Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Walmiki

10 November 2012   06:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:40 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

The colors of a rainbow.....so pretty ..in the sky
Are there on the faces.....of people ..going by
I see friends shaking hands.....sayin.. how do you do
They're really saying... (I ....love....you).

I hear babies cry...... I watch them grow
you know their gonna learn
A whole lot more than I'll never know
And I think to myself .....what a wonderful world
Yes I think to myself .......what a wonderful world.

Aku hampir selalu putar keduanya. Kadang berulang-ulang jika susah tidur. Piringan hitam adalah pengantar tidurku. Sebelum beranjak tidur, aku selalu ucap, “selamat malam, Ayah.” Ayah tersenyum dan berhenti sejenak mengetik. “Slamat tidur. Smoga Miki mimpi indah.” Aku terlelap sementara ayah terus mengetik sebelum dirinya terlelap karena lelah dan kantuk.
Pagi sudah datang dari tadi. Waktunya pergi ke sekolah. Dibonceng ayah lagi. Pasti seru. Aku tak akan lupa masa-masa itu. Sehabis sarapan, kami bersepeda ke arah kota. Susuri Klandasan, Balaikota, Rumahsakit, lalu Lapangan Merdeka. Sampai depan sekolah aku turun. Tak lupa ayah selalu bilang, “semangat, Miki.” Aku hanya tersenyum dan ayah lalu menghilang.
Aku masuk kelas. Belajar. Mendengar pejelasan Pak Guru dan Bu Guru. Lalu membaca, mengerjakan soal matematika, atau mencatat. Dan, yang paling kubenci adalah menghafal. Sudah pasti jam istirahat dan usai sekolah adalah waktunya bermain atau baca komik.
Sebelum ayah menjemput, aku biasa bermain di selokan sama teman-teman yang super jorok. Mereka rela berkotor-kotor ria buat tangkap ikan-ikan kecil di selokan. Mahluk-mahluk kecil itu bikin kami tertarik. Kami sering bawa pulang ikan-ikan kecil itu. Bersama kami, umur ikan-ikan itu hanya dalam hitungan jam saja. Esok hari sudah tamat riwayat itu ikan-ikan malang yang tertangkap oleh kami.
Ayah tak pernah marah juga jika menemukanku dengan pakaian kotor karena tangkap ikan di selokan jorok dekat sekolah. Dari sikap ayah, sepertinya ayah pernah lakukan itu juga waktu sekolah dulu. Tak kalah jorok denganku.Ayah hanya tersenyum dan tak mau bahas kenapa baju sekolahku kotor. Karena aku yang tanggung nasib pakai baju jelek dan makin kusam warnanya ke sekolah. Ayah hanya setahun sekali ajak aku beli baju baru. Ayah kelihatan pelit kalo beli baju baru. Tapi, kalo buat beli komik atau majalah Bobo. Ayah selalu ada uang. Buat anak kecil sepertiku, beli buku itu mahal.
Seperti siang ini. Ayah muncul lagi seperti kemarin. Ayah tidak telat 20 menit siang ini. Ayah datang pukul 13.15 siang. Cuma telat 15 menit saja. Kalau kemarin aku menunggu sambil membaca kali ini aku menunggu dengan bermain di selokan yang jorok. Kali ini ayah juga tak marah. Begitu ayah muncul, aku berlari kea rah onthel ayah sambil pamit. Bersama ayah, aku lalu susuri Klandasan lagi.
Tak selamanya aku diam dalam kayuhan onthel ayah. Aku sering cerewet banyak tanya pada ayah. Tapi rupanya itu bukan masalah. Ayah selalu jawab pertanyaanku tanpa beban. Ayah selalu bisa menjawab walau aku tak paham maksud ayah. Siang itu aku bertanya atas apa yang aku lihat di Klandasan.
“Ayah, kenapa Tuhan kasih banyak orang miskin ke dunia?”
“Kenapa Miki tanya itu?”Ayah malah balik tanya aku.
“Entahlah, ayah. Tiap pergi pulang sekolah, tiap sore kalau main, banyak yang Miki lihat.”
“Ehm Kenepa Miki anggap mereka miskin?”
“Mereka tidak bisa sekolah. Baju mereka juga lebih jelek daripada baju Miki.”
“Pertanyaan yang sulit ayah jawab Miki. Itu kehendak Tuhan.”
“Apa Tuhan sedang menghukum mereka?”
“Tidak. Banyak anak kecil lahir miskin, padahal mereka tidak salah apapun.”
“Tuhan kan sayang pada umatnya, Ayah. Tapi kenapa mereka harus miskin?”
“Mungkin Tuhan ajak semua manusia bermain peran. Ada yang jadi si kaya dan ada yang jadi si miskin.”
“Jadi hidup seperti panggung sandiwara, Ayah?”
“Kira-kira begitu, Nak.”
“Jadi, semua sama saja di mata Tuhan? Yang miskin bukan yang nista. Yang kaya bukan yang mulia juga?”
“Betul, Miki. Kamu pintar sekali.”
Tiba-tiba onthel ayah berhenti. Aku bingung dan turun. Kulihat penjual Es Krim didepan ayah. Aku tersenyum. Ayah beli dua es krim. Satu untukku. Dan satu untuk ayah. Kami lalu duduk dan mengobrol lagi. Tepat di jembatan. Aku mulai bertanya lagi.
“Ayah, Miki heran. Baju kita jelek. Kita jarang beli baju baru. Kalau beli juga bukan baju yang bagus juga. Sama saja seperti orang-orang miskin itu.”
“Apa menurut Miki kita juga miskin.”
“Tapi kita selalu beli buku baru tiap minggu Ayah? Orang-orang yang kita anggap kaya saja tak pernah beli buku.”
Ayah tersenyum.
“Ya. Uang kita tidak banyak. Tapi, bisa tabung sedikit dan beli buku. Sekarang, Ayah beruntung. Bisa kerja. Beli buku dari uang hasil keringat ayah. Dulu ayah nangis lihat buku bagus dan tak mampu beli itu buku. Sekarang, walau cuma kerja jadi buruh, ayah bisa beli banyak buku. Dan buku-buku yang ayah mau. Waktu kuliah dulu, ayah rela kelaparan biar bisa beli buku.”
“Ayah lebih pilih lapar? Kenapa?”
“ Otak kita butuh makanan juga, Nak.”
“Itu kenapa kita harus beli buku?”
“Ya. Dalam kaya atau miskin.”
“Ayah, kita sepertinya tidak kaya. Tapi juga tidak miskin.”
Ayah tersenyum lagi. Dan tampak bangga dengan pendapatku. Ayah lalu mengusap rambutku yang lebat.
“Miki, ayo kita pulang.”
Kami bersepeda lagi sampai rumah. Seperti biasa. Aku lanjutkan kebiasaanku di siang bolong. Baca buku dan tidur siang. Begitu kebiasaan yang kulakukan waktu SD. Hidup tanpa beban dan menikmati semua hal tanpa tekanan.

2

Mesin Tik Ayah
Suatu pagi, aku pergi ke sekolah lagi bersama ayah. Bersepeda. Balikpapan sedikit berkabut pagi. Kami berangkat terlalu pagi. Mata ayah melirik ke toko sepeda yang masih tutup.
“Kenapa, ayah?”
“Tidak. Cuma lihat saja.”
Aneh waktu itu. Aku tak terpikir minta sepeda. Kupikir setiap hari aku tak merasa kekurangan. Aku sudah bisa baca bacaan bagus, entah buku atau majalah. Tak habis pikir kenapa aku berbeda dengan anak seumuranku. Boleh bermain di selokan atau di kebon tanpa kena semprot Ayah sama sekali. Itu sudah cukup menyenangkan.
Hampir semua teman-temanku tak pernah minta sepeda juga. Mereka biasa pakai sepeda ayah mereka juga. Kami tak ingin beli apapun. Apapun yang kami lihat akan kami pakai. Sudah pasti kami kembalikan kalau selesai. Maklum kami anak kampung.
Ayah tampak buru-buru pagi itu. Sampai depan sekolah, setelah antar aku, terlihat ayah tidak berjalan menuju Pintu Lima tempat kerjanya. Ayah mlah mengayuh sepedanya ke pulang. Aku tak mau pusing. Sekolah masih sepi aku pun baca buku cerita silat bergambar. Aku belum baca Kho Ping Ho waktu itu.
Hari itu semua tak ada yang luar biasa di sekolah. Cuma belajar seperti biasa. Tak ada hadiah. Juga tak ada hukuman. Sepulang sekolah, aku susuri selokan depan sekolah. Tentu saja sepatu kutenteng. Lalu aku naik dan duduk di bawah pohon. Dari jauh ayah muncul.
Siang itu ayah hanya tersenyum seperti biasa. Aku hampiri ayah dan onhtelnya. Aku naik. Menikmati jalan Klandasan yang ramai lagi. Aku tak banyak cakap dengan ayah siang itu. Ayah hanya mengayuh. Sambil berpikir tentunya. Mungkin ayah akan mengetik malam ini. Begitulah ayah. Dia akan banyak diam tanpa ajak aku bicara jika sedang mengetik sesuatu. Selesai mengetik ayah akan mampir ke kantor pos sebelah Balaikota. Ayah kirim hasil ketikannya entah kemana? Mungkin Jogja. Mungkin Jakarta.
Ayah sering sekali kirim. Biasanya, ayah dapat balasan. Kadang penolakan. Kadang wesel honor menulis. Aku tak pernah baca isi ketikan ayah. Tak sekali pun. Uang honor itu biasanya dimasukan ayah ke rekeningnya. Tidak begitu banyak.
Aku senang Ayah punya kesibukan. Aku senang ayah menulis. Seperti Chairil Anwar atau Marah Rusli yang tulis Siti Nurbaya. Hidup ayah begitu sepi. Mungkin hanya ada aku, onthel dan mesin tik saja. Ayah hanya nikmati keramaian di tempat kerja. Aku pernah kesana dan ayah akrab pada siapa saja.
Tak terasa, sampai juga kami di rumah. Begitu buka pintu aku terkejut ada sepeda baru di dalam rumah.
“Ayah ini punya siapa?”
“Ini buat Miki?”
“Kenapa Ayah? Miki tidak minta sepeda toh?”
Ayah lalu pegang pundakku.
“Miki. Kamu tidak biasa selamanya dalam boncengan ayah. Kakimu harus mengayuh dan putuskan kemana sepedamu akan meluncur.”
Aku belum paham apa maksud Ayah. Aku langsung peluk ayah.
“Terimakasih, Ayah.”
Ayah tersenyum dan pergi lagi. Ayah bukannya menuju mesin tik seperti biasa. Ayah pergi lagi aku tak tahu kemana. Aku bukannya jalan-jalan pamer sepeda baru. Aku tak tertarik. Karena di jalan tadi terpikir mesin tik ayah, aku lalu dekati mesin tik ayah. Ternyata di dekat mesin tik masih tersusun rapi ketikan ayah semalam. Ayah menulis sebuah cerita. Aku sempatkan diri membacanya.
Begitu selesai. Aku ingat-ingat lagi ucapan ayah tadi. “Kakimu harus mengayuh dan putuskan kemana sepedamu akan meluncur.” Mungkin ayah ingin aku banyak bersepeda keluar rumah. Buat ayah, mungkin seharian di rumah tidak begitu baik. Entahlah.
Aku lebih ingin di rumah. Menatap mesin tik ayah sambil baca majalah Bobo. Terpikir olehku untuk meniru ayah. Mengetik. Kupaksakan aku meniru apa yang dilakukan ayah.
Kertas terpasang. Aku tinggal mengetik saja. Tapi aku tak tahu bagaimana harus gerakan jariku. Sepuluh menit berlalu. Dua puluh menit berlalu. Dan tak terasa sudah hampir tigapuluh menit tanpa aku menekan tuts mesin tik ayah. Aku pun brutal dan mengetik tak karuan. Setelah puas. Jelas tak satupun kata apalagi kalimat.
Aku tinggalkan mesin tik ayah. Dengar radio dan tidur. Senja aku terbangun dan mendengar ayah bereskan meja ketiknya. Aku hampiri ayah.
“Ayah, bagaimana cara mengetik. Bagaimana menulis?”
“Cari tahu dulu apa yang ingin kamu tulis. Lalu ketiklah!”
“Semudah itu?”
“Tidak mudah jika kau tahu dan tak pernah membaca.”
“Apa yang ingin ayah tulis jika Ayah adalah Aku?”
“Ayah akan menulis cerita anak.”
Pikiranku cerah. Cerita anak ide yang hebat. Ayah sebetulnya orang pintar. Tapi ayah lebih suka jadi orang sederhana. Tak ingin terlihat hebat. Rasanya tak ada yang tahu jika ayah adalah penulis. Diantara manusia-manusia di kota ini, hanya aku yang tahu.
Malam itu aku melihat ayah mengetik. Seperti biasanya, ayah mengetik sambil menderngarkan musik yang tak kupahami. Ayah memulai dengan menarik nafas sebelum mulai mengetik. Sepertinya, ayah tahu apa yang ayah ingin tulis. Setelah itu jarinya perlahan mengetik dan tak berhenti. Aku perhatikan ayah dan mesin tiknya. Sepeda baru dari ayah tak kuhiraukan. Aneh aku justru tertarik pada mesin tik ayah sekarang. Aku baru tertidur setelah ayah selesai. Ayah sudah mengetik tiga halaman. Ayah cukup puas dengan ketikannya. Ayah lalu berpaling padaku.
“Tidaklah, Miki. Sepedamu menunggumu besok pagi. Kau harus kuat putari Balikpapan.”
Aku menurut dan tertidur. Paginya aku terbangun. Setelah sarapan bersama ayah. Kami bersepeda bersama. Aku tak membonceng pada ayah lagi. Aku dengan sepeda baru yang baru kupakai. Aku berjalan dengan kecepatan yang sama dengan ayah. Aku dibelakang ayah. Setelah rumah sakit kami berpisah. Setelah amankan sepeda, aku masuk kelas.
Kawan-kawanku tahu aku punya sepeda baru. satu sekolah heboh. Aku tak tertarik dengan kehebohan mereka. Aku berpikir cerita yang akan kutulis. Tiba-tiba teringat cerita ular Naga. Aku pun bertanya lagi pada Bu Guru yang ajar bahasa dan sastra. Aku bertanya soal urutan cerita. Dan setelah itu aku susun alur kalimatnya.
Jam sekolah selesai. Aku langsung berlari ke sepeda. Aku langsung pulang ke rumah. Dan langsung duduk di depan mesin tik ayah. Aku langsung pasang kertas. Lalu meniru ayah. Tarik nafas sebelum mulai mengetik. Jari dan pikiranku tak secepat ayah. Aku berhati-hati mengetik agar tidak salah.
Butuh waktu lebih dari dua jam untuk selesaikan cerita pendek berjudul Ular Naga. Banyak salah tulis. Aku lalu terlelap dan mimpi ketemu Suster Maria. Anehnya dia tidak terlihat seram. Ketika suster mendekatiku aku langsung terbangun. Ternyata ayah sudah pulang dan hari sudah senja. Aku langsung mandi.
Hasil ketikanku kuamankan. Aku malu kalau ayah baca. Pikiranku melayang pada cerita lain. Aku akan tanya pada Bu Guru lagi cerita asal mula Balikpapan. Aku tak sabar menuggu besok. Setelah makan aku banyak baca dan berkhayal. Sambil dengar piringan hitam tentunya. Sial, kenapa siang tadi tak kunyalakan piringan hita saja. Pasti mengetik jadi hal menyenangkan.
Pagi datang lagi. Aku lebih semangat lagi ke sekolah. Jam isitirahat adalah waktu untuk ganggu guru sastra Indonesiaku. Ibu itu tidak marah. Dia memang baik hati dan suka jawab semua pertanyaan, termasuk pertanyaan sulit, tanpa merasa ada masalah. Beliau banyak membaca. Selama empat hari berturut-turut aku selalu mengganggunya dan memaksanya banyak bercerita.
Pulang sekolah, setelah putar musik dari piringan hitam, juga siapkan kertas, aku mengetik. Aku melakukannya tanpa beban. Menulis itu menyenangkan. Dalam empat hari empat cerita pendekku selesai. Hari keempat aku benar-benar puas.
Aku lalu tertidur di meja. Ayah pulang dan aku masih belum bangun. Ayah tak sengaja temukan kertasku ketika aku tertidur. Ayah membacanya. Semuanya. Tak satu bagian terlewati. Ayah kembalikan tumpukan cerita pendekku. Aku lalu terbangun dan bereskan kertas-kertasku.
Seperti malam sebelumnya. Ketika ayah mengetik aku hanya memperhatikannya sambil membaca. Aku temukan kotak redaksi majalah Bobo. Terpikir olehku untuk mengirimnya. Aku putuskan akan putuskan kirim itu naskah besok sepulang sekolah.
Aku putuskan tidur sebelum ayah selesai mengetik. Ayah bangun lebih awal lagi seperti biasa. Ayah sudah sarapan duluan sambil membaca. Tiba-tiba ayah sodorkan amplop dan perangko.
“Pakai ini?”
Aku kaget. Ayah terus membaca dan mengunyah. Aku bingung. Ayah sepertinya bisa baca pikiranku. Aku diam saja. Pura-pura tidak tahu.
“Mau jadi penulis juga seperti Ayah?”
Aku diam saja. Aku tak berkutik dan takut ini adalah kesalahan di mata ayah. Aku malu sekali.
“Miki, kamu harus bicara! Mau diapaka itu naskah?”
Aku tak berkutik dan mulai buka suara sedikit.
“Mau dikirim Ayah.”
“Masukkan sekarang ke Amplop dan tempel perangkonya!”
Aku menurut tanpa bicara. Seperti maling jemuran ketangkap dan dipaksa taruh kembali jemuran curianku. Aku turuti perintah ayah. Aku malu sekali. Begitu semua selesai kukerjakan, Ayah angkat bicara lagi.
“Begitu ini kamu kirim, bersiaplah. Kamu akan kecewa. Tipis peluang untuk mujur. Jika mujur pun belum tentu kamu bisa dapat banyak uang dari artikel-artikelmu. Apa kau mau cari uang dengan cara seperti ini, Nak?”
“Entahlah , Ayah. Sepertinya aku tidak yakin.”
“Lalu kenapa kau lakukan ini?”
“Aku hanya penasaran dengan yang ayah lakukan.”
Ayah terdiam. Tanpa senyum. Tapi bukan marah. Mungkin prihatin.
“Jangan lakukan ini demi uang atau ingin jadi orang terkenal! Lakukan hanya ketika kamu yakin ini adalah jalan atau sekedar kesenangan saja!”
“Kenapa Ayah?
“Dulu Ayah merasa ini jalan untuk bisa kaya. Tapi Ayah salah. Ayah waktu itu masih muda dan kecewa. Ayah tetap saja miskin. Tahu kenapa ayah masih sering menulis?”
“Tidak tahu, Ayah.”
“Ayah melakukannya karena suka dan merasa harus menulis. Ayah tak mau lakukan demi uang. Karena orang belum tentu dengan apa yang kita tulis.”
“Aku tak lakukan demi Uang ayah. Aku juga menulis itu menyenangkan. Aku tak peduli mereka suka atau tidak.”
Ayah langsung memelukku. Kami lalu tinggalkan rumah bersama. Menyusuri jalan kami seperti pagi-pagi kemarin. Kami berhenti di depan kantor pos sebalah Balaikota. Ayah melihatku dari jauh sambil tersenyum. Jantungku berdebar ketika masukan amplok ke kotak pos. Selesai masukan amplop aku hampiri ayah. Ayah masih tersenyum. Ayah tampak senang.
“Lakukan Apa yang Miki mau. Jangan lakukan demi uang. Biarkan uang mengikutimu. Tuhan berikan rezeki-nya di banyak tempat.”
“Iya, Ayah. Menulis itu melegakan.”
“Bagus, Nak.”
Kami pun menghilang dari kantor pos. Ayah ke Pintu Lima. Aku ke sekolah.
Seminggu berlalu. Tanpa sengaja kutemukan karanganku tentang Ular Naga. Ak tak percaya, nama Walmiki tertulis di bawah judul tulisan it di majalah Bobo. Serasa mimpi dan sulit kupercaya.
Edisi setelahnya kisah asalmula Balikpapan. Sebuah wesel dan surat kuterima pun kuterima. Wesel untuk honor dua cerita pendekku dan surat penolakan dua naskah yang lain. Anehnya, aku tak kecewa dengan penolakan itu. Maklum dua naskah sudah diterima. Ini sudah luar biasa buat bocah macam aku.
Ayah akhirya bertanya.
“Sudah dapat surat penolakan?”
“Sudah Ayah.”
“sedih?”
“Tidak, Ayah. Dari empat cerita mereka tolak dua.”
“Selamat, Miki. Kamu penulis sekarang. Kamu mengabadi.”
Ayah tersenyum. Lalu memelukku.
“Mengabadi?”
“Ya. Tahu Skripta Manent verba volant?”
“Apa itu ayah?”
“Yang tertulis akan abadi. Yang terucap akan hilang terbawa angin.”
Aku hanya tersenyum dan mencoba mengerti apa maksud ayah. Aku sering kesulitan pahami apa yang dikatakan ayah. Tapi aku suka dengan hal-hal sulit kupahami. Aku percaya aku akan pahami pada suatu hari, seperti pesan ayah.
Aku takkan lupa kata-katanya. Aku belum paham lebih banyak buruknya menulis demi uang. Tapi Ayah sebenarnya penyemangatku. Aku baru tahu belakangan kalau ayah kliping cerpenku di Bobo itu di buku hariannya. Diam-diam ayah bangga padaku. Meski Ayah paham aku tak sehebat dirinya, dalam menulis.

Apalah Arti Sebuah Nama?
Hari-hariku mulai berbeda. Sepeda baru merubah hidupku. Aku bisa pulang lebih cepat. Bisa mengetik lebih awal jika aku kayuh sepedaku dengan cepat ke rumah. Aku bisa kemana saja. Termasuk ke rumah kawan yang jaraknya jauh. Aku jadi makin sering bermain. Tak sempat lagi tidur siang dan dengar radio. Dengar musik hanya malam saja. Ketika ayah memutarnya saat mengetik.
Ayah tak pernah pulang cepat lagi. Jam kerja ayah sepertinya bertambah. Aku jarang bertemu ayah lagi. Aku hanya bertemu ayah agak malam. Waktu ayah mengetik. Juga waktu sarapan dan bersepeda bersama tiap pagi. Aku semakin jarang bertemu.
Beruntung Ayah kasih sepeda. Jadi aku bisa kemana saja aku mau. Atau mengetik apa saja yang mau aku tulis. Aku merasa ayah beri semuanya. Makin hari aku makin memikirkan banyak hal saja. Memang sudah waktunya. Tapi lebih banyak soal cerita-cerita. Aku masih rajin nulis cerita. Lebih sering ditolak juga akhirnya. Aku pun makin jarang menulis. Ayah tak marah. Tak anggap aku tidak serius. Karena aku mendekati ujian sekolah.
Aku selalu simpan tulisan-tulisanku yang dimuat di Bobo. Belakangan, aku tak merasa itu hebat. Lagi pula, tulisanku disana masih bisa dihitung dengan jari. Tapi, nama Walmiki, namaku, yang tergores sebagai pengarang adalah hal yang sulit kupercaya. Hanya karena tulis cerita pendek, lalu banyak orang akan membacanya.
Mungkin ada ratusan atau ribuan anak sudah dan akan membacanya. Mungkin mereka bilang, “cerpen yang buruk.” Atau, “Siapa itu Walmiki?” Bahkan mereka akan bilang juga, “Walmiki biasa saja. Tidak hebat.” Tapi itu semua juga bukan masalah buatku. Sebagai anak kecil, aku tidak akan sakit hati. Toch aku bukan penulis hebat yang bisa disanding dengan Marah Rusli, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka atau yang lainnya. Aku cuma Walmiki, kebetulan anak seorang penulis tak terkenal yang hidup sebagai buruh rendahan di perusahaan minyak.
Walmiki, apa sih artinya itu nama? Kenapa ayah kasih nama aku seperti itu? Kenapa Ayah tidak beri aku nama lain saja? Aku merasa harus bertanya. Pada siapa lagi kalau bukan pada ayah.
Sudah senja, ayah pasti akan pulang tidak lama lagi. Sekarang ayah hanya pulang sore dan sampai rumah hari sudah senja. Sebelum punya sepeda, ayah biasa pulang siang sebentar.
Ada suara dari luar. Suara sepeda ayah. Ayah muncul di depan pintu yang sedari tadi terbuka.
“Miki, Ayah bawa kue pukis.”
Aku girang. Tadi aku hanya makan nasi dan telor. Masak sendiri seperti biasa. Masakan anak kecil tak karuan rasanya. Aku menghabiskannya karena lapar saja. Sekarang ada makanan enak. Dan, aku menyikatnya dengan lahap. Hidup begitu indah kalau ada makanan enak. Itu pikiran anak kecil.
“Ayah, aku mau tanya lagi.”
“Tanyalah, Nak.”
“Kenapa namaku Walmiki?”
Aku menebak, ayah tak akan langsung menjawab, tapi balik bertanya dulu.”
“Apalah arti sebuah nama?”
“Entahlah,Ayah.”
Betul juga tebakanku dan aku jadi bingung. Aku bengong tak mengerti. Ayah melanjutkan.
“Itu kata William Sheakspeare.”
“Siapa dia ayah?”
“Penulis Romeo and Juliet. Ayah jadi ingat dia waktu tadi Miki tanya arti nama Miki.”
Ayah lalu mengambilkan Romeo and Juliet dari rak bukunya. Ayah tunjukana padaku. Aku hanya amati saja. Aku coba fokus pada pertanyaanku.
“Lalu, Walmiki apa artinya?”
Ayah lagi-lagi tak langsung menjawab. Ayah mengambil buku yang lain. Yang belum pernah aku baca. Ayah memberikan lagi padaku. Sebuah buku berjudul: Ramayana gubahan Resi Walmiki. Aku kaget dan senang.
“Jadi sendratari Ramayana yang dulu sekali kita tonton itu karangan Walmiki, Yah?”
Ayah hanya tersenyum saja. Seperti biasa, Ayah selalu bikin aku berpikir. Anehnya, Ayah tak pernah salahkan apa yang aku maknai dari apa yang kupikirkan. Kali ini, ketika kupandangi buku Ramayana gubahan Resi Walmiki, aku berpikir mengapa ayah beri nama aku Walmiki? Apa ayah suka pada Ramayana? Apa ayah suka pada apa saja yang dari India? Tidak juga ayah tak pernah bilang kalau Ramayana buku kesukaannya. Ayah juga ogah nonton film India. Ayah juga bukan Hindu.Aku bertanya lagi.
“Ayah suka karangan ini?”
“Tidak juga. Ini karangan penting dalam sastra, Nak.”
“Jangan-jangan Ayah suka penulisnya, Resi Walmiki?”
“Ayah suka sama orang yang menulis.Termasuk Resi Walmiki.”
“Lalu kenapa namaku hanya Walmiki? Bukan Resi Walmiki sekalian?”
“Resi itu semacam Mahaguru yang disucikan. Ayah takut nama itu jadi begitu berat buat Miki.”
Kali ini aku paham maksud Ayah. Selama ini aku tak merasa punya nama berat. Dalam pikiranku, orang yang bernama Muhammad pasti dituntut biar punya kelakuan mulia macam Nabi Muhammad.
“Ayah, Resi Walmiki itu pengarang. Apa ayah ingin Miki jadi pengarang?”
“Tidak. Walau pun terkadang nama itu adalah doa, bukan berarti ayah mau Miki jadi seperti seperti Resi Walmiki. Miki cuma boleh jadi apa yang Miki mau. Bukan yang ayah mau.”
“Ayah, kata Bu Guru, orang tua selalu memberi nama anaknya dengan nama yang bagus-bagus kan?
“Ya.”
“Ayah pikir nama Walmiki itu bagus?”
“Ya. Bagus menurut Ayah.” Ayah menjawab dengan senyuman.
Sambil makan kue pukis, otak anak kecilku menyimpulkan. Nama Walmiki itu nama bagus, menurut ayah. Menurutku juga. Dan nama itu dari nama seorang pengarang hebat, meski bukan pengarang kesukaan ayah. Walau nama juga sebuah doa, ayah ternyata tak berharap aku seperti Resi Walmiki.
“Ayah, pertanyaan Miki masih belum terjawab. Kenapa aku harus bernama Walmiki?”
Ayah masih tetap seperti dulu. Begitu sabar dengan pertanyaanku yang seringkali sulit. Ayah selalu tersenyum. Seperti matahari pagi dan sore.
“Selain sebagai doa, nama juga bisa kita gunakan buat mengenang atau menghormati seseorang yang kita kagumi. Kadang ada orang yang namai anaknya seperti nama pemain sepakbola kesayangannya. Ada orang yang namai anaknya dari nama mantan pacarnya juga.”
Aku tertawa mendengar jawaban ayah. Dan aku benar-benar paham sekarang. Untuk mengenang Resi Walmiki yang hebat di mata ayah, aku pun dinamai Walmiki.
Bagiku itu nama Walmiki itu bagus. Tapi karena aku dipanggil Miki, aku sering dipanggil Miki Mouse atau Miki Tikus sama teman-teman. Tapi, aku jadi makin bangga dengan namaku. Seperti Resi Walmiki, aku juga menulis. Hanya itu. Tapi, aku tak sehebat Resi Walmiki. Tak apa. Aku cuma anak kecil.
Ayah kembali ke mejanya. Aku lanjut membaca buku. Seperti biasa kami memutar musik. Tak sadar akhirnya aku tertidur. Terbangun paginya. Seperti hari biasa, aku mandi, sarapan dan berangkat bersama Ayah.
Aku bersepeda di belakang ayah lagi. Aku selalu melihat punggung ayah tiap pagi. Dari belakang ayah betul-betul terlihat seperti buruh. Tak ada yang tahu kalau ayah seorang penulis. Seorang pengarang yang kagum pada Resi Walmiki. Sebegai pengarang ingusan aku juga tak punya pengarang idola. Mungkin belum ketemu saja. Kata Ayah, semua ada prosesnya.
Aku juga masih teringat percakapan semalam. Teringat kata Sheakspeare juga. “Apa artinya sebuah nama?” Nyatanya banyak nama yang punya arti. Orang pasti memilih arti yang bagus.
Pertanyaan Sheakspeare itu terus terngiang hingga aku beranjak dewasa. “Apa artinya sebuah nama?” Itu bukan pertanyaan bodoh. Itu cerdas. Pertanyaan yang harus selalu kita jawab. Pertanyaan yang selalu menampar kita agar kita rajin memaknai apa saja. Nama bukan sekedar panggilan atau sebutan. Bisa harapan dan doa ternyata. Juga penghormatan.
Aku bangga dengan namaku. Aku selalu bangga ketika perkenalkan diri, “nama saya Walmiki.” Banyak orang juga bangga dengan namanya sendiri. Termasuk orang yang dengan nama ndeso alias kampungan bernama Bejo. Bejo bukan nama buruk. Bejo artinya untung. Orang yang beruntung. Siapa yang tidak ingin beruntung?
Di depan rumahsakit ayah melambat sebelum akhirnya berhenti. Aku juga ikut berhenti.
“Selamat belajar Walmiki. Jadilah apa yang kamu mau di masa depan.”
“Miki belum tahu mau jadi apa besok-besok, Ayah.”
“Kamu akan temukan kamu mau jadi apa besok.”
Aku hanya tersenyum dengar itu.
“Ayah, apa Resi Walmiki tidak pernah terpikir untuk tidak jadi guru atau pengarang?
“Entahlah,” jawab Ayah dengan senyumnya.
“Ayah. Aku sering baca tentang banyak tempat di belahan dunia yang lain. Setelah membacanya aku ingin kesana.”
“Miki bisa jadi pelaut atau pilot. Jadi penejelajah.”
Ayah bersiap kayuh sepedanya. Dia melirik dulu ke arahku. Dan ucapkan lagi kalimat yang tadi sebelum akhirnya menjauh dari mataku.
“Selamat belajar Walmiki. Jadilah apa yang kamu mau di masa depan.”

Suatu Senja di Melawai
Siang bukan jamannya tidur siang lagi. Aku lebih suka kelayapan pakai sepeda sekarang. Aku mulai temukan menjelajah Balikpapan dengan sepedaku. Ke Manggar, Gunung Samarinda, Kampung Baru, atau sekedar ke Gunung Pasir. Pelan-pelan aku mengenal kotaku. Senja aku harus pulang. Selain sudah lelah, aku tak ingin dicari ayah sebagai anak hilang.
Suatu sore, aku masih dengan seragam sekolahku. Aku baru saja lintasi, Gunung Pasir, Gunung Sari, Karanganyar, melewati komperta lalu tembus ke jalan minyak. Dari jalan minyak akhirnya lewat pelabuhan. Melelahkan juga. Sore itu aku duduk dibawah pohon dekat tepian Melawai.
Aku hanya duduk memandangi laut. Sambil pelan-pelan membasahi tenggorokanku dengan air dari botol minum yang kubawa. Aku membayangkan berada di tempat lain dan bertanya apa sore akan seperti ini? Aku pasti akan rasa sore di tempat yang jauh dari sini.
Dari jauh aku lihat ayah bersepeda ke arahku. Ayah baru saja pulang kerja. Ayah terlihat tinggi semampai. Dengan pakaian kerjanya yang lusuh. Ayah memandangi ayah dari jauh. Ayah tahu kupandangi dia hanya tersenyum.
Semakin dekat aku perhatikan rambut ayah yang makin panjang. Ayah selalu membiarkan rambutnya memanjang. Begitu rambutnya sepundak, ayah akan memangkasnya. Model yang dipilih seperti model rambutku. Seperti potongannya John Lennon waktu masih di Beatles.
Ayah berhenti dan menghampiriku.
“Rambut ayah semakin panjang.”
“Ayah tak ada waktu potong rambut, Miki.”
Aku bisa pahami jawaban ayah itu. Ayah kerja dari pagi hingga malam. sampai rumah ayah akan menulis. Setelah itu tidur hingga pagi dan berangkat kerja lagi.
“Ayah suka rambut panjang?”
“Ya. Rambut panjang bikin ayah punya semangat seperti waktu muda. Waktu kuliah dulu ayah gondrong. “
“Ayah dulu kuliah apa?”
“Sejarah. Di Jogja.”
“Bukankah ayah bisa jadi guru?”
“Bisa. Ayah sempat setahun jadi guru di Sumatra.”
“Kenapa ayah berhenti? Ayah bisa menulis, pasti bagus jadi guru. Apa karena ayah ingin selalu punya rambut panjang?”
Ayah tertawa dan menepuk pundakku.
“Jadi guru itu sulit. Jadi guru sejarah apalagi. Ayah merasa dipaksa mengajarkan sejarah yang bagi ayah adalah kebohongan. Ayah tidak mau ajarkan kebohongan. Karena ayah yakin murid-murid ayah akan tahu kalau ayah bohongi mereka. Ayah tidak mau jadi pembohong. Yang ayah takut bukan lantaran mereka akan caci-maki atau tertawakan ayah karena ayah ketahuan bohong. Ayah tidak mau mereka meniru ayah sebagai pembohong. Ayah tidak mau mendidik para pembohong karena terima paksakan mengajarkan hal-hal penuh kebohongan.”
“Lalu kenapa Ayah sekolahkan Miki. Khan di sekolah juga Miki akan diajarkan sejarah yang isinya bohong juga.”
“Miki akan dipaksa terima hal itu. Miki dipaksa percaya. Tapi, pada akhirnya Miki pasti akan sadar juga kalau itu bohong. Bahkan sebelum diajari pun Miki akan merasa itu bohong karena mungkin bagi Miki tidak masuk akal. Ayah sekolahkan Miki bukan untuk percaya itu. Ayah sekolah Miki agar Miki tahu kalau dunia rumit. Tak Cuma berisi kebenaran, tapi juga kebohongan.”
“Apa menurut ayah sekolah itu buruk?”
“Tidak juga, Nak. Karena sekolah kamu bisa baca, nulis berhitung dan pasti punya banyak kawan.”
“Bagaimana caranya agar kita tidak dibohongi sejarah ayah?”
“Jangan pernah percaya, tapi buktikan.”
“Lalu bagaimana kalau belajar sejarah di sekolah?”
“Dengarkan saja. Jangan membantah, kasihan guru yang malang itu. Biarkan dia bersandiwara. Kalau ujian jawab saja seperti apa yang diterangkan guru.”
“Seperti bermain sandiwara, Ayah?”
“Ya. Di negeri ini sejarah seperti drama, Nak. Maklumlah.”
“Ayah pernah menulis tentang sejarah?”
“Pernah. Dari ayah kuliah sampai sekarang.”
“Apa ayah merasa ayah menulis kebenaran?”
“Tidak. Ayah bukan Nabi yang membawa kebenaran. Ayah hanya menulis pendapat ayah saja tentang peristiwa sejarah yang ayah telusuri. Kebenaran hanya datang dari Tuhan, Nak.”
“Sejarah bisa salah, Ayah.”
“Bisa saja. Tergantung kita melihatnya, Nak. Sejarah itu rumit.”
“Ya. Miki juga sering bingung juga. Walau nilai sejarah Miki tidak jelek.”
Ayah tersenyum lagi.
“Jangan terlalu ambil pusing, Miki. Biarkan saja tulisan-tulisan sejarah itu berbohong. Yang penting, kita jangan percaya pada ucapan dan tulisan manusia yang belum kita buktikan.”
Aku hanya menggeleng dan amini ayah saja.
“Ayah tadi bilang, tak ingin murid-murid ayah jadi pembohong lantaran ayah berbohong waktu jadi guru sejarah. Kenapa ayah tidak mau jadi pembohong?”
“Ayah tidak mau Miki jadi pembohong. Ayah juga tidak mau anak-anak negeri ini besok-besok jadi orang-orang pembohong.”
“Apa jadi guru sejarah itu salah ayah? Khan mereka juga disuruh berbohong juga?”
“Ayah tidak mau salahkan mereka. Mereka hanya ingin jadi guru saja. Tidak untuk jadi pembohong. Tanpa sadar mereka dipaksa berbohong.”
“Kenapa mereka dipaksa ayah?”
“Agar kalian semua jadi manusia penurut.”
“Menurut pada siapa?”
“Mungkin penguasa jahat berkedok pemimpin negeri yang selalu ingin bodohi rakyatnya.”
“Jadi ayah tidak mau bantu penguasa jahat?”
“Bagi ayah, bohong itu menyesatkan. Jadi ayah tidak mau. Ayah tak mau bohongi siapapun. Jadi ayah pilih terus menulis. Tapi karena menulis bisa bikin ayah kelaparan, maka ayah jadi buruh.”
“Ayah bahagia?”
“Asal ayah bisa jujur dan jadi diri sendiri yang ayah mau, ayah bahagia. Makanya, ayah lebih suka jadi seperti sekarang yang Miki lihat sekarang.”
Aku belajar lagi dari ayah. Bahagia tak harus jadi boss atau kaya seperti kata teman-teman di sekolah.
“Ayah, aku suka baca Atlas Dunia dan lihat foto-foto kejaiban dunia. Sepertinya seru kalau bisa kunjungi tempat-tempat itu.”
“Sudah putuskan cita-citamu? Jalan hidupmu?”
“Mungkin aku harus jadi pilot atau pelaut, Ayah.”
“Pilihan bagus, Miki. Ayo kita rayakan di Terminal Rasa.
Aku kaget. Ayah ajak aku tempat makan terkenal itu. Aku segera terpikir makanan enak disana. Ayah kembali ambil sepedanya.
“Ayo, Miki. Kita jarang makan enak khan?”
“Wah. Enak sekali,”kataku sambil berdiri lalu berjalan ambil sepedaku.
Aku tidak lupakan senja ini. Aku temukan jalanku. Kami bersepeda ke Terminal Rasa Klandasan. Ternyata ayah tidak langsung kesana. Tapi ayah ke toko buku. Kami masuk tokobuku itu. Ayah suruh aku pilih Atlas.
“Pilih yang bagus, Miki. Kau harus punya Atlas! Ayah tak bisa tunjukan padamu kemana kamu harus berjalan. Barangkali Atlas itu bisa jadi petunjukmu.”
Aku pilih satu. Yang paling bagus dan mahal. Ayah begitu ringan keluarkan uang demi Atlas yang terus buat aku bermimpi untuk jelajahi dunia. Aku senang sekali. Setelah itu kami ke Terminal Rasa. Setelah pesan nasi goreng. Kami buka atlas itu. Mulai dari halaman awal, peta Indonesia. Lalu kami cari pulau Kalimantan.
“Tunjukan mana Balikpapan.”
Setelah bersusah payah mencari, aku temukan juga Balikpapan yang letaknya di sisi utara Tanah Grogot, selatan Samarinda, juga di sisi barat Selat Makassar. Senang sekali. Setelah itu aku membuka peta Negara asia, afrika, Amerika, Australia dan Eropa. Jus alvokat dan Nasi Goreng kami pun datang.
Kami mulai santap nasi goreng kami. Nikmat sekali. Tentu saja aku terus memandangi halaman demi halaman secara berulang-ulang dan acak. Ayah hanya memanangiku.
“Miki, di Holland (Negeri Belanda), kamu bisa makan nasi goreng juga.”
“Bukannya disana negeri keju, Yah?”
“Memang, sebagian orang Belanda suka masakan Indonesia.”
“Sate sama krupuk juga ada, Yah?”
“Ada juga. Kata teman-teman kuliah ayah dulu yang suah kesana bilang gitu.”
“Kalau besok Miki bisa kesana, Miki mau pesan sate dan nasi goreng pakai krupuk.”
Kami tertawa. Aku baru sadar. Ini tanggal muda. Ayah dapat gaji dan bonus. Uang dari bonus itu dipakai buat makan dan beli atlas dan sisanya ditabung ayah. Gaji ayah, separuhnya untuk makan, bayar sewa rumah kami yang mungil, bayar sekolahku, beli buku bacaan atau untuk keperluan lain yang tidak banyak rasanya. Tidak banyak kami belanja. Sisa uang pasti ditabung ayah.
Setelah nasi goreng habis dan ayah membayar. Kami pulang. Sampai di rumah aku terlelap. Ayah menulis lagi. Aku tertidur bersama Atlas baruku.

Kompas
Pagi ini berangkat sekolah lagi. Sekolah jadi makin bersemangat. Aku tak lupa masukan Atlas baruku dalam bututku. Ayah juga pergi kerja. Sekolah berjalan seperti biasa. Jika ada waktu kosong, aku hanya buka Atlas-ku. Aku selalu membawanya. Seperti padri dengan kitab sucinya.
Aku teringat Alexander Agung yang ingin menguasai dunia. Dia sudah datangi banyak tempat. Mimpinya tinggi sekali. Dia selalu bawa Illiad yang berisi kehebatan Achilles yang mengalahkan Troya. Dia bawa dan baca buku itu. Ketika tidur, dia simpan Illiad pegangannya dibawah bantal. Dan, Atlas ini adalah peganganku. Atlas-ku
Illiad-ku
Aku semangat ke sekolah karena sepulang sekolah aku akan kelayapan seperti siang-siang yang lain. Aku jadi rajin kelayapan. Kemana saja. Jika hari terlalu panas, aku akan banyak beristirahat di bawah rimbunan pohon. Jika ketemu sungai, aku akan menceburkan diri. Air butek bukan masalah. Menyegarkan diri jauh lebih penting.
Sungai Bugis, di dekat Potongan Sapi adalah tempat favoritku. Sebelum berenang, aku akan mencoba menulis puisi. Sejak rajin kelayapan siang, aku lebih rajin menulis puisi. Itu bukan mudah. Ayah pernah bilang, menulis puisi itu sulit. Tak heran puisi jadi bahasa terindah. Aku sering gagal menulis puisi. Aku biasa kirim puisiku ke Bobo. Sial. Semuanya ditolak. Cerpenku lebih laku ternyata. Waktu SMA ayah juga pernah coba tulis puisi. Buruk semua, kata ayah. Akhir kuliah ayah betul-betul berhenti tulis puisi.
Ketika buntu menulis puisi aku akan ceburkan diri ke Sungai Bugis. Tak lama aku ceburkan diri, kerbau-kerbau orang Potongan Sapi pun ikut berendam di sungai. Jadilah aku sekolam dengan kerbau. Itu sering terjadi. Memalukan juga awalnya. Tapi, aku mulai terbiasa.
Siang ini, kerbau-kerbau belum datang. Aku sendirian. Kawan-kawan tidak ikut kemari seperti biasanya. Setelah berendam aku berjemur dengan melihat angkasa. Terpikir olehku kemana jalan pulang. Harus ke arah mana aku harus mengayuh sepeda nanti? Aku memang hafal jalan, tapi aku tidak tahu apakah aku harus ke utara, selatan, barat atau timur. Aku merasa harus beli kompas. Masih siang untuk kelayapan. Masih jam 2 siang.
Aku segera beranjak. Pakai baju sekolahku lagi dan bereskan tasku untuk pulang. Aku mengayuh kenceng sepedaku. Melintasi banyak bukit. Butuh waktu lebih dari 2,5 jam sampai rumah. Melelahkan juga sebelum akhirnya menemukan straat yang beraspal. Sore hampir habis waktu sampai rumah. Yang kutuju pertama kali adalah celengan-ku. Aku jarang bongkar celengan. Hanya waktu ingin beli sendiri komik atau buku bergambar lainnya.
Celengan ini sudah setahun lebih kuisi. Aku jarang jajan. Uang sangu dari ayah cukup bikin kenyang buat jajan di sekolah. Sering sisa. Sisa uang itu kumasukan celengan, karena ayah psti bakal kasih lagi.
Sekarang aku harus membongkarnya. Cukup sekali banter. Tarr. Celengan pecah berkeping-keping. Uangnya terlihat. Aku punguti satu persatu sambil kuhitung. Jumlahnya sepertinya cukup buat beli kompas. Setelah bereskan pecahannya aku kabur keluar. Badanku masih bau lumpur halus sungai. Dengan kecepatan penuh sepeda kupacu ke Klandasan. Menuju toko alat-alat pramuka.
Ternyata uang dari celengan bisa baut beli. Setelah tawar-menawar sedikit, aku dapatkan kompas itu. Aku bisa tahu mana utara mana selatan. Aku bisa ngalor-ngidul semauku sekarang.
Begitu keluar dari toko, hari sudah senja. Ayah lewat lagi.
“Miki darimana?”
Aku tunjukkan kompas yang kubeli pada ayah.
“Beli kompas ayah.”
“Penjelajahanmu sudah dimulai ternyata,”kata ayah sambil tertawa.
“Baru terpikir tadi, Ayah. Selama ini aku tidak pernah tahu dimana barat dimana timur.”
Ayah tersenyum dengar penjelasanku.
“Ayo kita pulang.”
Kami bersepeda susuri Klandasan. Lampu-lampu kota sudah menyala. Lampu di kota kami terang benderang tiap malam. Apalagi lampu di kilang. Kata orang, dari Penajam di malam hari, Balikpapan seperti Hongkong yang benderang. Kota kami ramai di malam hari. Tapi, aku tak tertarik keluar malam. Dengar piringan hitam atau radio yang putar lagu-lagu rock lebih menyenangkan.
Ini pertama kalinya aku bersepeda di malam hari. Beruntung lewati jalan utama kota Balikpapan. Jadi ada cahaya dari lampu kota. Kami bersepeda agak pelan. Ayah buka percakapan.
“Mau dipakai kemana itu kompas besok?” tanya ayah diikuti tawanya.
“Entahlah ayah. Ayah pernah punya kompas?”
“Pernah. Jaman waktu ayah masih pacaran,”jawab ayah sambil tertawa.
“Perempuan itu bawa kompas Ayah?”
“Ya. Mungkin dia pakai keliling dunia sama suaminya.”
Kami tertawa mendengarnya.
“Ayah simpan Peta Balikpapan tidak?”
“Ada. Nanti ayah carikan di kamar ayah.
Senang mendengar ayah punya. Kami akhirya sampai di rumah. Aku langsung pergi mandi. Badanku bau sungai Bugis. Untung ayah tak cerewet. Ayah tak pernah marah seperti orangtua lain kalau tahu anaknya berenang di sungai. Orangtua yang selalu takuti anaknya, “awas! Jangan berenang disana. Banyak buaya!” Kalau aku mau main ke sungai, ayah cuma bilang, “Hati-hati! Pulanglah dengan selamat sebelum malam.”
Selesai mandi, ayah lasung kasih lihat itu peta.
“Boleh dibawa mainan,Ya?”
Ayah terdiam sebentar seoah ragu.
“Bisa saja. Asal jangan sampai rusak! Ayah masih butuh itu peta.”
“Baik, ayah.
Malam itu aku tertidur lebih awal. Aku bersepeda jauh sekali siang sebelumnya. Ke Sungai Bugis yang jaraknya jauh sekali buat anak SD. Lalu pulang ke Stal Kuda. Lalu ke Klandasan. Lalu pulang lagi.
Esok harinya sepulang sekolah, aku mulai petualanganku. Aku tertarik dengan titik yang ditandai ayah. Aku datangi satu persatu tempat yang ditandai ayah. Ke Markoni, ada tank tua tinggalan perang dunia II. Ke Sumur Matilda yang jadi seperti monumen. Ke Perumahan Pasir Ridge. Ke Lapangan Merdeka. Dan akhirnya, Manggar. Setelah kudatangi tempat-tempat itu, aku bertanya pada ayah.
“Kenapa ayah bikin coretan di peta itu?”
Ayah tersenyum.
“Ayah sedang menulis sesuatu dengan teman-teman.”
“Soal apa, Ayah?”
“Rahasia buat Miki. Besok-besok deh ayah kasih tahu.“
Aku terima jawaban ayah yang bikin penasaran itu.
“Seru kan? Mainan kompasnya?”
“Seru, Yah. Gak rugi mecah celengan.”
Aku lalu keluarkan peta yang kupinjam pada ayah dari tasku..
“Ayah, maaf sudah mulai lecek?”
Ayah hanya kernyitkan dahi. Peta itu penting buat ayah. Aku sudah pasrah rela dimarahi. Ayah tarik nafas.
“Ya sudah.”
Aku bengong dan lega. Tapi bingung pun datang ke pikiranku.
“Kenapa ayah tidak marah?”
“Apa gunanya?”
“Kan itu peta sudah Miki bikin lecek.”
“Apa kalau ayah marah leceknya hilang?”
“Tidak ayah?”
“Mau tahu kenapa ayah tidak marah?”
“Iya.”
“Ayah capek jadi orang pemarah. Dulu ayah pemarah. Anarkis waktu kuliah. Tapi itu resiko jadi orang muda yang darahnya bergejolak. Semua orang muda biasanya dikuasai gejolak. Dikuasai rasa ingin mencoba.”
“Kenapa ayah berhenti?”
“Ayah capek. Tak ada yang peduli dengan kemarahan ayah.”
“Apa Miki akan jadi pemarah juga?”
“Mungkin. Tergantung dari apa yang Miki mau. Mau marah atau tidak?”
“Apa marah juga pilihan?”
“Kadang pilihan karena harus, tapi lebih sering paksaan atau lepas kendali.”
“Kata orang, marah itu tak baik, Ayah.”
“Ya. Melelahkan, Nak. Kemarahan akan membut kita bingung. Seperti penjelajah tanpa kompas yang tersesat.”
“Apa Miki mau jadi pemarah?”
Aku terdiam. Tak bisa menjawab pertanyaan ayah. Banyak hal di dunia ini yang bisa membuat kita marah.
“Kalau Miki mau jadi pemarah, ayah gagal jadi orang sabar.”
“Tidak, Ayah. Sabar lebih baik.”
Ayah tersenyum. Aku tahu ayah mungkin kesal tapi ayah coba redam kekesalannya. Ayah seperti berusaha mengertiku. Anak kecil diserahi barang pasti lecet, begitu mungkin pikiran ayah. Kami lalu berjalan ke meja makan kecil dekat dapur. Kami makan malam
“Ayah, ternyata tanpa kompas sulit sekali pakai peta.”
“Ya seperti hidup tanpa Petunjuk. Kita akan jadi orang tersesat dan gampang lepas kendali atas dirinya lalu marah-marah semaunya.”
“Hidup ternyata butuh ‘kompas’ juga, Ayah.”
“Ya. Agar kita tahu kemana kita berbuat.”
“Hidup seperti perjalanan.”
“Hidup memang perjalanan nyatanya.
Aku paham maksud ayah. Kompas yang kubeli kemarin dan selalu kubawa-bawa ternyata bisa mengingatkanku untuk selalu memiliki arah hidup di kemudian hari. Kompas ini megingatkanku untuk selalu punya arah dalam melakukan apa saja.

Green is the Colour
Tak ada yang halangi anak kecil sepertiku putar gelombang radio rock. Ayah tak pernah halangi. Ayah seperti bisa menikmatinya. Dari rambutnya, ayah setidaknya suka lagu rock. Ayah suka Pink Floyd sebenarnya. Tapi kalau ada aku di rumah, ayah akan ikut apa yag mau kuputar. Tapi kalau sendirian, ayah akan putar Pink Floyd. Lagu rock Pink Floyd kesukaan ayah nyaris takpernah di putar radio-radio kota kami. Mereka lebih suka Led Zeppelin, Rolling Stone, Beatles dan lainnya. Belakangan aku tahu kalau lagu itu yang biasa temani ayah mengetik.
Ayah punya koleksi Piringan Hitam Pink Floyd juga. Ayah punya album Dark Side of The Moon, Music From Film More, Obscured By Cloud s dan lainnya aku lupa. Tapi kadang ayah putar lagu Green is the Colour berulang-ulang entah kenapa. Anak kecil sepertiku tidak bisa merasakan musiknya. Ayah mungkin sudah lama hidup dan alami serunya masa muda jadi bisa enjoy dengan musiknya.
Malam itu, ayah terlihat lelah. Aku belum putar radio atau piringan hitam. Aku melihat ayah keluarkan album Music From Film More. Sudah kutebak, Green is the Colour lagi. Ayah begitu nikmati lagu itu sambil santai di kursi. Dan, aku pilih asyik dengan kompas baru. Kadang mataku melihat ayah yang menutup mata. Ayah tidak tidur tapi menikmati lagunya. Lagu Pink Floyd yang ini sebuah balada yang paing enak kudengar. Mengalun lembut.

Heavy hung the canopy of blue
Shade my eyes and I can see you
White is the light that shines through the dress that you wore
She lay in the shadow of a wave
Hazy were the visions of her playing
Sunline on her eyes but moonshine made her blind every time
Green is the colour of her kind
Quickness of the eye deceives the mind
Envy is the bond between the hopeful and the damned

Ketika lagu habis. Ayah bangkit dari kursi. Dari kamarnya, yang tak pernah kumasuki. Selain karena terkunci aku juga segan. Kamar ayah itu ruang pribadi ayah. Ayah juga segan masuk kamarku. Bagi ayah itu kamar adalah Negara. Kami sudah saling menghargai itu sejak lama. Tidak akan melanggar daerah terlarang masing-masing. Hanya ruang tengah, kamar madi dan dapur saja yang jadi wilayah bebas.
Tak lama ayah pun keluar. Bersama gitar tuanya. Sebuah gitar listrik tua. Aku melihatnya dengan takjub. Aku tak pernah tahu ayah punya gitar itu. meski sudah tua gitar itu masih bagus. Warna hitam, Gibson Les Paul mereknya.
Ayah mulai memetik. Aku lalu tergerak mendekati ayah. Ayah menyanyikan lagu Green is the Colour. Suara ayah tak merdu sama sekali. Aku hanya tertarik dengan suara gitarnya. Kompas baru dan Atlas lupa sejenak. Ayah yang kudekati pun buka cerita.
“Ini ayah beli di toko barang bekas di Jogja. Waktu ayah balik dari Sumatra.”
“Bagus, ayah.”
“Miki mau main?”
“Miki tidak tau kunci-kuncinya.”
Ayah tersenyum dan ajarkan beberapa kunci dasar. G-C-F-D-A-E-B. Aku mengamati jari-jari ayah yang menunjukannya berulang-ulang. Ayah lalu memberikanku gitar itu.
“Itu dulu. Yang lain bisa nyusul.”
Aku lalu coba mulai memetik. Ayah ke meja menulisnya. Singgasananya yang sering kuganggu. Aku meihat tumpukna kertas yang menurutnya masih utuh.
“Miki tidak ngetik minggu ini?”
“Tidak ada bahan, ayah,” jawabku sambil asyik dengan gitar listrik ayah.
Aku mencoba semua kunci-kunci dari ayah. Dimulai dengan banyak salah. Ayah lalu berikan diagram kord lagu dari majalah musik yang sudah kusam tapi masih jelas terlihat. Aku mengulangnya terus menerus. Setelah bosan aku tanya kunci lagu yang tadi dimainkan ayah.
“Ayah lagu tadi apa kuncinya?”
“G-C-G-D,”jawab Ayah sambil bersiap mengetik lagi.
Aku mulai mencobanya. Dengan lirik asal-asalan. Ayah lalu berikan catatan dari buku hariannya.
“Ini liriknya. Mainkan dengan rasa. Nanti ketemu kuncinya.”
Semalaman sampai terlelap aku mencoba pelajari lagu itu dengan gitar. Ayah malang sekali malam itu, mengetik diiringi suara dan petikan gitarku yang kacau. Jari ayah tak secepat biasanya. Lebih banyak melirik ke arahku.
Esoknya, aku pergi sekolah lagi. Begitu membosankan kehidupan anak SD kalau pagi di hari-hari sekolah. Mandi, gosok gigi lalu berangkat sekolah. Tidak boleh telat pula. Aku alam itu juga.
Pulang sekolah aku coba lagi belajar gitar. Dengan lagu yang sama. Kalau lupa lagunya aku putar piringan hitam ayah lagi. Lalu menirukan suara David Gilmour bernyanyi. Butuh waktu berminggu-minggu belajar nyanyikan lagu itu. Green is the Colour gubahan Roger Waters itu jadi laguku tiap hari. Aku tak paham apa maksud lagu itu, tapi lagu itu selalu memberiku semangat.
Pelan-pelan aku makin suka lagu itu. Ayah meracuniku dengan lagu ini. Aku tidak lagi menyanyikannya dimana saja. Dengan atau tanpa gitar. Ketika mengayuh sepeda. Sial.
Ayah kadang pergi keluar bawa gitar kalau libur mengetik sekarang. Ayah sudah jarang mengetik. Aku tak tahu kemana ayah pergi bawa gitar listriknya. Aku hanya menebak mungkin sedang latihan musik. Aku tak banyak bertanya.
Aku jadi makin semangat belajar gitar. Bukan untuk jadi gitaris hebat. Hanya ingin bisa seperti ayah yang suka musik saja. Pelan-pelan aku pun sudah akrab dengan gitar ayah. Aku mulai bisa memainkan lagu Pink Floyd lain. Bukan cuma Green is the Colour. Tapi juga Wots uh deal dan Wish You Were Here. Tapi hanya tiga lagu saja. Lagu-lagu Pink Floyd susah-susah buat anak kecil seumuranku. yang paling kusuka tetap Green is the Colour.
Suatu hari, ayah ajak aku ke sebuah acara. Kami bersepeda seperti biasa. Ayah membawa Gibson Les Paul kebanggannya. Rupanya ada sebuah panggung hiburan juga. Ada drum, juga gitar bass, juga gitar listrik lainnya. Tidak banyak yang datang. Hanya sebuah pesta perpisahan teman ayah. Hanya teman-teman ayah.
Giliran ayah untuk bermain pun tiba. Ayah memasang gitarya dan siap beraksi. Aku senang sekali. Ayah pasti nyanyikan Green is the Colours. Lagu pertama lagu Indonesia. Lagu selanjutnya juga begitu. Aku menunggu ayah nyanyikan lagu ituTapi rasanya tidak mungkin, yang nyanyi bukan ayah.
Kemudian, band ayah nyanyikan lagu Inggris, lagunya Bee Gees katanya. Disusul lagunya Beatles. Tapi tak satu pun lagu Pink Floyd yang mereka mainkan. Tapi rasanya tidak mungkin, mereka mainkan itu lagu. yang nyanyi bukan ayah.Ayah hanya mainkan gitar untuk mengiringi.
Aku mulai kecewa dan berusaha untuk terima kenyataan. Marah karena ayah tak mainkan lagu kesukaannya sendiri adalah hal bodoh. Tak ada alasan untuk itu. Lagu selesai. Aku tak jadi berharap lagi. Tapi ayah masih bertahan di panggung. Aku melihat ayah mendekati mikropon.
“Ini lagu buat Walmiki. Yang selalu menyanyikannya dimana saja. Di sepeda, di sekolah dan juga di kamar mandi.”
Semua yang mendengar tertawa. Kawan-kawan yang mengenal ayah segera melihat ke arahku sambil tersenyum. Di atas panggung kawan ayah yang sepertinya jago main drum naik panggung lagi. Disusul pemain bas mereka yang kidal, seperti Paul McCourtney basisnya Beatles.
“OK. Green is the Colour.”
Semua orang tampak penasaran sama lagu itu. Mereka tak tahu. Orang Balikpapan tak mengerti Pink Floyd. Bukan masalah kalau itu bukan idola mereka yang penting aku suka. Ayah mulai memetik kunci G dilanjutkan kunci-kunci lain. Dan mulailah ayah bernyanyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun