pulang. Aku tak mau pusing. Sekolah masih sepi aku pun baca buku cerita silat bergambar. Aku belum baca Kho Ping Ho waktu itu.
Hari itu semua tak ada yang luar biasa di sekolah. Cuma belajar seperti biasa. Tak ada hadiah. Juga tak ada hukuman. Sepulang sekolah, aku susuri selokan depan sekolah. Tentu saja sepatu kutenteng. Lalu aku naik dan duduk di bawah pohon. Dari jauh ayah muncul.
Siang itu ayah hanya tersenyum seperti biasa. Aku hampiri ayah dan onhtelnya. Aku naik. Menikmati jalan Klandasan yang ramai lagi. Aku tak banyak cakap dengan ayah siang itu. Ayah hanya mengayuh. Sambil berpikir tentunya. Mungkin ayah akan mengetik malam ini. Begitulah ayah. Dia akan banyak diam tanpa ajak aku bicara jika sedang mengetik sesuatu. Selesai mengetik ayah akan mampir ke kantor pos sebelah Balaikota. Ayah kirim hasil ketikannya entah kemana? Mungkin Jogja. Mungkin Jakarta.
Ayah sering sekali kirim. Biasanya, ayah dapat balasan. Kadang penolakan. Kadang wesel honor menulis. Aku tak pernah baca isi ketikan ayah. Tak sekali pun. Uang honor itu biasanya dimasukan ayah ke rekeningnya. Tidak begitu banyak.
Aku senang Ayah punya kesibukan. Aku senang ayah menulis. Seperti Chairil Anwar atau Marah Rusli yang tulis Siti Nurbaya. Hidup ayah begitu sepi. Mungkin hanya ada aku, onthel dan mesin tik saja. Ayah hanya nikmati keramaian di tempat kerja. Aku pernah kesana dan ayah akrab pada siapa saja.
Tak terasa, sampai juga kami di rumah. Begitu buka pintu aku terkejut ada sepeda baru di dalam rumah.
“Ayah ini punya siapa?”
“Ini buat Miki?”
“Kenapa Ayah? Miki tidak minta sepeda toh?”
Ayah lalu pegang pundakku.
“Miki. Kamu tidak biasa selamanya dalam boncengan ayah. Kakimu harus mengayuh dan putuskan kemana sepedamu akan meluncur.”
Aku belum paham apa maksud Ayah. Aku langsung peluk ayah.
“Terimakasih, Ayah.”
Ayah tersenyum dan pergi lagi. Ayah bukannya menuju mesin tik seperti biasa. Ayah pergi lagi aku tak tahu kemana. Aku bukannya jalan-jalan pamer sepeda baru. Aku tak tertarik. Karena di jalan tadi terpikir mesin tik ayah, aku lalu dekati mesin tik ayah. Ternyata di dekat mesin tik masih tersusun rapi ketikan ayah semalam. Ayah menulis sebuah cerita. Aku sempatkan diri membacanya.
Begitu selesai. Aku ingat-ingat lagi ucapan ayah tadi. “Kakimu harus mengayuh dan putuskan kemana sepedamu akan meluncur.” Mungkin ayah ingin aku banyak bersepeda keluar rumah. Buat ayah, mungkin seharian di rumah tidak begitu baik. Entahlah.
Aku lebih ingin di rumah. Menatap mesin tik ayah sambil baca majalah Bobo. Terpikir olehku untuk meniru ayah. Mengetik. Kupaksakan aku meniru apa yang dilakukan ayah.
Kertas terpasang. Aku tinggal mengetik saja. Tapi aku tak tahu bagaimana harus gerakan jariku. Sepuluh menit berlalu. Dua puluh menit berlalu. Dan tak terasa sudah hampir tigapuluh menit tanpa aku menekan tuts mesin tik ayah. Aku pun brutal dan mengetik tak karuan. Setelah puas. Jelas tak satupun kata apalagi kalimat.
Aku tinggalkan mesin tik ayah. Dengar radio dan tidur. Senja aku terbangun dan mendengar ayah bereskan meja ketiknya. Aku hampiri ayah.
“Ayah, bagaimana cara mengetik. Bagaimana menulis?”
“Cari tahu dulu apa yang ingin kamu tulis. Lalu ketiklah!”
“Semudah itu?”
“Tidak mudah jika kau tahu dan tak pernah membaca.”
“Apa yang ingin ayah tulis jika Ayah adalah Aku?”
“Ayah akan menulis cerita anak.”
Pikiranku cerah. Cerita anak ide yang hebat. Ayah sebetulnya orang pintar. Tapi ayah lebih suka jadi orang sederhana. Tak ingin terlihat hebat. Rasanya tak ada yang tahu jika ayah adalah penulis. Diantara manusia-manusia di kota ini, hanya aku yang tahu.
Malam itu aku melihat ayah mengetik. Seperti biasanya, ayah mengetik sambil menderngarkan musik yang tak kupahami. Ayah memulai dengan menarik nafas sebelum mulai mengetik. Sepertinya, ayah tahu apa yang ayah ingin tulis. Setelah itu jarinya perlahan mengetik dan tak berhenti. Aku perhatikan ayah dan mesin tiknya. Sepeda baru dari ayah tak kuhiraukan. Aneh aku justru tertarik pada mesin tik ayah sekarang. Aku baru tertidur setelah ayah selesai. Ayah sudah mengetik tiga halaman. Ayah cukup puas dengan ketikannya. Ayah lalu berpaling padaku.
“Tidaklah, Miki. Sepedamu menunggumu besok pagi. Kau harus kuat putari Balikpapan.”
Aku menurut dan tertidur. Paginya aku terbangun. Setelah sarapan bersama ayah. Kami bersepeda bersama. Aku tak membonceng pada ayah lagi. Aku dengan sepeda baru yang baru kupakai. Aku berjalan dengan kecepatan yang sama dengan ayah. Aku dibelakang ayah. Setelah rumah sakit kami berpisah. Setelah amankan sepeda, aku masuk kelas.
Kawan-kawanku tahu aku punya sepeda baru. satu sekolah heboh. Aku tak tertarik dengan kehebohan mereka. Aku berpikir cerita yang akan kutulis. Tiba-tiba teringat cerita ular Naga. Aku pun bertanya lagi pada Bu Guru yang ajar bahasa dan sastra. Aku bertanya soal urutan cerita. Dan setelah itu aku susun alur kalimatnya.
Jam sekolah selesai. Aku langsung berlari ke sepeda. Aku langsung pulang ke rumah. Dan langsung duduk di depan mesin tik ayah. Aku langsung pasang kertas. Lalu meniru ayah. Tarik nafas sebelum mulai mengetik. Jari dan pikiranku tak secepat ayah. Aku berhati-hati mengetik agar tidak salah.
Butuh waktu lebih dari dua jam untuk selesaikan cerita pendek berjudul Ular Naga. Banyak salah tulis. Aku lalu terlelap dan mimpi ketemu Suster Maria. Anehnya dia tidak terlihat seram. Ketika suster mendekatiku aku langsung terbangun. Ternyata ayah sudah pulang dan hari sudah senja. Aku langsung mandi.
Hasil ketikanku kuamankan. Aku malu kalau ayah baca. Pikiranku melayang pada cerita lain. Aku akan tanya pada Bu Guru lagi cerita asal mula Balikpapan. Aku tak sabar menuggu besok. Setelah makan aku banyak baca dan berkhayal. Sambil dengar piringan hitam tentunya. Sial, kenapa siang tadi tak kunyalakan piringan hita saja. Pasti mengetik jadi hal menyenangkan.
Pagi datang lagi. Aku lebih semangat lagi ke sekolah. Jam isitirahat adalah waktu untuk ganggu guru sastra Indonesiaku. Ibu itu tidak marah. Dia memang baik hati dan suka jawab semua pertanyaan, termasuk pertanyaan sulit, tanpa merasa ada masalah. Beliau banyak membaca. Selama empat hari berturut-turut aku selalu mengganggunya dan memaksanya banyak bercerita.
Pulang sekolah, setelah putar musik dari piringan hitam, juga siapkan kertas, aku mengetik. Aku melakukannya tanpa beban. Menulis itu menyenangkan. Dalam empat hari empat cerita pendekku selesai. Hari keempat aku benar-benar puas.
Aku lalu tertidur di meja. Ayah pulang dan aku masih belum bangun. Ayah tak sengaja temukan kertasku ketika aku tertidur. Ayah membacanya. Semuanya. Tak satu bagian terlewati. Ayah kembalikan tumpukan cerita pendekku. Aku lalu terbangun dan bereskan kertas-kertasku.
Seperti malam sebelumnya. Ketika ayah mengetik aku hanya memperhatikannya sambil membaca. Aku temukan kotak redaksi majalah Bobo. Terpikir olehku untuk mengirimnya. Aku putuskan akan putuskan kirim itu naskah besok sepulang sekolah.
Aku putuskan tidur sebelum ayah selesai mengetik. Ayah bangun lebih awal lagi seperti biasa. Ayah sudah sarapan duluan sambil membaca. Tiba-tiba ayah sodorkan amplop dan perangko.
“Pakai ini?”
Aku kaget. Ayah terus membaca dan mengunyah. Aku bingung. Ayah sepertinya bisa baca pikiranku. Aku diam saja. Pura-pura tidak tahu.
“Mau jadi penulis juga seperti Ayah?”
Aku diam saja. Aku tak berkutik dan takut ini adalah kesalahan di mata ayah. Aku malu sekali.
“Miki, kamu harus bicara! Mau diapaka itu naskah?”
Aku tak berkutik dan mulai buka suara sedikit.
“Mau dikirim Ayah.”
“Masukkan sekarang ke Amplop dan tempel perangkonya!”
Aku menurut tanpa bicara. Seperti maling jemuran ketangkap dan dipaksa taruh kembali jemuran curianku. Aku turuti perintah ayah. Aku malu sekali. Begitu semua selesai kukerjakan, Ayah angkat bicara lagi.
“Begitu ini kamu kirim, bersiaplah. Kamu akan kecewa. Tipis peluang untuk mujur. Jika mujur pun belum tentu kamu bisa dapat banyak uang dari artikel-artikelmu. Apa kau mau cari uang dengan cara seperti ini, Nak?”
“Entahlah , Ayah. Sepertinya aku tidak yakin.”
“Lalu kenapa kau lakukan ini?”
“Aku hanya penasaran dengan yang ayah lakukan.”
Ayah terdiam. Tanpa senyum. Tapi bukan marah. Mungkin prihatin.
“Jangan lakukan ini demi uang atau ingin jadi orang terkenal! Lakukan hanya ketika kamu yakin ini adalah jalan atau sekedar kesenangan saja!”
“Kenapa Ayah?
“Dulu Ayah merasa ini jalan untuk bisa kaya. Tapi Ayah salah. Ayah waktu itu masih muda dan kecewa. Ayah tetap saja miskin. Tahu kenapa ayah masih sering menulis?”
“Tidak tahu, Ayah.”
“Ayah melakukannya karena suka dan merasa harus menulis. Ayah tak mau lakukan demi uang. Karena orang belum tentu dengan apa yang kita tulis.”
“Aku tak lakukan demi Uang ayah. Aku juga menulis itu menyenangkan. Aku tak peduli mereka suka atau tidak.”
Ayah langsung memelukku. Kami lalu tinggalkan rumah bersama. Menyusuri jalan kami seperti pagi-pagi kemarin. Kami berhenti di depan kantor pos sebalah Balaikota. Ayah melihatku dari jauh sambil tersenyum. Jantungku berdebar ketika masukan amplok ke kotak pos. Selesai masukan amplop aku hampiri ayah. Ayah masih tersenyum. Ayah tampak senang.
“Lakukan Apa yang Miki mau. Jangan lakukan demi uang. Biarkan uang mengikutimu. Tuhan berikan rezeki-nya di banyak tempat.”
“Iya, Ayah. Menulis itu melegakan.”
“Bagus, Nak.”
Kami pun menghilang dari kantor pos. Ayah ke Pintu Lima. Aku ke sekolah.
Seminggu berlalu. Tanpa sengaja kutemukan karanganku tentang Ular Naga. Ak tak percaya, nama Walmiki tertulis di bawah judul tulisan it di majalah Bobo. Serasa mimpi dan sulit kupercaya.
Edisi setelahnya kisah asalmula Balikpapan. Sebuah wesel dan surat kuterima pun kuterima. Wesel untuk honor dua cerita pendekku dan surat penolakan dua naskah yang lain. Anehnya, aku tak kecewa dengan penolakan itu. Maklum dua naskah sudah diterima. Ini sudah luar biasa buat bocah macam aku.
Ayah akhirya bertanya.
“Sudah dapat surat penolakan?”
“Sudah Ayah.”
“sedih?”
“Tidak, Ayah. Dari empat cerita mereka tolak dua.”
“Selamat, Miki. Kamu penulis sekarang. Kamu mengabadi.”
Ayah tersenyum. Lalu memelukku.
“Mengabadi?”
“Ya. Tahu Skripta Manent verba volant?”
“Apa itu ayah?”
“Yang tertulis akan abadi. Yang terucap akan hilang terbawa angin.”
Aku hanya tersenyum dan mencoba mengerti apa maksud ayah. Aku sering kesulitan pahami apa yang dikatakan ayah. Tapi aku suka dengan hal-hal sulit kupahami. Aku percaya aku akan pahami pada suatu hari, seperti pesan ayah.
Aku takkan lupa kata-katanya. Aku belum paham lebih banyak buruknya menulis demi uang. Tapi Ayah sebenarnya penyemangatku. Aku baru tahu belakangan kalau ayah kliping cerpenku di Bobo itu di buku hariannya. Diam-diam ayah bangga padaku. Meski Ayah paham aku tak sehebat dirinya, dalam menulis.

Apalah Arti Sebuah Nama?
Hari-hariku mulai berbeda. Sepeda baru merubah hidupku. Aku bisa pulang lebih cepat. Bisa mengetik lebih awal jika aku kayuh sepedaku dengan cepat ke rumah. Aku bisa kemana saja. Termasuk ke rumah kawan yang jaraknya jauh. Aku jadi makin sering bermain. Tak sempat lagi tidur siang dan dengar radio. Dengar musik hanya malam saja. Ketika ayah memutarnya saat mengetik.
Ayah tak pernah pulang cepat lagi. Jam kerja ayah sepertinya bertambah. Aku jarang bertemu ayah lagi. Aku hanya bertemu ayah agak malam. Waktu ayah mengetik. Juga waktu sarapan dan bersepeda bersama tiap pagi. Aku semakin jarang bertemu.
Beruntung Ayah kasih sepeda. Jadi aku bisa kemana saja aku mau. Atau mengetik apa saja yang mau aku tulis. Aku merasa ayah beri semuanya. Makin hari aku makin memikirkan banyak hal saja. Memang sudah waktunya. Tapi lebih banyak soal cerita-cerita. Aku masih rajin nulis cerita. Lebih sering ditolak juga akhirnya. Aku pun makin jarang menulis. Ayah tak marah. Tak anggap aku tidak serius. Karena aku mendekati ujian sekolah.
Aku selalu simpan tulisan-tulisanku yang dimuat di Bobo. Belakangan, aku tak merasa itu hebat. Lagi pula, tulisanku disana masih bisa dihitung dengan jari. Tapi, nama Walmiki, namaku, yang tergores sebagai pengarang adalah hal yang sulit kupercaya. Hanya karena tulis cerita pendek, lalu banyak orang akan membacanya.
Mungkin ada ratusan atau ribuan anak sudah dan akan membacanya. Mungkin mereka bilang, “cerpen yang buruk.” Atau, “Siapa itu Walmiki?” Bahkan mereka akan bilang juga, “Walmiki biasa saja. Tidak hebat.” Tapi itu semua juga bukan masalah buatku. Sebagai anak kecil, aku tidak akan sakit hati. Toch aku bukan penulis hebat yang bisa disanding dengan Marah Rusli, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka atau yang lainnya. Aku cuma Walmiki, kebetulan anak seorang penulis tak terkenal yang hidup sebagai buruh rendahan di perusahaan minyak.
Walmiki, apa sih artinya itu nama? Kenapa ayah kasih nama aku seperti itu? Kenapa Ayah tidak beri aku nama lain saja? Aku merasa harus bertanya. Pada siapa lagi kalau bukan pada ayah.
Sudah senja, ayah pasti akan pulang tidak lama lagi. Sekarang ayah hanya pulang sore dan sampai rumah hari sudah senja. Sebelum punya sepeda, ayah biasa pulang siang sebentar.
Ada suara dari luar. Suara sepeda ayah. Ayah muncul di depan pintu yang sedari tadi terbuka.
“Miki, Ayah bawa kue pukis.”
Aku girang. Tadi aku hanya makan nasi dan telor. Masak sendiri seperti biasa. Masakan anak kecil tak karuan rasanya. Aku menghabiskannya karena lapar saja. Sekarang ada makanan enak. Dan, aku menyikatnya dengan lahap. Hidup begitu indah kalau ada makanan enak. Itu pikiran anak kecil.
“Ayah, aku mau tanya lagi.”
“Tanyalah, Nak.”
“Kenapa namaku Walmiki?”
Aku menebak, ayah tak akan langsung menjawab, tapi balik bertanya dulu.”
“Apalah arti sebuah nama?”
“Entahlah,Ayah.”
Betul juga tebakanku dan aku jadi bingung. Aku bengong tak mengerti. Ayah melanjutkan.
“Itu kata William Sheakspeare.”
“Siapa dia ayah?”
“Penulis Romeo and Juliet. Ayah jadi ingat dia waktu tadi Miki tanya arti nama Miki.”
Ayah lalu mengambilkan Romeo and Juliet dari rak bukunya. Ayah tunjukana padaku. Aku hanya amati saja. Aku coba fokus pada pertanyaanku.
“Lalu, Walmiki apa artinya?”
Ayah lagi-lagi tak langsung menjawab. Ayah mengambil buku yang lain. Yang belum pernah aku baca. Ayah memberikan lagi padaku. Sebuah buku berjudul: Ramayana gubahan Resi Walmiki. Aku kaget dan senang.
“Jadi sendratari Ramayana yang dulu sekali kita tonton itu karangan Walmiki, Yah?”
Ayah hanya tersenyum saja. Seperti biasa, Ayah selalu bikin aku berpikir. Anehnya, Ayah tak pernah salahkan apa yang aku maknai dari apa yang kupikirkan. Kali ini, ketika kupandangi buku Ramayana gubahan Resi Walmiki, aku berpikir mengapa ayah beri nama aku Walmiki? Apa ayah suka pada Ramayana? Apa ayah suka pada apa saja yang dari India? Tidak juga ayah tak pernah bilang kalau Ramayana buku kesukaannya. Ayah juga ogah nonton film India. Ayah juga bukan Hindu.Aku bertanya lagi.
“Ayah suka karangan ini?”
“Tidak juga. Ini karangan penting dalam sastra, Nak.”
“Jangan-jangan Ayah suka penulisnya, Resi Walmiki?”
“Ayah suka sama orang yang menulis.Termasuk Resi Walmiki.”
“Lalu kenapa namaku hanya Walmiki? Bukan Resi Walmiki sekalian?”
“Resi itu semacam Mahaguru yang disucikan. Ayah takut nama itu jadi begitu berat buat Miki.”
Kali ini aku paham maksud Ayah. Selama ini aku tak merasa punya nama berat. Dalam pikiranku, orang yang bernama Muhammad pasti dituntut biar punya kelakuan mulia macam Nabi Muhammad.
“Ayah, Resi Walmiki itu pengarang. Apa ayah ingin Miki jadi pengarang?”
“Tidak. Walau pun terkadang nama itu adalah doa, bukan berarti ayah mau Miki jadi seperti seperti Resi Walmiki. Miki cuma boleh jadi apa yang Miki mau. Bukan yang ayah mau.”
“Ayah, kata Bu Guru, orang tua selalu memberi nama anaknya dengan nama yang bagus-bagus kan?
“Ya.”
“Ayah pikir nama Walmiki itu bagus?”
“Ya. Bagus menurut Ayah.” Ayah menjawab dengan senyuman.
Sambil makan kue pukis, otak anak kecilku menyimpulkan. Nama Walmiki itu nama bagus, menurut ayah. Menurutku juga. Dan nama itu dari nama seorang pengarang hebat, meski bukan pengarang kesukaan ayah. Walau nama juga sebuah doa, ayah ternyata tak berharap aku seperti Resi Walmiki.
“Ayah, pertanyaan Miki masih belum terjawab. Kenapa aku harus bernama Walmiki?”
Ayah masih tetap seperti dulu. Begitu sabar dengan pertanyaanku yang seringkali sulit. Ayah selalu tersenyum. Seperti matahari pagi dan sore.
“Selain sebagai doa, nama juga bisa kita gunakan buat mengenang atau menghormati seseorang yang kita kagumi. Kadang ada orang yang namai anaknya seperti nama pemain sepakbola kesayangannya. Ada orang yang namai anaknya dari nama mantan pacarnya juga.”
Aku tertawa mendengar jawaban ayah. Dan aku benar-benar paham sekarang. Untuk mengenang Resi Walmiki yang hebat di mata ayah, aku pun dinamai Walmiki.
Bagiku itu nama Walmiki itu bagus. Tapi karena aku dipanggil Miki, aku sering dipanggil Miki Mouse atau Miki Tikus sama teman-teman. Tapi, aku jadi makin bangga dengan namaku. Seperti Resi Walmiki, aku juga menulis. Hanya itu. Tapi, aku tak sehebat Resi Walmiki. Tak apa. Aku cuma anak kecil.
Ayah kembali ke mejanya. Aku lanjut membaca buku. Seperti biasa kami memutar musik. Tak sadar akhirnya aku tertidur. Terbangun paginya. Seperti hari biasa, aku mandi, sarapan dan berangkat bersama Ayah.
Aku bersepeda di belakang ayah lagi. Aku selalu melihat punggung ayah tiap pagi. Dari belakang ayah betul-betul terlihat seperti buruh. Tak ada yang tahu kalau ayah seorang penulis. Seorang pengarang yang kagum pada Resi Walmiki. Sebegai pengarang ingusan aku juga tak punya pengarang idola. Mungkin belum ketemu saja. Kata Ayah, semua ada prosesnya.
Aku juga masih teringat percakapan semalam. Teringat kata Sheakspeare juga. “Apa artinya sebuah nama?” Nyatanya banyak nama yang punya arti. Orang pasti memilih arti yang bagus.
Pertanyaan Sheakspeare itu terus terngiang hingga aku beranjak dewasa. “Apa artinya sebuah nama?” Itu bukan pertanyaan bodoh. Itu cerdas. Pertanyaan yang harus selalu kita jawab. Pertanyaan yang selalu menampar kita agar kita rajin memaknai apa saja. Nama bukan sekedar panggilan atau sebutan. Bisa harapan dan doa ternyata. Juga penghormatan.
Aku bangga dengan namaku. Aku selalu bangga ketika perkenalkan diri, “nama saya Walmiki.” Banyak orang juga bangga dengan namanya sendiri. Termasuk orang yang dengan nama ndeso alias kampungan bernama Bejo. Bejo bukan nama buruk. Bejo artinya untung. Orang yang beruntung. Siapa yang tidak ingin beruntung?
Di depan rumahsakit ayah melambat sebelum akhirnya berhenti. Aku juga ikut berhenti.
“Selamat belajar Walmiki. Jadilah apa yang kamu mau di masa depan.”
“Miki belum tahu mau jadi apa besok-besok, Ayah.”
“Kamu akan temukan kamu mau jadi apa besok.”
Aku hanya tersenyum dengar itu.
“Ayah, apa Resi Walmiki tidak pernah terpikir untuk tidak jadi guru atau pengarang?
“Entahlah,” jawab Ayah dengan senyumnya.
“Ayah. Aku sering baca tentang banyak tempat di belahan dunia yang lain. Setelah membacanya aku ingin kesana.”
“Miki bisa jadi pelaut atau pilot. Jadi penejelajah.”
Ayah bersiap kayuh sepedanya. Dia melirik dulu ke arahku. Dan ucapkan lagi kalimat yang tadi sebelum akhirnya menjauh dari mataku.
“Selamat belajar Walmiki. Jadilah apa yang kamu mau di masa depan.”

Suatu Senja di Melawai
Siang bukan jamannya tidur siang lagi. Aku lebih suka kelayapan pakai sepeda sekarang. Aku mulai temukan menjelajah Balikpapan dengan sepedaku. Ke Manggar, Gunung Samarinda, Kampung Baru, atau sekedar ke Gunung Pasir. Pelan-pelan aku mengenal kotaku. Senja aku harus pulang. Selain sudah lelah, aku tak ingin dicari ayah sebagai anak hilang.
Suatu sore, aku masih dengan seragam sekolahku. Aku baru saja lintasi, Gunung Pasir, Gunung Sari, Karanganyar, melewati komperta lalu tembus ke jalan minyak. Dari jalan minyak akhirnya lewat pelabuhan. Melelahkan juga. Sore itu aku duduk dibawah pohon dekat tepian Melawai.
Aku hanya duduk memandangi laut. Sambil pelan-pelan membasahi tenggorokanku dengan air dari botol minum yang kubawa. Aku membayangkan berada di tempat lain dan bertanya apa sore akan seperti ini? Aku pasti akan rasa sore di tempat yang jauh dari sini.
Dari jauh aku lihat ayah bersepeda ke arahku. Ayah baru saja pulang kerja. Ayah terlihat tinggi semampai. Dengan pakaian kerjanya yang lusuh. Ayah memandangi ayah dari jauh. Ayah tahu kupandangi dia hanya tersenyum.
Semakin dekat aku perhatikan rambut ayah yang makin panjang. Ayah selalu membiarkan rambutnya memanjang. Begitu rambutnya sepundak, ayah akan memangkasnya. Model yang dipilih seperti model rambutku. Seperti potongannya John Lennon waktu masih di Beatles.
Ayah berhenti dan menghampiriku.
“Rambut ayah semakin panjang.”
“Ayah tak ada waktu potong rambut, Miki.”
Aku bisa pahami jawaban ayah itu. Ayah kerja dari pagi hingga malam. sampai rumah ayah akan menulis. Setelah itu tidur hingga pagi dan berangkat kerja lagi.
“Ayah suka rambut panjang?”
“Ya. Rambut panjang bikin ayah punya semangat seperti waktu muda. Waktu kuliah dulu ayah gondrong. “
“Ayah dulu kuliah apa?”
“Sejarah. Di Jogja.”
“Bukankah ayah bisa jadi guru?”
“Bisa. Ayah sempat setahun jadi guru di Sumatra.”
“Kenapa ayah berhenti? Ayah bisa menulis, pasti bagus jadi guru. Apa karena ayah ingin selalu punya rambut panjang?”
Ayah tertawa dan menepuk pundakku.
“Jadi guru itu sulit. Jadi guru sejarah apalagi. Ayah merasa dipaksa mengajarkan sejarah yang bagi ayah adalah kebohongan. Ayah tidak mau ajarkan kebohongan. Karena ayah yakin murid-murid ayah akan tahu kalau ayah bohongi mereka. Ayah tidak mau jadi pembohong. Yang ayah takut bukan lantaran mereka akan caci-maki atau tertawakan ayah karena ayah ketahuan bohong. Ayah tidak mau mereka meniru ayah sebagai pembohong. Ayah tidak mau mendidik para pembohong karena terima paksakan mengajarkan hal-hal penuh kebohongan.”
“Lalu kenapa Ayah sekolahkan Miki. Khan di sekolah juga Miki akan diajarkan sejarah yang isinya bohong juga.”
“Miki akan dipaksa terima hal itu. Miki dipaksa percaya. Tapi, pada akhirnya Miki pasti akan sadar juga kalau itu bohong. Bahkan sebelum diajari pun Miki akan merasa itu bohong karena mungkin bagi Miki tidak masuk akal. Ayah sekolahkan Miki bukan untuk percaya itu. Ayah sekolah Miki agar Miki tahu kalau dunia rumit. Tak Cuma berisi kebenaran, tapi juga kebohongan.”
“Apa menurut ayah sekolah itu buruk?”
“Tidak juga, Nak. Karena sekolah kamu bisa baca, nulis berhitung dan pasti punya banyak kawan.”
“Bagaimana caranya agar kita tidak dibohongi sejarah ayah?”
“Jangan pernah percaya, tapi buktikan.”
“Lalu bagaimana kalau belajar sejarah di sekolah?”
“Dengarkan saja. Jangan membantah, kasihan guru yang malang itu. Biarkan dia bersandiwara. Kalau ujian jawab saja seperti apa yang diterangkan guru.”
“Seperti bermain sandiwara, Ayah?”
“Ya. Di negeri ini sejarah seperti drama, Nak. Maklumlah.”
“Ayah pernah menulis tentang sejarah?”
“Pernah. Dari ayah kuliah sampai sekarang.”
“Apa ayah merasa ayah menulis kebenaran?”
“Tidak. Ayah bukan Nabi yang membawa kebenaran. Ayah hanya menulis pendapat ayah saja tentang peristiwa sejarah yang ayah telusuri. Kebenaran hanya datang dari Tuhan, Nak.”
“Sejarah bisa salah, Ayah.”
“Bisa saja. Tergantung kita melihatnya, Nak. Sejarah itu rumit.”
“Ya. Miki juga sering bingung juga. Walau nilai sejarah Miki tidak jelek.”
Ayah tersenyum lagi.
“Jangan terlalu ambil pusing, Miki. Biarkan saja tulisan-tulisan sejarah itu berbohong. Yang penting, kita jangan percaya pada ucapan dan tulisan manusia yang belum kita buktikan.”
Aku hanya menggeleng dan amini ayah saja.
“Ayah tadi bilang, tak ingin murid-murid ayah jadi pembohong lantaran ayah berbohong waktu jadi guru sejarah. Kenapa ayah tidak mau jadi pembohong?”
“Ayah tidak mau Miki jadi pembohong. Ayah juga tidak mau anak-anak negeri ini besok-besok jadi orang-orang pembohong.”
“Apa jadi guru sejarah itu salah ayah? Khan mereka juga disuruh berbohong juga?”
“Ayah tidak mau salahkan mereka. Mereka hanya ingin jadi guru saja. Tidak untuk jadi pembohong. Tanpa sadar mereka dipaksa berbohong.”
“Kenapa mereka dipaksa ayah?”
“Agar kalian semua jadi manusia penurut.”
“Menurut pada siapa?”
“Mungkin penguasa jahat berkedok pemimpin negeri yang selalu ingin bodohi rakyatnya.”
“Jadi ayah tidak mau bantu penguasa jahat?”
“Bagi ayah, bohong itu menyesatkan. Jadi ayah tidak mau. Ayah tak mau bohongi siapapun. Jadi ayah pilih terus menulis. Tapi karena menulis bisa bikin ayah kelaparan, maka ayah jadi buruh.”
“Ayah bahagia?”
“Asal ayah bisa jujur dan jadi diri sendiri yang ayah mau, ayah bahagia. Makanya, ayah lebih suka jadi seperti sekarang yang Miki lihat sekarang.”
Aku belajar lagi dari ayah. Bahagia tak harus jadi boss atau kaya seperti kata teman-teman di sekolah.
“Ayah, aku suka baca Atlas Dunia dan lihat foto-foto kejaiban dunia. Sepertinya seru kalau bisa kunjungi tempat-tempat itu.”
“Sudah putuskan cita-citamu? Jalan hidupmu?”
“Mungkin aku harus jadi pilot atau pelaut, Ayah.”
“Pilihan bagus, Miki. Ayo kita rayakan di Terminal Rasa.
Aku kaget. Ayah ajak aku tempat makan terkenal itu. Aku segera terpikir makanan enak disana. Ayah kembali ambil sepedanya.
“Ayo, Miki. Kita jarang makan enak khan?”
“Wah. Enak sekali,”kataku sambil berdiri lalu berjalan ambil sepedaku.
Aku tidak lupakan senja ini. Aku temukan jalanku. Kami bersepeda ke Terminal Rasa Klandasan. Ternyata ayah tidak langsung kesana. Tapi ayah ke toko buku. Kami masuk tokobuku itu. Ayah suruh aku pilih Atlas.
“Pilih yang bagus, Miki. Kau harus punya Atlas! Ayah tak bisa tunjukan padamu kemana kamu harus berjalan. Barangkali Atlas itu bisa jadi petunjukmu.”
Aku pilih satu. Yang paling bagus dan mahal. Ayah begitu ringan keluarkan uang demi Atlas yang terus buat aku bermimpi untuk jelajahi dunia. Aku senang sekali. Setelah itu kami ke Terminal Rasa. Setelah pesan nasi goreng. Kami buka atlas itu. Mulai dari halaman awal, peta Indonesia. Lalu kami cari pulau Kalimantan.
“Tunjukan mana Balikpapan.”
Setelah bersusah payah mencari, aku temukan juga Balikpapan yang letaknya di sisi utara Tanah Grogot, selatan Samarinda, juga di sisi barat Selat Makassar. Senang sekali. Setelah itu aku membuka peta Negara asia, afrika, Amerika, Australia dan Eropa. Jus alvokat dan Nasi Goreng kami pun datang.
Kami mulai santap nasi goreng kami. Nikmat sekali. Tentu saja aku terus memandangi halaman demi halaman secara berulang-ulang dan acak. Ayah hanya memanangiku.
“Miki, di Holland (Negeri Belanda), kamu bisa makan nasi goreng juga.”
“Bukannya disana negeri keju, Yah?”
“Memang, sebagian orang Belanda suka masakan Indonesia.”
“Sate sama krupuk juga ada, Yah?”
“Ada juga. Kata teman-teman kuliah ayah dulu yang suah kesana bilang gitu.”
“Kalau besok Miki bisa kesana, Miki mau pesan sate dan nasi goreng pakai krupuk.”
Kami tertawa. Aku baru sadar. Ini tanggal muda. Ayah dapat gaji dan bonus. Uang dari bonus itu dipakai buat makan dan beli atlas dan sisanya ditabung ayah. Gaji ayah, separuhnya untuk makan, bayar sewa rumah kami yang mungil, bayar sekolahku, beli buku bacaan atau untuk keperluan lain yang tidak banyak rasanya. Tidak banyak kami belanja. Sisa uang pasti ditabung ayah.
Setelah nasi goreng habis dan ayah membayar. Kami pulang. Sampai di rumah aku terlelap. Ayah menulis lagi. Aku tertidur bersama Atlas baruku.

Kompas
Pagi ini berangkat sekolah lagi. Sekolah jadi makin bersemangat. Aku tak lupa masukan Atlas baruku dalam bututku. Ayah juga pergi kerja. Sekolah berjalan seperti biasa. Jika ada waktu kosong, aku hanya buka Atlas-ku. Aku selalu membawanya. Seperti padri dengan kitab sucinya.
Aku teringat Alexander Agung yang ingin menguasai dunia. Dia sudah datangi banyak tempat. Mimpinya tinggi sekali. Dia selalu bawa Illiad yang berisi kehebatan Achilles yang mengalahkan Troya. Dia bawa dan baca buku itu. Ketika tidur, dia simpan Illiad pegangannya dibawah bantal. Dan, Atlas ini adalah peganganku. Atlas-ku
Illiad-ku
Aku semangat ke sekolah karena sepulang sekolah aku akan kelayapan seperti siang-siang yang lain. Aku jadi rajin kelayapan. Kemana saja. Jika hari terlalu panas, aku akan banyak beristirahat di bawah rimbunan pohon. Jika ketemu sungai, aku akan menceburkan diri. Air butek bukan masalah. Menyegarkan diri jauh lebih penting.
Sungai Bugis, di dekat Potongan Sapi adalah tempat favoritku. Sebelum berenang, aku akan mencoba menulis puisi. Sejak rajin kelayapan siang, aku lebih rajin menulis puisi. Itu bukan mudah. Ayah pernah bilang, menulis puisi itu sulit. Tak heran puisi jadi bahasa terindah. Aku sering gagal menulis puisi. Aku biasa kirim puisiku ke Bobo. Sial. Semuanya ditolak. Cerpenku lebih laku ternyata. Waktu SMA ayah juga pernah coba tulis puisi. Buruk semua, kata ayah. Akhir kuliah ayah betul-betul berhenti tulis puisi.
Ketika buntu menulis puisi aku akan ceburkan diri ke Sungai Bugis. Tak lama aku ceburkan diri, kerbau-kerbau orang Potongan Sapi pun ikut berendam di sungai. Jadilah aku sekolam dengan kerbau. Itu sering terjadi. Memalukan juga awalnya. Tapi, aku mulai terbiasa.
Siang ini, kerbau-kerbau belum datang. Aku sendirian. Kawan-kawan tidak ikut kemari seperti biasanya. Setelah berendam aku berjemur dengan melihat angkasa. Terpikir olehku kemana jalan pulang. Harus ke arah mana aku harus mengayuh sepeda nanti? Aku memang hafal jalan, tapi aku tidak tahu apakah aku harus ke utara, selatan, barat atau timur. Aku merasa harus beli kompas. Masih siang untuk kelayapan. Masih jam 2 siang.
Aku segera beranjak. Pakai baju sekolahku lagi dan bereskan tasku untuk pulang. Aku mengayuh kenceng sepedaku. Melintasi banyak bukit. Butuh waktu lebih dari 2,5 jam sampai rumah. Melelahkan juga sebelum akhirnya menemukan straat yang beraspal. Sore hampir habis waktu sampai rumah. Yang kutuju pertama kali adalah celengan-ku. Aku jarang bongkar celengan. Hanya waktu ingin beli sendiri komik atau buku bergambar lainnya.
Celengan ini sudah setahun lebih kuisi. Aku jarang jajan. Uang sangu dari ayah cukup bikin kenyang buat jajan di sekolah. Sering sisa. Sisa uang itu kumasukan celengan, karena ayah psti bakal kasih lagi.
Sekarang aku harus membongkarnya. Cukup sekali banter. Tarr. Celengan pecah berkeping-keping. Uangnya terlihat. Aku punguti satu persatu sambil kuhitung. Jumlahnya sepertinya cukup buat beli kompas. Setelah bereskan pecahannya aku kabur keluar. Badanku masih bau lumpur halus sungai. Dengan kecepatan penuh sepeda kupacu ke Klandasan. Menuju toko alat-alat pramuka.
Ternyata uang dari celengan bisa baut beli. Setelah tawar-menawar sedikit, aku dapatkan kompas itu. Aku bisa tahu mana utara mana selatan. Aku bisa ngalor-ngidul semauku sekarang.
Begitu keluar dari toko, hari sudah senja. Ayah lewat lagi.
“Miki darimana?”
Aku tunjukkan kompas yang kubeli pada ayah.
“Beli kompas ayah.”
“Penjelajahanmu sudah dimulai ternyata,”kata ayah sambil tertawa.
“Baru terpikir tadi, Ayah. Selama ini aku tidak pernah tahu dimana barat dimana timur.”
Ayah tersenyum dengar penjelasanku.
“Ayo kita pulang.”
Kami bersepeda susuri Klandasan. Lampu-lampu kota sudah menyala. Lampu di kota kami terang benderang tiap malam. Apalagi lampu di kilang. Kata orang, dari Penajam di malam hari, Balikpapan seperti Hongkong yang benderang. Kota kami ramai di malam hari. Tapi, aku tak tertarik keluar malam. Dengar piringan hitam atau radio yang putar lagu-lagu rock lebih menyenangkan.
Ini pertama kalinya aku bersepeda di malam hari. Beruntung lewati jalan utama kota Balikpapan. Jadi ada cahaya dari lampu kota. Kami bersepeda agak pelan. Ayah buka percakapan.
“Mau dipakai kemana itu kompas besok?” tanya ayah diikuti tawanya.
“Entahlah ayah. Ayah pernah punya kompas?”
“Pernah. Jaman waktu ayah masih pacaran,”jawab ayah sambil tertawa.
“Perempuan itu bawa kompas Ayah?”
“Ya. Mungkin dia pakai keliling dunia sama suaminya.”
Kami tertawa mendengarnya.
“Ayah simpan Peta Balikpapan tidak?”
“Ada. Nanti ayah carikan di kamar ayah.
Senang mendengar ayah punya. Kami akhirya sampai di rumah. Aku langsung pergi mandi. Badanku bau sungai Bugis. Untung ayah tak cerewet. Ayah tak pernah marah seperti orangtua lain kalau tahu anaknya berenang di sungai. Orangtua yang selalu takuti anaknya, “awas! Jangan berenang disana. Banyak buaya!” Kalau aku mau main ke sungai, ayah cuma bilang, “Hati-hati! Pulanglah dengan selamat sebelum malam.”
Selesai mandi, ayah lasung kasih lihat itu peta.
“Boleh dibawa mainan,Ya?”
Ayah terdiam sebentar seoah ragu.
“Bisa saja. Asal jangan sampai rusak! Ayah masih butuh itu peta.”
“Baik, ayah.
Malam itu aku tertidur lebih awal. Aku bersepeda jauh sekali siang sebelumnya. Ke Sungai Bugis yang jaraknya jauh sekali buat anak SD. Lalu pulang ke Stal Kuda. Lalu ke Klandasan. Lalu pulang lagi.
Esok harinya sepulang sekolah, aku mulai petualanganku. Aku tertarik dengan titik yang ditandai ayah. Aku datangi satu persatu tempat yang ditandai ayah. Ke Markoni, ada tank tua tinggalan perang dunia II. Ke Sumur Matilda yang jadi seperti monumen. Ke Perumahan Pasir Ridge. Ke Lapangan Merdeka. Dan akhirnya, Manggar. Setelah kudatangi tempat-tempat itu, aku bertanya pada ayah.
“Kenapa ayah bikin coretan di peta itu?”
Ayah tersenyum.
“Ayah sedang menulis sesuatu dengan teman-teman.”
“Soal apa, Ayah?”
“Rahasia buat Miki. Besok-besok deh ayah kasih tahu.“
Aku terima jawaban ayah yang bikin penasaran itu.
“Seru kan? Mainan kompasnya?”
“Seru, Yah. Gak rugi mecah celengan.”
Aku lalu keluarkan peta yang kupinjam pada ayah dari tasku..
“Ayah, maaf sudah mulai lecek?”
Ayah hanya kernyitkan dahi. Peta itu penting buat ayah. Aku sudah pasrah rela dimarahi. Ayah tarik nafas.
“Ya sudah.”
Aku bengong dan lega. Tapi bingung pun datang ke pikiranku.
“Kenapa ayah tidak marah?”
“Apa gunanya?”
“Kan itu peta sudah Miki bikin lecek.”
“Apa kalau ayah marah leceknya hilang?”
“Tidak ayah?”
“Mau tahu kenapa ayah tidak marah?”
“Iya.”
“Ayah capek jadi orang pemarah. Dulu ayah pemarah. Anarkis waktu kuliah. Tapi itu resiko jadi orang muda yang darahnya bergejolak. Semua orang muda biasanya dikuasai gejolak. Dikuasai rasa ingin mencoba.”
“Kenapa ayah berhenti?”
“Ayah capek. Tak ada yang peduli dengan kemarahan ayah.”
“Apa Miki akan jadi pemarah juga?”
“Mungkin. Tergantung dari apa yang Miki mau. Mau marah atau tidak?”
“Apa marah juga pilihan?”
“Kadang pilihan karena harus, tapi lebih sering paksaan atau lepas kendali.”
“Kata orang, marah itu tak baik, Ayah.”
“Ya. Melelahkan, Nak. Kemarahan akan membut kita bingung. Seperti penjelajah tanpa kompas yang tersesat.”
“Apa Miki mau jadi pemarah?”
Aku terdiam. Tak bisa menjawab pertanyaan ayah. Banyak hal di dunia ini yang bisa membuat kita marah.
“Kalau Miki mau jadi pemarah, ayah gagal jadi orang sabar.”
“Tidak, Ayah. Sabar lebih baik.”
Ayah tersenyum. Aku tahu ayah mungkin kesal tapi ayah coba redam kekesalannya. Ayah seperti berusaha mengertiku. Anak kecil diserahi barang pasti lecet, begitu mungkin pikiran ayah. Kami lalu berjalan ke meja makan kecil dekat dapur. Kami makan malam
“Ayah, ternyata tanpa kompas sulit sekali pakai peta.”
“Ya seperti hidup tanpa Petunjuk. Kita akan jadi orang tersesat dan gampang lepas kendali atas dirinya lalu marah-marah semaunya.”
“Hidup ternyata butuh ‘kompas’ juga, Ayah.”
“Ya. Agar kita tahu kemana kita berbuat.”
“Hidup seperti perjalanan.”
“Hidup memang perjalanan nyatanya.
Aku paham maksud ayah. Kompas yang kubeli kemarin dan selalu kubawa-bawa ternyata bisa mengingatkanku untuk selalu memiliki arah hidup di kemudian hari. Kompas ini megingatkanku untuk selalu punya arah dalam melakukan apa saja.

Green is the Colour
Tak ada yang halangi anak kecil sepertiku putar gelombang radio rock. Ayah tak pernah halangi. Ayah seperti bisa menikmatinya. Dari rambutnya, ayah setidaknya suka lagu rock. Ayah suka Pink Floyd sebenarnya. Tapi kalau ada aku di rumah, ayah akan ikut apa yag mau kuputar. Tapi kalau sendirian, ayah akan putar Pink Floyd. Lagu rock Pink Floyd kesukaan ayah nyaris takpernah di putar radio-radio kota kami. Mereka lebih suka Led Zeppelin, Rolling Stone, Beatles dan lainnya. Belakangan aku tahu kalau lagu itu yang biasa temani ayah mengetik.
Ayah punya koleksi Piringan Hitam Pink Floyd juga. Ayah punya album Dark Side of The Moon, Music From Film More, Obscured By Cloud s dan lainnya aku lupa. Tapi kadang ayah putar lagu Green is the Colour berulang-ulang entah kenapa. Anak kecil sepertiku tidak bisa merasakan musiknya. Ayah mungkin sudah lama hidup dan alami serunya masa muda jadi bisa enjoy dengan musiknya.
Malam itu, ayah terlihat lelah. Aku belum putar radio atau piringan hitam. Aku melihat ayah keluarkan album Music From Film More. Sudah kutebak, Green is the Colour lagi. Ayah begitu nikmati lagu itu sambil santai di kursi. Dan, aku pilih asyik dengan kompas baru. Kadang mataku melihat ayah yang menutup mata. Ayah tidak tidur tapi menikmati lagunya. Lagu Pink Floyd yang ini sebuah balada yang paing enak kudengar. Mengalun lembut.

Heavy hung the canopy of blue
Shade my eyes and I can see you
White is the light that shines through the dress that you wore
She lay in the shadow of a wave
Hazy were the visions of her playing
Sunline on her eyes but moonshine made her blind every time
Green is the colour of her kind
Quickness of the eye deceives the mind
Envy is the bond between the hopeful and the damned

Ketika lagu habis. Ayah bangkit dari kursi. Dari kamarnya, yang tak pernah kumasuki. Selain karena terkunci aku juga segan. Kamar ayah itu ruang pribadi ayah. Ayah juga segan masuk kamarku. Bagi ayah itu kamar adalah Negara. Kami sudah saling menghargai itu sejak lama. Tidak akan melanggar daerah terlarang masing-masing. Hanya ruang tengah, kamar madi dan dapur saja yang jadi wilayah bebas.
Tak lama ayah pun keluar. Bersama gitar tuanya. Sebuah gitar listrik tua. Aku melihatnya dengan takjub. Aku tak pernah tahu ayah punya gitar itu. meski sudah tua gitar itu masih bagus. Warna hitam, Gibson Les Paul mereknya.
Ayah mulai memetik. Aku lalu tergerak mendekati ayah. Ayah menyanyikan lagu Green is the Colour. Suara ayah tak merdu sama sekali. Aku hanya tertarik dengan suara gitarnya. Kompas baru dan Atlas lupa sejenak. Ayah yang kudekati pun buka cerita.
“Ini ayah beli di toko barang bekas di Jogja. Waktu ayah balik dari Sumatra.”
“Bagus, ayah.”
“Miki mau main?”
“Miki tidak tau kunci-kuncinya.”
Ayah tersenyum dan ajarkan beberapa kunci dasar. G-C-F-D-A-E-B. Aku mengamati jari-jari ayah yang menunjukannya berulang-ulang. Ayah lalu memberikanku gitar itu.
“Itu dulu. Yang lain bisa nyusul.”
Aku lalu coba mulai memetik. Ayah ke meja menulisnya. Singgasananya yang sering kuganggu. Aku meihat tumpukna kertas yang menurutnya masih utuh.
“Miki tidak ngetik minggu ini?”
“Tidak ada bahan, ayah,” jawabku sambil asyik dengan gitar listrik ayah.
Aku mencoba semua kunci-kunci dari ayah. Dimulai dengan banyak salah. Ayah lalu berikan diagram kord lagu dari majalah musik yang sudah kusam tapi masih jelas terlihat. Aku mengulangnya terus menerus. Setelah bosan aku tanya kunci lagu yang tadi dimainkan ayah.
“Ayah lagu tadi apa kuncinya?”
“G-C-G-D,”jawab Ayah sambil bersiap mengetik lagi.
Aku mulai mencobanya. Dengan lirik asal-asalan. Ayah lalu berikan catatan dari buku hariannya.
“Ini liriknya. Mainkan dengan rasa. Nanti ketemu kuncinya.”
Semalaman sampai terlelap aku mencoba pelajari lagu itu dengan gitar. Ayah malang sekali malam itu, mengetik diiringi suara dan petikan gitarku yang kacau. Jari ayah tak secepat biasanya. Lebih banyak melirik ke arahku.
Esoknya, aku pergi sekolah lagi. Begitu membosankan kehidupan anak SD kalau pagi di hari-hari sekolah. Mandi, gosok gigi lalu berangkat sekolah. Tidak boleh telat pula. Aku alam itu juga.
Pulang sekolah aku coba lagi belajar gitar. Dengan lagu yang sama. Kalau lupa lagunya aku putar piringan hitam ayah lagi. Lalu menirukan suara David Gilmour bernyanyi. Butuh waktu berminggu-minggu belajar nyanyikan lagu itu. Green is the Colour gubahan Roger Waters itu jadi laguku tiap hari. Aku tak paham apa maksud lagu itu, tapi lagu itu selalu memberiku semangat.
Pelan-pelan aku makin suka lagu itu. Ayah meracuniku dengan lagu ini. Aku tidak lagi menyanyikannya dimana saja. Dengan atau tanpa gitar. Ketika mengayuh sepeda. Sial.
Ayah kadang pergi keluar bawa gitar kalau libur mengetik sekarang. Ayah sudah jarang mengetik. Aku tak tahu kemana ayah pergi bawa gitar listriknya. Aku hanya menebak mungkin sedang latihan musik. Aku tak banyak bertanya.
Aku jadi makin semangat belajar gitar. Bukan untuk jadi gitaris hebat. Hanya ingin bisa seperti ayah yang suka musik saja. Pelan-pelan aku pun sudah akrab dengan gitar ayah. Aku mulai bisa memainkan lagu Pink Floyd lain. Bukan cuma Green is the Colour. Tapi juga Wots uh deal dan Wish You Were Here. Tapi hanya tiga lagu saja. Lagu-lagu Pink Floyd susah-susah buat anak kecil seumuranku. yang paling kusuka tetap Green is the Colour.
Suatu hari, ayah ajak aku ke sebuah acara. Kami bersepeda seperti biasa. Ayah membawa Gibson Les Paul kebanggannya. Rupanya ada sebuah panggung hiburan juga. Ada drum, juga gitar bass, juga gitar listrik lainnya. Tidak banyak yang datang. Hanya sebuah pesta perpisahan teman ayah. Hanya teman-teman ayah.
Giliran ayah untuk bermain pun tiba. Ayah memasang gitarya dan siap beraksi. Aku senang sekali. Ayah pasti nyanyikan Green is the Colours. Lagu pertama lagu Indonesia. Lagu selanjutnya juga begitu. Aku menunggu ayah nyanyikan lagu ituTapi rasanya tidak mungkin, yang nyanyi bukan ayah.
Kemudian, band ayah nyanyikan lagu Inggris, lagunya Bee Gees katanya. Disusul lagunya Beatles. Tapi tak satu pun lagu Pink Floyd yang mereka mainkan. Tapi rasanya tidak mungkin, mereka mainkan itu lagu. yang nyanyi bukan ayah.Ayah hanya mainkan gitar untuk mengiringi.
Aku mulai kecewa dan berusaha untuk terima kenyataan. Marah karena ayah tak mainkan lagu kesukaannya sendiri adalah hal bodoh. Tak ada alasan untuk itu. Lagu selesai. Aku tak jadi berharap lagi. Tapi ayah masih bertahan di panggung. Aku melihat ayah mendekati mikropon.
“Ini lagu buat Walmiki. Yang selalu menyanyikannya dimana saja. Di sepeda, di sekolah dan juga di kamar mandi.”
Semua yang mendengar tertawa. Kawan-kawan yang mengenal ayah segera melihat ke arahku sambil tersenyum. Di atas panggung kawan ayah yang sepertinya jago main drum naik panggung lagi. Disusul pemain bas mereka yang kidal, seperti Paul McCourtney basisnya Beatles.
“OK. Green is the Colour.”
Semua orang tampak penasaran sama lagu itu. Mereka tak tahu. Orang Balikpapan tak mengerti Pink Floyd. Bukan masalah kalau itu bukan idola mereka yang penting aku suka. Ayah mulai memetik kunci G dilanjutkan kunci-kunci lain. Dan mulailah ayah bernyanyi.

Heavy hung the canopy of blue
Shade my eyes and I can see you
White is the light that shines through the dress that you wore
She lay in the shadow of a wave
Hazy were the visions of her playing
Sunline on her eyes but moonshine made her blind every time
Green is the colour of her kind
Quickness of the eye deceives the mind
Envy is the bond between the hopeful and the damned

Aku hanya melihat ayah sepanjang Green is the Colour mengalun. Bagiku ayah begitu keren. Meski suara ayah pas-pasan sekali. Tak mirip David Gilmour. Tapi ayah keren. Meski orang-orang merasa asing dengan lagu balada itu, tapi mereka tak begitu mempermasalahkan lagu itu.
Mereka cukup senang mendengarnya meski tak antusias. Mereka tak tahu Pink Floyd tak apalah. Aksi Ayah begitu hayati lagu itu. Dari petikan gitarnya juga menyanyikanya. Ayah keren. Ayah nyanyikan lagu kesukaanku. Sebagian orang memperhatikanku juga. Di akhir lagu, salah satu mereka angkat bicara.
“Ayahmu keren. Dia nyanyikan lagu favorit anaknya. Kami tak belum tentu bisa melakukanya, Nak.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Selesai lagu semua tepuk tangan. Aku juga tepuk tangan sambil berdiri. Juga memberikan senyum pada ayah yang turun panggung. Sekali lagi ayah membuatku bangga. Entah untuk yang keberapa kalinya.

Tentukan Jalanmu!
Tak terasa, ujian akhir tak lama lagi. Sekitar tiga bulan lagi. Kami diingatkan untuk lebih giat belajar di sekolah. Aku mulai jarang kelayapan. Lebih banyak di sekolah dan di rumah lagi. Aku jarang kelayapan siang bolong lagi. Sekarang, ayah makin sering lembur. Ayah pulang lebih telat dari biasanya. Hampir setiap hari kerja. Jika libur, ayah juga tidak di rumah, setelahnya ayah akan mengetik dari bisanya. Begitulah tiga bulan terakhir.
Sekolah adakan pelajaran tambahan. Mereka seperti tidak percaya kalau kami belajar sendiri. Jam tambahan itu siksaan. Tak ada waktu bermain lagi. Aku juga jadi rajin pulang sore. Pulang sekolah, aku duduk di Melawai. Sekedar baca buku atau menulis puisi.
Akhir bulan kemarin, tak disangka. Puisi yang kukirim ke Sayembara Puisi tingkat SD di Jakarta ternyata lolos. Aku akan terima hadiah minggu depan. Anehnya, sebuah surat undangan dan formulir dari SMP berasrama di Malang datang untukku. Aku harus tanya ayah dulu.
Senja belum muncul. Matahari masih terlihat. Ketika aku melihat ke arah Pelabuhan, ayah muncul lagi. Dari kejauhan aku melihat ayah terbatuk-batuk. Ketika semakin dekat, ayah tersenyum. Aku cegat sepeda ayah. Wajah ayah semakin jelas. Aku baru sadar, wajah ayah selalu terlihat lelah beberapa hari terakhir. Mungkin ayah alami pekerjaan-pekerjaan melelahkan.
“Ayah. Ada berita penting.”
“Apa itu? Miki buat masalah di sekolah?”tanya ayah sambil tersenyum.
“Bukan itu ayah,”jawabku sambil tunjukkan surat yang kuterima.
“Apa itu?” Ayah nampak penasaran. Dan membuka surat undangan sekolah beserta formulir itu.
“Kamu mujur sekali, Miki. Di jaman ayah tak ada seperti. Tak ada yang peduli pada anak yang suka menulis. Mereka suka karyamu.”
“Apa ayah setuju?”
“Miki sendiri mau sekolah di sana?”
“Lantas ayah bagaimana? Miki bakal jauh dari ayah. Miki kan masih SD ayah?”
“Bukan perkara Miki sekecil apa yang jadi masalah. Tapi seberapa keras kemauan Miki.”
“Tapi kita akan berpisah Ayah. Ayah bakal sendirian.”
Aku terdiam. Bingung untuk bocah sekecil aku untuk memilih. Aku sebenarnya merasa nyaman bersama Ayah. Tak masalah jika tidak sekolah disitu. Tapi sekolah itu sangat bagus dan gratis pula.
Ayah lalu ajak aku duduk di atas pasir.
“Itu sekolah bagus, Miki. Pikirkan. Kalau ayah lepas Miki pergi jauh itu bukan karena Ayah tidak sayang dan Ayah ingin lepas tanggungjawab sama Miki. Ini kesempatan bagus buat Miki. Buat masa depan Miki.”
“Ayah tahu tentang sekolah itu?”
“Ya. Ayah tahu sekolah itu. Ada teman ayah disana. Dia guru. Mungkin itu alasan ayah berani lepas Miki disana. Bukan masalah kalau ayah nanti sendirian di rumah.”
Kami bahas masalah itu tanpa emosi. Ayah berpikir jernih dan aku berusaha tidak egois dengan kemauan yang kekanak-kanakan. Aku tak sempat bermanja. Meski ayah selalu berusaha turuti apa yang aku mau.
“Miki tahu, di dunia ini ada anak yang harus tinggalkan rumah orangtuanya untuk mengejar mimpinya. Kalau Miki punya mimpi kunjungi banyak negeri yang jauh, Miki akan lakukan itu cepat atau lambat.”
“Biasanya mereka pergi sehabis SMA. Entahlah. Miki merasa terlalu kecil. Biarpun Miki bisa cuci pakaian dan masak sendiri.”
Ayah tersenyum.
“Miki tahu kenapa ayah tak malas cuci pakaian Miki? Ayah juga gak mau masalahkan pakaian Miki yang pudar warnanya atau tidak rapi”
“Biar Miki cuci sendiri.”
“Kenapa Miki sering ayah ajak masak makanan yang tidak enak di dapur?”
“Biar Miki bisa makan sendiri walau rasanya gak enak.”
“Itu semua biar Miki bisa melakukannya sendiri. Ayah kaget waktu Miki belajar nulis sendiri. Miki ternyata bisa bekerja keras. Hidup ini keras, jadi kita harus bekerja keras. Sejak Miki menulis, Ayah jadi makin percaya sama Miki. ”
Aku diam lagi. Hanya karena menulis cerpen dan puisikah? Lalu ayah begitu percaya pada bocah kecil sepertiku. Bocah yang nilai raport-nya pas-pasan. Yang kebetulan tiap tahun naik kelas.
“Apa menulis itu penting Ayah?”
Ayah tersenyum dengan pertanyaanku.
“Ayah menunggu pertanyaan ini dari kamu. Ayah akan jawab, Penting Sekali. Kenapa penting sekali? Karena jika ada orang yang menjatuhkanmu, kamu bisa bisa membela dirimu dengan cara terhormat. Lewat tulisan, Miki! Bukan dengan pukulan!”
Aku hanya mendengar ucapan ayah yang paling bersemangat itu. Ayah tak pernah bersemangat seperti ini. Ayah menepuk pundakku. Ayah melanjutkan.
“Miki pernah dengar Bung Hatta?”
“Pernah, Ayah. Apa Bung Hatta menulis juga? Yang Miki tahu dia Proklamator dan Wakil Presiden pertama saja.”
“Suatu kali Bung Hatta dan teman-teman-nya bakal dipenjara lama sekali. Tapi, waktu dalam di sel tahanan, Bung Hatta menulis pembelaan dirinya, Indonesia Merdeka. Waktu disidang, Hatta bacakan tulisannya. Orang-orang Belanda malah simpati. Dari tulisan Hatta, orang-orang termasuk Hakim tergugah, Hatta ternyata tidak bersalah. Hatta lalu dibebaskan. Setelah itu Hatta makin terkenal lagi.”
“Hebat juga, Ayah. Miki baru tahu kalau menulis itu bikin kita bisa hipnotis orang.”
Ayah tertawa mendengarnya.
“Ya. Hitler juga gitu. Tulisan Hitler yang Mein Kampft, yang artinya perjuanganku, malah bisa bikin Jerman yang semula negaranya hancur berubah jadi Negara yang paling ditakuti.”
“Wah. Tulisan bisa merubah dunia. Keren sekali, Ayah.”
Kami berdua tertawa.
“Miki belum bisa putuskan sekarang.”
“Ayah hanya kasih ijin kalau Miki mau saja.”
“Terimakasih, Ayah.”
“Ayo kita pulang, Miki. Sudah senja.”
Kami ambil sepeda kami. Waktu aku ambil sepeda ayah batuk lagi. Di jalan juga ayah batuk lagi. Aku langsung bersepeda di samping ayah.
“Ayah sudah ke dokter.”
“Iya, Miki. Mungkin besok. Lusa juga sudah reda kok batuknya.”
Aku puas dengar penjelasan Ayah. Sampai rumah kami langsung makan dan istirahat. Ayah masih diserang batuk.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk mengirim kembali formulir dari Malang itu. Tak ada masalah yang kurisaukan lagi kalau aku kuliah disana. Mungkin aku bisa ringankan beban ayah. Agar ayah tidak sering lembur lagi karena sekolah dan makanku nanti gratis. Aku segera minta tandatangan ayah. Ayah menandatanganinya sambil terbatuk-batuk.
“Miki sudah putuskan jalan Miki?”
“Iya, Ayah. Mungkin ini jalan keliling dunia.”
“Semua berawal dari mimpi, Nak.”
“Ya. Darisana mungkin Miki bisa masuk ke sekolah pilot atau kursus pelaut.”
“Selamat datang di dunia Anak Muda!”canda ayah dan kami tertawa pagi itu.
Kami keluar rumah bersama. Ayah batuk-batuk lagi. Ayah langsung lari ke kamar mandi. Dan kembali lagi setelah batuknya reda. Dan kami kembali bersepeda.
Setelah minta tandatangan Ayah sebagai tanda setuju dari orangtua, aku kirim kembali itu formulir lewat pos. Dua minggu kemudian aku terima kabar gembira. Aku diterima. Aku senang. Tapi juga sedih karena berpisah dengan ayah.
Setelah minggu-minggu berlalu, ternyata batuk ayah tak pernah reda. Justru semakin menjadi. Aku hanya percaya batuk ayah akan sembuh karena ayah akan ke dokter. Aku percaya pada ayah karena ayah orang yang bisa kupercaya dan sering melakukan yang terbaik. Aku kira dia tidak akan batuk lagi. Aku mengenal ayah sebagai orang yang tak pernah berbohong padaku.
Setiap melihat ayah batuk, aku memperhatikan tubuh ayah yang semakin kurus saja. Aku berpikir, mungkin ayah kurang makan. Wajah ayah juga agak terlihat lelah. Mungkin karena ayah kurang istirahat. Aku memang melihat ayah kurang istirahat. Pulang kerja ayah menulis lagi. Senyuman ayah mungkin menipuku. Hingga aku selalu melihat ayah sebagai orang yang selalu kuat dan siap hadapi apa saja.

Spirit Carries On
Tak terasa waktu cepat berlalu. Aku sudah lewati 4 hari ujian akhir SD di sekolahku. Semua berjalan mulus. Meski bukan anak pandai di kelas, aku bisa jawab semua soal-soal ujian. Tanpa banyak masalah. Mulai Matematika; IPA, Bahasa Inggris; Bahasa Indonesia dan lainnya. Tinggal IPS saja yang belum. Itu pelajaran diujikan di hari terakhir.
Aku baru saja bersiap hadapi ujian itu. Jam 10.00 nanti. Sekarang masih 09.15. Dari kejauhan seseorang berseragam kerja mirip ayah datang ke sekolah. Nafasnya tersengal-sengal ketika memasuki sekolah. Orang itu lalu mendatangi seorang guru kami. Aku hanya melhat dari kejauhan. Guru tadi langsung menghampiriku. Wajahnya tampak penuh cemas ketika memandangku.
“Ikuti orang itu Miki. Ayahmu di rumah sakit, Nak.”
Dengar kata guru itu, aku langsung berlari ke rumah sakit. Orang yang seharusnya mengantarku kutinggalkan. Dia pasti sudah kehabisan nafas dan sulit mengejarku. Aku tak peduli. Bayangan buruk soal ayah bersemayam dalam pikiranku. Hingga aku terus berlari memasuki gerbang rumah sakit yang tak jauh dari sekolahku.
Depan gerbang rumahsakit, aku berjalan pelan. Mataku mencari ayah yang entah di ruangan mana. Aku segera masuki rumah sakit. Petugas tampaknya tak akan peduli pada anak kecil sepertiku. Dimana-mana anak kecil tidak penting bagi orang dewasa. Jadi, aku tak akan bertanya dimana ayah pada mereka. Aku tidak mau percaya pada orang dewasa. Hidup mereka sudah dilingkupi kebohongan. Banyak orang dewasa suka bohongi anak kecil.
Aku putuskan langsung masuk dan berlari mencari ayah di semua bangsal. Satu persatu ruangan kumasuki. Kamar pasien, kamar mayat, ruang rontgen, ruang bersalin, dan juga kamar mayat kumasuki. Tak ada ayah. Lalu sampailah aku di ruang gawat darurat. Aku melihat majah ayah dipenuhi luka.
“Ayah!!!!”teriakku.
Aku menangis melihat luka ayah yang banyak. Aku mendekati ayah. Ayah melihatku. Ayah mungkin bersandiwara menutupi kesakitannya padaku. Ayah tetap tersenyum.
“Miki,”suara ayah tampak lemah.
Ini pertama kalinya aku mendengar lemahnya suara ayah. Aku bisa bayangkan derita ayah pagi ini. Lukanya terlihat parah sekali. Ayah lalu batuk berat. Darah keluar dari mulutnya. Aku jadi semakin ngeri.
“Ayah!”
Mendekat padanya dan memeluknya. Ayah sepertinya makin lemah karena lukanya. Dokter-dokter sedang bersiap menolongnya.
“Miki. Jangan sedih, Nak.”
“Ayah akan sembuh khan? Ayah pasti pulang.”
“Ya. Miki. Berdoalah.”
Ayah rupanya merasa semakin lemah. Ayah berusaha bersikap tegar. Ayah terbiasa hadapi kemalangan. Terluka hal biasa. Waktu ayah jadi tukang demo ayah sering terluka dipukuli. Tapi kali ini luka ayah lebih berat. Aku tak kuat membayangkan sakitnya ayah saat ini.
“Miki, janjilah pada ayah, Nak?”
“Iya. Ayah.”
“Jadilah Walmiki yang tak pernah menyerah untuk jujur dan mengejar mimpi?”
“Miki janji, Ayah.”
“Miki mau khan keliling dunia, seperti Miki cita-citakan.”
“Mau, Ayah.”
“Lakukan demi ayah, Nak. Jangan pernah takut. Miki tak pernah sendiri.”
“Iya, Ayah.”
“Maafin Ayah. Ayah tak bisa beri banyak buat Miki. Sekarang, Miki kembali ke sekolah ya. Jalani ujianmu, Nak! Jalani hidup yang kamu pilih dengan senyuman.”
Aku hanya diam mengangguk. Suara ayah makin melemah. Ayah masih terus tersenyum. Ayah akhirnya tak sadarkan diri. Ini pertama kalinya aku melihat ayah begitu menderita. Hebatnya, alam deritanya ayah tak ingin berbagi sedikit pun padaku. Ayah hanya mau berbagi senyum dan hal menarik apasaja.
Perawat kalang-kabut lihat ayah. Dokter akhirnya muncul. Aku lalu dibawa keluar ruang. Aku tak tahu apa yang mereka lakukan pada ayah. Aku pilih turuti kata Ayah.
Aneh juga. Aku begitu sedih dan ingin menangis sebenarnya. Tapi, entah kenapa aku masih jerih berpikir untuk kembali ke sekolah. Aku pelan berjalan sendirian. Aku tak sadar bercak darah menempel di baju sekolahku. Itu darah ayah.
Pukul 10.00 tepat, aku masih beberapa meter dari gerbang sekolah. Aku berjalan pelan-pelan. Langsung menuju tempat ujianku. Kau telat 5 menit, waktu masuk jam dinding menunjuk 10.05 pagi. Kertas-kertas soal dan lembar jawaban sudah dibagi pada murid-murid yang ada di kelas. Aku hampiri meja pengawas.
“Maaf terlambat, aku mau ujian sekarang seperti yang lain?”
“Duduklah!”perintah pengawas sambil memberikanku kertas soal dan lembar jawabannya.
Aku masih bisa kerjakan soal-soal ujian. Meski masih terpikir derita ayah di rumah sakit tadi. Ayah selalu membayangi. Aku jadi ingat senyuman ayah. Ingat tawa ayah. Aku sedih. Rupanya, ingatanku pada yang sedang kritis tak begitu membuatku terganggu. Ayah sedang hadapi ujian hidupnya. Dan, seperti pesan ayah, aku harus hadapi ujianku. Aku harus selesaikan! Apapun yang terjadi. Ini pesan ayah.
Soal-soal IPS ini seolah mampu meredam sebagian sedihku karena soal-soal ini juga menyita pikiranku. Tak terasa aku menyelesaikan ujianku tanpa kesulitan seperti yang kuperkirakan. Aku sudah menjawab 50 butir soal pilihan ganda dalam waktu satu jam. Tepat 11.05 aku selesaikan ujianku.
Aku angkat tangan. Dan pengawas bertanya:
“Ada apa, Nak?”
“Sudah selesai, Bu. Saya boleh keluar?”
Petugas itu mengangguk tak mampu berkata. Dia seperti mengerti apa yang aku alami. Aku keluar perlahan tanpa buat gaduh sedikitpun pada kawan-kawanku yang sibuk dengan soal ujiannya. Guru pengawas memandangiku dengan wajah sedih.
“Sabar ya, Miki”
Aku hanya mengangguk dan perlahan menghilang dari kelas. Aku ke rumah sakit lagi. Pikiranku sekarang ke Ayah. Aku ingin melihatnya. Meski aku tak tega lihat derita ayah, tapi aku harus datang padanya.
Semua ujian akhirku selesai. Aku kerjakan semuanya dengan kejujuranku, seperti cita-cita ayah. Aku tak peduli hasilnya. Lulus tak lulus bukan masalah. Kejujuran dan kerjakeras lebih ayah banggakan ketimbang hasilnya.
Aku sampai rumah sakit lagi. Ke tempat ayah tadi. Di luar kamar ada beberapa kawan ayah. Pintu kamar tertutup. Kami tak boleh masuk. Aku pun tak mau ganggu apapun. Mereka lalu mengajakku duduk. Mereka mengelus rambutku yang sedang mengembang karena kering.
“Mirip Ayahmu,”kata salah satu dari mereka.
“Ayah masih di dalam?”
“Iya. Ayah sudah ‘dijemput,’Miki. Sabar ya,”jawab kawan ayah yang lain.
Tak terasa air mata menetes. Sebagai anak kecil aku tak kuasa terima kenyataan itu. Aku kehilangan ayah, senyumannya dan juga semangatnya yang selalu membuat hidupku nyaman tiap hari. Salah satu kawan ayah lalu merangkulku.
Pintu terbuka. Kereta keluar. Aku lalu bangkit menuju kereta. Tak seorangpun hentikan aku.
“Boleh aku lihat dia. Sebentar saja. Untuk terakhir kali, Suster?”
Suster menuruti. Aku lalu membuka kain putih yang menutupi. Aku memandang wajah ayah. Wajah ayah pucat. Raut-raut wajah menunjukan ayah pergi dalam senyuman. Aku lalu mencium kening Ayah. Tak lupa ucap kalimat terakhir.
“Ayah masih hidup dalam hatiku. Selamat jalan, Ayah.”
Setelah menutup wajah ayah lagi, suster lalu mendorong kereta ke kamar mayat. Aku berjalan lagi ke kawan-kawan ayah yang sedang berunding. Entah apa yang mereka rundingkan. Salah satu dari mereka lalu antar aku pulang dengan mobil. Tak lupa ambil sepedaku di sekolah.
Aku berdiam diri di mobil. Semua orang mengerti. Aku hanya teringat ayah saja. Terlintas lagi kenangan-kenangan bersama Ayah. Sampai rumah aku turun pelan-pelan dari mobil. Kawan ayah harus repot urus aku karena rasa setiakawannya pada Ayah. Setelah dia taruh sepedaku dia menghilang. Banyak hal yang harus diurusnya.
Aku masuki rumah mungil yang aku tinggali bersama ayah selama bertahun-tahun. Satu persatu isi rumah kulihat. Aku merasa tergerak masuki kamar ayah yang sebelumnya tak berani kumasuki. Tak ada yang luar biasa. Hanya ada kasur, lemari kecil berisi pakaian, dan buku harian diatas kasur ayah. Tanganku pun memungut buku catatan harian ayah itu.
Bersama buku harian itu aku keluar kamar. Aku jadi ingin tahu lebih banyak tentang ayah dari buku harian itu. Aku lalu memandangi koleksi piringan hitam ayah. Kuambil album Music From Film More. Kulihat lagu Pink Floyd, Crying Song. Lagu ini kuputar itu untuk kesedihanku. Lalu lagu Green is the Colour untuk menghormati ayah. Lagu ini meyakinkanku. Ada semangat ayah yang masih ada dalam diriku.
Aku lalu carai semua koleksi Pink Floyd yang ayah punya. Setelah itu aku putar semua satu persatu. Dan seharian hingga aku terlelap Pink Floyd mengalun di rumah mungilku. Tak hanya di hari kematian dan hari pemakaman ayah saja. Seminggu berturut-turut lagu yang kuputar tiap hari adalah lagu Pink Floyd yang ayah koleksi. Selama semingguan, kecuali menghadiri pemakaman ayah, aku tak keluar rumah. Hanya mendengar Pink Floyd.
Tepat hari ke tujuh, tepat ketika lagu dari piringan hitam habis, dari luar terdengar lagu dari radio tetangga. Sebuah lagu rock mengema di telingaku.
“If I die tomorrow, I’ll be alright because I believe. What you have gone, spirit carries on.”
Lagu itu membuatku yakin. Ayah boleh pergi selama-lama dari hidup ini tapi semangat ayah tetap ada. Belakangan aku tahu itu lagu dari Dreamtheater. Aku sering memutarnya juga ketika aku tak lagi di Balikpapan. Spirit Carries On.

Sebuah Buku Harian
Setelah pemakaman ayah. Aku tak berlama-lama di makam ayah. Aku tahu itu bakal repotkan kawan-kawan ayah yang mengantarku. Aku tak mau bikin mereka jadi repot. Mereka juga sedih kehilangan kawan seperti ayah.
Aku langsung pulang saja dan menyendiri. Tak selalu sendiri. Kadang kawan-kawan ayah datang bawa makanan agar aku tak kelaparan. Diantara mereka juga ajak aku tinggal di rumah mereka. Tapi aku lebih ingin aku di rumah ini saja. Mereka mengerti. Tak lupa mereka berpesan.
“Mainlah ke rumah ya kalau bosan sendiri.”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum atas kebaikan mereka. Melihat aku tersenyum mereka akan berkomentar atas semnyumku.
“Senyummu mirip ayahmu, Nak.”
Mereka yakinkan aku lagi. Ayah masih ada dalam diriku. Aku tak ada alasan untuk sedih lagi karenanya.
Begitu rumah sepi, aku langsung lagu diputar Pink Floyd lagi. Untuk mengenang ayahku yag keren. Dan kursi tempat ayah biasa bermalas-malasan kalau pulang kerja jadi singgasanaku.
Aku berbaring dan mulai buka catatan ayah. Foto-foto tua terselip disana. Aa empat foto. Aku temukan foto ayah menggendong bayi sambil tersenyum. Wajah ayah tak banyak berubah. Di balik foto tertulis, “Aku dan darah dagingku, Walmiki.”
Foto kedua, ayah merangkul seorang perempuan. Manis sekali. Lesung pipitnya aku yakin bikin ayah jatuh cinta padanya. Aku lihat halaman belakangnya. Ada tulisan juga. “Di Makassar, bersama Ladya matahariku.”
Aku baru tahu, nama Ibuku Ladya. Ayah mungkin akan menceritakan padaku jika bertanya. Atau memberitahuku pada suatu hari.
Foto ketiga seorang perempuan menyusui aku yang masih bayi. Wajah wanita itu mirip perempuan di foto kedua tadi. Aku lihat sisi belakag fotonya, “Ladya dan Walmiki. Kini hidupku untuk kalian berdua.”
Aku terenyuh membacanya. Ayah sudah buktikan kalimat terakhir. Ayah selama ini menjagaku dan selalu membuatku nyaman.
Foto keempat foto kami bertiga. Kepala ayah menempel kepala Ibu. Mereka tersenyum menggendongku bersama. Aku bayangkan ayah memncium kening ibu sebelum atau sesudah foto ini diambil. Aku lihat di belakangnya. “Kami bertiga dalam bahagia. Sayang tak lama. Leukimia merenggut Ladya.”
Aku paham kenapa ayah tak pernah bicara soal Ibu dari kemarin-kemarin padaku. Mungkin aku akan menangis. Tentu ayah tak mau berbohong dengan bilang Ibumu sedang di pergi besok Ibu pulang agar aku tidak menangis. Ayah tak mau ajarkan aku berbohong dengan menyimpan rapat rahasia itu. Ayah ingin ajarkan aku jujur dengan sebisa mungkin tak mau berbohong padaku soal apapun.
Selanjutnya aku membaca satu persatu buk harian itu. Tulisan tangan ayah tak begitu bagus tapi aku bisa membacanya. Aku baru tahu kalau ayah pernah ke Papua, Padang, Nias dan banyak tempat jauh yang lain. Di halaman berikutnya ayah menulis Ibu:
“Ya Tuhan, dia begitu mempesona. Baik hati. Dia rela menolong siapa saja. Masakannya juga enak. Aku selalu merindukan sambal buatannya. Ya Tuhan, kenapa kau ciptakan dia?”
Di bagian lain ayah menulis:
“Setelah pengejaran panjang dan berulang kali jatuh bangun, Ladya perlahan luluh. Langit seakan runtuh saja.”
Aku tersenyum membacanya. Mendapatkan hati Ibu tak mudah. Ayah pasti begitu sayang pada Ibu. Seperti Ayah sayang padaku.
Di halaman lain ada guntingan artikel yang diselipkan Ayah. Astaga! Dari majalah Bobo. Dua cerpenku yang dimuat mereka. Kutemukan Ayah menulis lagi:
“Aku tak mau ikuti jejakku. Aku hanya ingin dia lakukan apa yang dia mau. Yang terjadi, dia menulis cerpen diam-diam. Aku benar-benar bangga. Mungkin ada darah penulis mengalir padanya. Itu cukup melegakan setelah ini aku benar-benar biarkan Walmiki memilih jalannya.”
Aku tersenyum membacanya. Seakan aku tidak sedang berduka. Aku lalu bangkit keluar rumah. Hari ternyata sudah sore. Kuambil sepedaku yang bersanding disebelah sepeda ayah yang sedikit rusak karena tabrakan yang menewaskan ayah minggu lalu. Aku keluar rumah setelah seminggu tak keluar rumah dan mendengarkan Pink Floyd.
Matahari masih bersinar cerah.
Setelah memasukan buku harian ayah ke tas, lalu mengayuh sepedaku ke susuri Klandasan. Sore masih begitu indah. Aku terus melaju sampai ke Melawai yang sepi. Sampai Melawai,matahari mulai tenggelam.
Aku tak sadar sebuah mobil mengikutiku. Begitu aku berhenti mobil itu juga ikut berhenti. Aku tak peduli. Seorang wanita seumuran ayah keluar dari mobil. Wanita itu menghampiriku.
“Walmiki?”
“Iya, Tante.”
“Saya Theresa. Saya turut berduka cita soal ayah. Saya kenal ayah dan ibu kamu. Waktu kamu dilahirkan saya juga lihat.”
“Terimakasih, Tante.”
Aku hanya tersenyum seperti ayah biasa tersenyum padaku. Dan, aku ingin tersenyum pada dunia seperti ayah.
“Miki, ayah sudah surati Tante bulan kemarin kalau Miki mau sekolah di Malang, tempat Tante mengajar. Tante sekalian mau jemput Miki. Besok siang kita berangkat. Tante sudah beli tiketnya. Pihak sekolah janji kirim Ijazah Miki kalau keluar minggu depan. Buat sementara rumah dan isinya ditinggal dulu. Akta rumah yang atas nama Miki itu biar kita bawa.”
Mengejutkan lagi. Rumah yang dulu kami sewa sudah dibeli ayah. Atas nama aku pula. Aku selalu mengejutkanku. Bahkan setelah kepergiannya.
“Iya,Tante terimakasih.”
“ Besok siang tante jemput di rumah. Miki, sekarang Tante pergi dulu ya? Tante ada urusan dulu. Jangan lupa ya? Kemas-kemas besok berangkat.”
“Iya, Tante. Terimakasih. Miki nanti siap-siap.”
Tante Theresa lalu menghilang bersama mobil pinjamannya. Aku habiskan sore meneruskan membaca buku harian ayah. Menelanjangi masa lalu ayah. Ada sedikit cerita ayah waktu kuliah juga. Jadi mahasiswa gondrong tukang demo. Jadi asisten dosen, mengunjungi asrama putri dan masih banyak lagi.
Hari sudah senja. Gelap hampir datang. Begitu buku harian ayah kututup, aku merasa perlu beli buku harian juga. Aku segera menyambar sepedaku. Aku akan ambil sisa uang di rumah dulu, lalu ke Klandasan lagi. Aku begitu bersemangat jalani hariku yang tanpa ayah secara nyata bersamaku.
Begitu buku harian yang sama tebal dengan milik ayah terbeli, aku kemas-kemas. Aku hanya bawa beberapa pasang pakaian. Tak lupa Atlas, kompas dan buku harianku kumasukan ke tas. Setelah mengambil sebuah fotoku masih bayi bersama ayah dan ibu, aku kembalikan buku harian ayah ke kamarnya. Aku memaku semua jendela dari dalam. Semua barang seperti piringan hitam, mesin tik, buku-buku ayah di rak dan lainnya kututup kain putih semuanya. Aku akan meninggalkan rumah dalam waktu lama.
Esok harinya beberapa kawan ayah datang, begitu juga petugas pos. Petugas pos hanya sebentar, hanya memberikan rekening tabungan emas dari ayah yang diwariskan ke aku. Aku tak pernah menyentuh warisan itu kemudian. Sementara kawan-kawan ayah memberi aku hadiah perpisahan yang lumayan banyak. Entaha uang, pena atau novel. Mereka tahu aku suka menulis dan membaca. Hadiah mereka kumasukan ke tas.
Tante Theresa pun muncul dengan mobil pinjamannya. Aku segera ambil tasku dan gitar listrik Gibson Les Paul milik ayah, lalu memasukanya ke mobil. Kami tak lama di rumah. Setelah menguncinya aku beri ucapan perpisahan pada kawan-kawan ayah. Mereka memeluk dan menciumiku. Aku akan rindukan mereka juga.
Mobil meninggalkan rumah mungilku. Mobil menuju bandara. Setelah chek in kami menunggu masuk ke pesawat. Gibson di sebelah kiriku. Tante Therasa disebelah kanan. Aku mulai mencoba mengisi sedikit buku harianku. Tapi tak satu pun coretan yang kubuat. Akhirnya buku harian kututup lagi.
Ketika masuk pesawat aku menenteng sendiri gitar dan tasku. Semula tante mau bantu, tapi pilih melakukannya sendiri. Aku ingin seperti terlihat keren seperti ayah. Aku naik pesawat. Ini pertama kalinya naik pesawat. Menebarkan. Menyenangkan. Aku memutuskan sesuatu lagi. Aku teringat ayah lagi. Buku harian kubuka lagi. Aku menulis:
“Aku putuskan untuk menjadi pilot. Aku bisa keliling dunia lebih cepat. Aku percaya, jika bisa melakukannya ayah akan bahagia dan bangga padaku.”
Itulah kalimat-kalimat pertama yang kutulis di buku harianku.

Sepuluh Tahun berlalu…..
Aku bukan lagi anak kecil sekarang. Aku sudah selesaikan SMP tiga tahun dan SMA tiga tahun di Malang. Setelah itu, satu setengah tahun Sekolah Pilot di Texas, Amerika dengan beasiswa dari perusahaan cargo udara paling kesohor di dunia.
Sebagai balas jasa, aku kerja di perusahaan itu sebagai pilot. Dalam waktu dua tahun, aku sudah mengunjungi beberapa Negara di Afrika, Eropa, Asia, Australia dan Amerika. Aku selalu menandai kota-kota yang kukunjungi di Atlasku yang dulu dibelikan Ayah. Di sakuku, kompas yang kubeli di Klandasan selalu menemaniku kemana saja.
Aku tak pernah menulis puisi lagi sejak di Malang. Aku lebih banyak menulis lirik-lirik lagu. Setidaknya aku masih penulis. Gitar Gibson Les Paul ayah juga menyertaiku. Waktu di Malang, aku pernah ikut konser band amatir sebagai gitaris dengan gitar itu. Aku biasa memainkan Pink Floyd. Atau lagu-lagu rock lain yang beremangat. Juga lagu-lagu ciptaanku.
Suatu kali aku temukan buku yang ditulis ayah. Sejarah Balikpapan. Aku jadi paham kenapa ayah tandai petanya. Area yang ayah tandai ternyata tempat-tempat bersejarah di Balikpapan. Aku pun selalu bawa buku itu kemanapun aku terbang. Kadang aku pamerkan buku itu pada kawan-kawanku, Ayahku sejarawan kecil. Aku bangga.
Aku masih ingat Ayah. Ayah selalu bersamaku, dalam hatiku. Juga Ibu yang tak pernah aku temui. Aku selalu membawa foto mereka. Aku tak pernah sedih ketika tunjukkan foto mereka pada pacar-pacarku. Aku bangga pada mereka. Dan selalu bersemangat ketika bercerita tentang mereka. Ibuku perempuan manis, baik hati dan sambel buatannya bikin jatuh cinta. Ayah tentu orang cerdas yang bersembunyi dengan sosok pekerja kerasnya sebagai buruh.
Aku tak jadi seperti Resi Walmiki yang mengarang Ramayana. Hanya nama kami yang beda. Aku adalah Walmiki yang lain. Pilot pesawat angkut yang suka menulis lagu buat band rock amatirnya. Band Rock yang eksis untuk bersenang-senang saja.
Suatu kali aku datang ke sebuah jamuan makan tradisonal. Aku menemukan sambal yang enak sekali. Aku merasa akan alami yang seperti hal indah yang ayah alami hingga melahirkanku. Lalu aku bertanya ke perempuan manis seumuranku yang ada di depanku.
“Siapa yang buat sambal ini?”
“Aku. Ada masalah?”
“Tidak, mau tahu siapa namamu.”
Perempuan itu tersenyum. Matanya seperti tahluk oleh mataku.
“Ladya.”
Namanya mirip Ibu. Punya lesung pipit juga. Aku berikan senyumku. Seperti senyum ayah.
“Aku Walmiki.”
Perempuan itu tersenyum.
Ketika aku mengunjungi Balikpapan setelah sepuluh tahun, Perempuan itulah yang sekarang kuajak mengunjungi rumah mungilku di Stal Kuda Balikpapan. Dia senang sekali waktu aku bilang, namanya mirip Ibuku. Dan dia rela mendengar celotehanku tentang ayah, rumah mungil dan masa kecilku yang indah di Balikpapan bersama ayah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun