Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Walmiki

10 November 2012   06:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:40 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Heavy hung the canopy of blue
Shade my eyes and I can see you
White is the light that shines through the dress that you wore
She lay in the shadow of a wave
Hazy were the visions of her playing
Sunline on her eyes but moonshine made her blind every time
Green is the colour of her kind
Quickness of the eye deceives the mind
Envy is the bond between the hopeful and the damned

Aku hanya melihat ayah sepanjang Green is the Colour mengalun. Bagiku ayah begitu keren. Meski suara ayah pas-pasan sekali. Tak mirip David Gilmour. Tapi ayah keren. Meski orang-orang merasa asing dengan lagu balada itu, tapi mereka tak begitu mempermasalahkan lagu itu.
Mereka cukup senang mendengarnya meski tak antusias. Mereka tak tahu Pink Floyd tak apalah. Aksi Ayah begitu hayati lagu itu. Dari petikan gitarnya juga menyanyikanya. Ayah keren. Ayah nyanyikan lagu kesukaanku. Sebagian orang memperhatikanku juga. Di akhir lagu, salah satu mereka angkat bicara.
“Ayahmu keren. Dia nyanyikan lagu favorit anaknya. Kami tak belum tentu bisa melakukanya, Nak.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Selesai lagu semua tepuk tangan. Aku juga tepuk tangan sambil berdiri. Juga memberikan senyum pada ayah yang turun panggung. Sekali lagi ayah membuatku bangga. Entah untuk yang keberapa kalinya.

Tentukan Jalanmu!
Tak terasa, ujian akhir tak lama lagi. Sekitar tiga bulan lagi. Kami diingatkan untuk lebih giat belajar di sekolah. Aku mulai jarang kelayapan. Lebih banyak di sekolah dan di rumah lagi. Aku jarang kelayapan siang bolong lagi. Sekarang, ayah makin sering lembur. Ayah pulang lebih telat dari biasanya. Hampir setiap hari kerja. Jika libur, ayah juga tidak di rumah, setelahnya ayah akan mengetik dari bisanya. Begitulah tiga bulan terakhir.
Sekolah adakan pelajaran tambahan. Mereka seperti tidak percaya kalau kami belajar sendiri. Jam tambahan itu siksaan. Tak ada waktu bermain lagi. Aku juga jadi rajin pulang sore. Pulang sekolah, aku duduk di Melawai. Sekedar baca buku atau menulis puisi.
Akhir bulan kemarin, tak disangka. Puisi yang kukirim ke Sayembara Puisi tingkat SD di Jakarta ternyata lolos. Aku akan terima hadiah minggu depan. Anehnya, sebuah surat undangan dan formulir dari SMP berasrama di Malang datang untukku. Aku harus tanya ayah dulu.
Senja belum muncul. Matahari masih terlihat. Ketika aku melihat ke arah Pelabuhan, ayah muncul lagi. Dari kejauhan aku melihat ayah terbatuk-batuk. Ketika semakin dekat, ayah tersenyum. Aku cegat sepeda ayah. Wajah ayah semakin jelas. Aku baru sadar, wajah ayah selalu terlihat lelah beberapa hari terakhir. Mungkin ayah alami pekerjaan-pekerjaan melelahkan.
“Ayah. Ada berita penting.”
“Apa itu? Miki buat masalah di sekolah?”tanya ayah sambil tersenyum.
“Bukan itu ayah,”jawabku sambil tunjukkan surat yang kuterima.
“Apa itu?” Ayah nampak penasaran. Dan membuka surat undangan sekolah beserta formulir itu.
“Kamu mujur sekali, Miki. Di jaman ayah tak ada seperti. Tak ada yang peduli pada anak yang suka menulis. Mereka suka karyamu.”
“Apa ayah setuju?”
“Miki sendiri mau sekolah di sana?”
“Lantas ayah bagaimana? Miki bakal jauh dari ayah. Miki kan masih SD ayah?”
“Bukan perkara Miki sekecil apa yang jadi masalah. Tapi seberapa keras kemauan Miki.”
“Tapi kita akan berpisah Ayah. Ayah bakal sendirian.”
Aku terdiam. Bingung untuk bocah sekecil aku untuk memilih. Aku sebenarnya merasa nyaman bersama Ayah. Tak masalah jika tidak sekolah disitu. Tapi sekolah itu sangat bagus dan gratis pula.
Ayah lalu ajak aku duduk di atas pasir.
“Itu sekolah bagus, Miki. Pikirkan. Kalau ayah lepas Miki pergi jauh itu bukan karena Ayah tidak sayang dan Ayah ingin lepas tanggungjawab sama Miki. Ini kesempatan bagus buat Miki. Buat masa depan Miki.”
“Ayah tahu tentang sekolah itu?”
“Ya. Ayah tahu sekolah itu. Ada teman ayah disana. Dia guru. Mungkin itu alasan ayah berani lepas Miki disana. Bukan masalah kalau ayah nanti sendirian di rumah.”
Kami bahas masalah itu tanpa emosi. Ayah berpikir jernih dan aku berusaha tidak egois dengan kemauan yang kekanak-kanakan. Aku tak sempat bermanja. Meski ayah selalu berusaha turuti apa yang aku mau.
“Miki tahu, di dunia ini ada anak yang harus tinggalkan rumah orangtuanya untuk mengejar mimpinya. Kalau Miki punya mimpi kunjungi banyak negeri yang jauh, Miki akan lakukan itu cepat atau lambat.”
“Biasanya mereka pergi sehabis SMA. Entahlah. Miki merasa terlalu kecil. Biarpun Miki bisa cuci pakaian dan masak sendiri.”
Ayah tersenyum.
“Miki tahu kenapa ayah tak malas cuci pakaian Miki? Ayah juga gak mau masalahkan pakaian Miki yang pudar warnanya atau tidak rapi”
“Biar Miki cuci sendiri.”
“Kenapa Miki sering ayah ajak masak makanan yang tidak enak di dapur?”
“Biar Miki bisa makan sendiri walau rasanya gak enak.”
“Itu semua biar Miki bisa melakukannya sendiri. Ayah kaget waktu Miki belajar nulis sendiri. Miki ternyata bisa bekerja keras. Hidup ini keras, jadi kita harus bekerja keras. Sejak Miki menulis, Ayah jadi makin percaya sama Miki. ”
Aku diam lagi. Hanya karena menulis cerpen dan puisikah? Lalu ayah begitu percaya pada bocah kecil sepertiku. Bocah yang nilai raport-nya pas-pasan. Yang kebetulan tiap tahun naik kelas.
“Apa menulis itu penting Ayah?”
Ayah tersenyum dengan pertanyaanku.
“Ayah menunggu pertanyaan ini dari kamu. Ayah akan jawab, Penting Sekali. Kenapa penting sekali? Karena jika ada orang yang menjatuhkanmu, kamu bisa bisa membela dirimu dengan cara terhormat. Lewat tulisan, Miki! Bukan dengan pukulan!”
Aku hanya mendengar ucapan ayah yang paling bersemangat itu. Ayah tak pernah bersemangat seperti ini. Ayah menepuk pundakku. Ayah melanjutkan.
“Miki pernah dengar Bung Hatta?”
“Pernah, Ayah. Apa Bung Hatta menulis juga? Yang Miki tahu dia Proklamator dan Wakil Presiden pertama saja.”
“Suatu kali Bung Hatta dan teman-teman-nya bakal dipenjara lama sekali. Tapi, waktu dalam di sel tahanan, Bung Hatta menulis pembelaan dirinya, Indonesia Merdeka. Waktu disidang, Hatta bacakan tulisannya. Orang-orang Belanda malah simpati. Dari tulisan Hatta, orang-orang termasuk Hakim tergugah, Hatta ternyata tidak bersalah. Hatta lalu dibebaskan. Setelah itu Hatta makin terkenal lagi.”
“Hebat juga, Ayah. Miki baru tahu kalau menulis itu bikin kita bisa hipnotis orang.”
Ayah tertawa mendengarnya.
“Ya. Hitler juga gitu. Tulisan Hitler yang Mein Kampft, yang artinya perjuanganku, malah bisa bikin Jerman yang semula negaranya hancur berubah jadi Negara yang paling ditakuti.”
“Wah. Tulisan bisa merubah dunia. Keren sekali, Ayah.”
Kami berdua tertawa.
“Miki belum bisa putuskan sekarang.”
“Ayah hanya kasih ijin kalau Miki mau saja.”
“Terimakasih, Ayah.”
“Ayo kita pulang, Miki. Sudah senja.”
Kami ambil sepeda kami. Waktu aku ambil sepeda ayah batuk lagi. Di jalan juga ayah batuk lagi. Aku langsung bersepeda di samping ayah.
“Ayah sudah ke dokter.”
“Iya, Miki. Mungkin besok. Lusa juga sudah reda kok batuknya.”
Aku puas dengar penjelasan Ayah. Sampai rumah kami langsung makan dan istirahat. Ayah masih diserang batuk.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk mengirim kembali formulir dari Malang itu. Tak ada masalah yang kurisaukan lagi kalau aku kuliah disana. Mungkin aku bisa ringankan beban ayah. Agar ayah tidak sering lembur lagi karena sekolah dan makanku nanti gratis. Aku segera minta tandatangan ayah. Ayah menandatanganinya sambil terbatuk-batuk.
“Miki sudah putuskan jalan Miki?”
“Iya, Ayah. Mungkin ini jalan keliling dunia.”
“Semua berawal dari mimpi, Nak.”
“Ya. Darisana mungkin Miki bisa masuk ke sekolah pilot atau kursus pelaut.”
“Selamat datang di dunia Anak Muda!”canda ayah dan kami tertawa pagi itu.
Kami keluar rumah bersama. Ayah batuk-batuk lagi. Ayah langsung lari ke kamar mandi. Dan kembali lagi setelah batuknya reda. Dan kami kembali bersepeda.
Setelah minta tandatangan Ayah sebagai tanda setuju dari orangtua, aku kirim kembali itu formulir lewat pos. Dua minggu kemudian aku terima kabar gembira. Aku diterima. Aku senang. Tapi juga sedih karena berpisah dengan ayah.
Setelah minggu-minggu berlalu, ternyata batuk ayah tak pernah reda. Justru semakin menjadi. Aku hanya percaya batuk ayah akan sembuh karena ayah akan ke dokter. Aku percaya pada ayah karena ayah orang yang bisa kupercaya dan sering melakukan yang terbaik. Aku kira dia tidak akan batuk lagi. Aku mengenal ayah sebagai orang yang tak pernah berbohong padaku.
Setiap melihat ayah batuk, aku memperhatikan tubuh ayah yang semakin kurus saja. Aku berpikir, mungkin ayah kurang makan. Wajah ayah juga agak terlihat lelah. Mungkin karena ayah kurang istirahat. Aku memang melihat ayah kurang istirahat. Pulang kerja ayah menulis lagi. Senyuman ayah mungkin menipuku. Hingga aku selalu melihat ayah sebagai orang yang selalu kuat dan siap hadapi apa saja.

Spirit Carries On
Tak terasa waktu cepat berlalu. Aku sudah lewati 4 hari ujian akhir SD di sekolahku. Semua berjalan mulus. Meski bukan anak pandai di kelas, aku bisa jawab semua soal-soal ujian. Tanpa banyak masalah. Mulai Matematika; IPA, Bahasa Inggris; Bahasa Indonesia dan lainnya. Tinggal IPS saja yang belum. Itu pelajaran diujikan di hari terakhir.
Aku baru saja bersiap hadapi ujian itu. Jam 10.00 nanti. Sekarang masih 09.15. Dari kejauhan seseorang berseragam kerja mirip ayah datang ke sekolah. Nafasnya tersengal-sengal ketika memasuki sekolah. Orang itu lalu mendatangi seorang guru kami. Aku hanya melhat dari kejauhan. Guru tadi langsung menghampiriku. Wajahnya tampak penuh cemas ketika memandangku.
“Ikuti orang itu Miki. Ayahmu di rumah sakit, Nak.”
Dengar kata guru itu, aku langsung berlari ke rumah sakit. Orang yang seharusnya mengantarku kutinggalkan. Dia pasti sudah kehabisan nafas dan sulit mengejarku. Aku tak peduli. Bayangan buruk soal ayah bersemayam dalam pikiranku. Hingga aku terus berlari memasuki gerbang rumah sakit yang tak jauh dari sekolahku.
Depan gerbang rumahsakit, aku berjalan pelan. Mataku mencari ayah yang entah di ruangan mana. Aku segera masuki rumah sakit. Petugas tampaknya tak akan peduli pada anak kecil sepertiku. Dimana-mana anak kecil tidak penting bagi orang dewasa. Jadi, aku tak akan bertanya dimana ayah pada mereka. Aku tidak mau percaya pada orang dewasa. Hidup mereka sudah dilingkupi kebohongan. Banyak orang dewasa suka bohongi anak kecil.
Aku putuskan langsung masuk dan berlari mencari ayah di semua bangsal. Satu persatu ruangan kumasuki. Kamar pasien, kamar mayat, ruang rontgen, ruang bersalin, dan juga kamar mayat kumasuki. Tak ada ayah. Lalu sampailah aku di ruang gawat darurat. Aku melihat majah ayah dipenuhi luka.
“Ayah!!!!”teriakku.
Aku menangis melihat luka ayah yang banyak. Aku mendekati ayah. Ayah melihatku. Ayah mungkin bersandiwara menutupi kesakitannya padaku. Ayah tetap tersenyum.
“Miki,”suara ayah tampak lemah.
Ini pertama kalinya aku mendengar lemahnya suara ayah. Aku bisa bayangkan derita ayah pagi ini. Lukanya terlihat parah sekali. Ayah lalu batuk berat. Darah keluar dari mulutnya. Aku jadi semakin ngeri.
“Ayah!”
Mendekat padanya dan memeluknya. Ayah sepertinya makin lemah karena lukanya. Dokter-dokter sedang bersiap menolongnya.
“Miki. Jangan sedih, Nak.”
“Ayah akan sembuh khan? Ayah pasti pulang.”
“Ya. Miki. Berdoalah.”
Ayah rupanya merasa semakin lemah. Ayah berusaha bersikap tegar. Ayah terbiasa hadapi kemalangan. Terluka hal biasa. Waktu ayah jadi tukang demo ayah sering terluka dipukuli. Tapi kali ini luka ayah lebih berat. Aku tak kuat membayangkan sakitnya ayah saat ini.
“Miki, janjilah pada ayah, Nak?”
“Iya. Ayah.”
“Jadilah Walmiki yang tak pernah menyerah untuk jujur dan mengejar mimpi?”
“Miki janji, Ayah.”
“Miki mau khan keliling dunia, seperti Miki cita-citakan.”
“Mau, Ayah.”
“Lakukan demi ayah, Nak. Jangan pernah takut. Miki tak pernah sendiri.”
“Iya, Ayah.”
“Maafin Ayah. Ayah tak bisa beri banyak buat Miki. Sekarang, Miki kembali ke sekolah ya. Jalani ujianmu, Nak! Jalani hidup yang kamu pilih dengan senyuman.”
Aku hanya diam mengangguk. Suara ayah makin melemah. Ayah masih terus tersenyum. Ayah akhirnya tak sadarkan diri. Ini pertama kalinya aku melihat ayah begitu menderita. Hebatnya, alam deritanya ayah tak ingin berbagi sedikit pun padaku. Ayah hanya mau berbagi senyum dan hal menarik apasaja.
Perawat kalang-kabut lihat ayah. Dokter akhirnya muncul. Aku lalu dibawa keluar ruang. Aku tak tahu apa yang mereka lakukan pada ayah. Aku pilih turuti kata Ayah.
Aneh juga. Aku begitu sedih dan ingin menangis sebenarnya. Tapi, entah kenapa aku masih jerih berpikir untuk kembali ke sekolah. Aku pelan berjalan sendirian. Aku tak sadar bercak darah menempel di baju sekolahku. Itu darah ayah.
Pukul 10.00 tepat, aku masih beberapa meter dari gerbang sekolah. Aku berjalan pelan-pelan. Langsung menuju tempat ujianku. Kau telat 5 menit, waktu masuk jam dinding menunjuk 10.05 pagi. Kertas-kertas soal dan lembar jawaban sudah dibagi pada murid-murid yang ada di kelas. Aku hampiri meja pengawas.
“Maaf terlambat, aku mau ujian sekarang seperti yang lain?”
“Duduklah!”perintah pengawas sambil memberikanku kertas soal dan lembar jawabannya.
Aku masih bisa kerjakan soal-soal ujian. Meski masih terpikir derita ayah di rumah sakit tadi. Ayah selalu membayangi. Aku jadi ingat senyuman ayah. Ingat tawa ayah. Aku sedih. Rupanya, ingatanku pada yang sedang kritis tak begitu membuatku terganggu. Ayah sedang hadapi ujian hidupnya. Dan, seperti pesan ayah, aku harus hadapi ujianku. Aku harus selesaikan! Apapun yang terjadi. Ini pesan ayah.
Soal-soal IPS ini seolah mampu meredam sebagian sedihku karena soal-soal ini juga menyita pikiranku. Tak terasa aku menyelesaikan ujianku tanpa kesulitan seperti yang kuperkirakan. Aku sudah menjawab 50 butir soal pilihan ganda dalam waktu satu jam. Tepat 11.05 aku selesaikan ujianku.
Aku angkat tangan. Dan pengawas bertanya:
“Ada apa, Nak?”
“Sudah selesai, Bu. Saya boleh keluar?”
Petugas itu mengangguk tak mampu berkata. Dia seperti mengerti apa yang aku alami. Aku keluar perlahan tanpa buat gaduh sedikitpun pada kawan-kawanku yang sibuk dengan soal ujiannya. Guru pengawas memandangiku dengan wajah sedih.
“Sabar ya, Miki”
Aku hanya mengangguk dan perlahan menghilang dari kelas. Aku ke rumah sakit lagi. Pikiranku sekarang ke Ayah. Aku ingin melihatnya. Meski aku tak tega lihat derita ayah, tapi aku harus datang padanya.
Semua ujian akhirku selesai. Aku kerjakan semuanya dengan kejujuranku, seperti cita-cita ayah. Aku tak peduli hasilnya. Lulus tak lulus bukan masalah. Kejujuran dan kerjakeras lebih ayah banggakan ketimbang hasilnya.
Aku sampai rumah sakit lagi. Ke tempat ayah tadi. Di luar kamar ada beberapa kawan ayah. Pintu kamar tertutup. Kami tak boleh masuk. Aku pun tak mau ganggu apapun. Mereka lalu mengajakku duduk. Mereka mengelus rambutku yang sedang mengembang karena kering.
“Mirip Ayahmu,”kata salah satu dari mereka.
“Ayah masih di dalam?”
“Iya. Ayah sudah ‘dijemput,’Miki. Sabar ya,”jawab kawan ayah yang lain.
Tak terasa air mata menetes. Sebagai anak kecil aku tak kuasa terima kenyataan itu. Aku kehilangan ayah, senyumannya dan juga semangatnya yang selalu membuat hidupku nyaman tiap hari. Salah satu kawan ayah lalu merangkulku.
Pintu terbuka. Kereta keluar. Aku lalu bangkit menuju kereta. Tak seorangpun hentikan aku.
“Boleh aku lihat dia. Sebentar saja. Untuk terakhir kali, Suster?”
Suster menuruti. Aku lalu membuka kain putih yang menutupi. Aku memandang wajah ayah. Wajah ayah pucat. Raut-raut wajah menunjukan ayah pergi dalam senyuman. Aku lalu mencium kening Ayah. Tak lupa ucap kalimat terakhir.
“Ayah masih hidup dalam hatiku. Selamat jalan, Ayah.”
Setelah menutup wajah ayah lagi, suster lalu mendorong kereta ke kamar mayat. Aku berjalan lagi ke kawan-kawan ayah yang sedang berunding. Entah apa yang mereka rundingkan. Salah satu dari mereka lalu antar aku pulang dengan mobil. Tak lupa ambil sepedaku di sekolah.
Aku berdiam diri di mobil. Semua orang mengerti. Aku hanya teringat ayah saja. Terlintas lagi kenangan-kenangan bersama Ayah. Sampai rumah aku turun pelan-pelan dari mobil. Kawan ayah harus repot urus aku karena rasa setiakawannya pada Ayah. Setelah dia taruh sepedaku dia menghilang. Banyak hal yang harus diurusnya.
Aku masuki rumah mungil yang aku tinggali bersama ayah selama bertahun-tahun. Satu persatu isi rumah kulihat. Aku merasa tergerak masuki kamar ayah yang sebelumnya tak berani kumasuki. Tak ada yang luar biasa. Hanya ada kasur, lemari kecil berisi pakaian, dan buku harian diatas kasur ayah. Tanganku pun memungut buku catatan harian ayah itu.
Bersama buku harian itu aku keluar kamar. Aku jadi ingin tahu lebih banyak tentang ayah dari buku harian itu. Aku lalu memandangi koleksi piringan hitam ayah. Kuambil album Music From Film More. Kulihat lagu Pink Floyd, Crying Song. Lagu ini kuputar itu untuk kesedihanku. Lalu lagu Green is the Colour untuk menghormati ayah. Lagu ini meyakinkanku. Ada semangat ayah yang masih ada dalam diriku.
Aku lalu carai semua koleksi Pink Floyd yang ayah punya. Setelah itu aku putar semua satu persatu. Dan seharian hingga aku terlelap Pink Floyd mengalun di rumah mungilku. Tak hanya di hari kematian dan hari pemakaman ayah saja. Seminggu berturut-turut lagu yang kuputar tiap hari adalah lagu Pink Floyd yang ayah koleksi. Selama semingguan, kecuali menghadiri pemakaman ayah, aku tak keluar rumah. Hanya mendengar Pink Floyd.
Tepat hari ke tujuh, tepat ketika lagu dari piringan hitam habis, dari luar terdengar lagu dari radio tetangga. Sebuah lagu rock mengema di telingaku.
“If I die tomorrow, I’ll be alright because I believe. What you have gone, spirit carries on.”
Lagu itu membuatku yakin. Ayah boleh pergi selama-lama dari hidup ini tapi semangat ayah tetap ada. Belakangan aku tahu itu lagu dari Dreamtheater. Aku sering memutarnya juga ketika aku tak lagi di Balikpapan. Spirit Carries On.

Sebuah Buku Harian
Setelah pemakaman ayah. Aku tak berlama-lama di makam ayah. Aku tahu itu bakal repotkan kawan-kawan ayah yang mengantarku. Aku tak mau bikin mereka jadi repot. Mereka juga sedih kehilangan kawan seperti ayah.
Aku langsung pulang saja dan menyendiri. Tak selalu sendiri. Kadang kawan-kawan ayah datang bawa makanan agar aku tak kelaparan. Diantara mereka juga ajak aku tinggal di rumah mereka. Tapi aku lebih ingin aku di rumah ini saja. Mereka mengerti. Tak lupa mereka berpesan.
“Mainlah ke rumah ya kalau bosan sendiri.”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum atas kebaikan mereka. Melihat aku tersenyum mereka akan berkomentar atas semnyumku.
“Senyummu mirip ayahmu, Nak.”
Mereka yakinkan aku lagi. Ayah masih ada dalam diriku. Aku tak ada alasan untuk sedih lagi karenanya.
Begitu rumah sepi, aku langsung lagu diputar Pink Floyd lagi. Untuk mengenang ayahku yag keren. Dan kursi tempat ayah biasa bermalas-malasan kalau pulang kerja jadi singgasanaku.
Aku berbaring dan mulai buka catatan ayah. Foto-foto tua terselip disana. Aa empat foto. Aku temukan foto ayah menggendong bayi sambil tersenyum. Wajah ayah tak banyak berubah. Di balik foto tertulis, “Aku dan darah dagingku, Walmiki.”
Foto kedua, ayah merangkul seorang perempuan. Manis sekali. Lesung pipitnya aku yakin bikin ayah jatuh cinta padanya. Aku lihat halaman belakangnya. Ada tulisan juga. “Di Makassar, bersama Ladya matahariku.”
Aku baru tahu, nama Ibuku Ladya. Ayah mungkin akan menceritakan padaku jika bertanya. Atau memberitahuku pada suatu hari.
Foto ketiga seorang perempuan menyusui aku yang masih bayi. Wajah wanita itu mirip perempuan di foto kedua tadi. Aku lihat sisi belakag fotonya, “Ladya dan Walmiki. Kini hidupku untuk kalian berdua.”
Aku terenyuh membacanya. Ayah sudah buktikan kalimat terakhir. Ayah selama ini menjagaku dan selalu membuatku nyaman.
Foto keempat foto kami bertiga. Kepala ayah menempel kepala Ibu. Mereka tersenyum menggendongku bersama. Aku bayangkan ayah memncium kening ibu sebelum atau sesudah foto ini diambil. Aku lihat di belakangnya. “Kami bertiga dalam bahagia. Sayang tak lama. Leukimia merenggut Ladya.”
Aku paham kenapa ayah tak pernah bicara soal Ibu dari kemarin-kemarin padaku. Mungkin aku akan menangis. Tentu ayah tak mau berbohong dengan bilang Ibumu sedang di pergi besok Ibu pulang agar aku tidak menangis. Ayah tak mau ajarkan aku berbohong dengan menyimpan rapat rahasia itu. Ayah ingin ajarkan aku jujur dengan sebisa mungkin tak mau berbohong padaku soal apapun.
Selanjutnya aku membaca satu persatu buk harian itu. Tulisan tangan ayah tak begitu bagus tapi aku bisa membacanya. Aku baru tahu kalau ayah pernah ke Papua, Padang, Nias dan banyak tempat jauh yang lain. Di halaman berikutnya ayah menulis Ibu:
“Ya Tuhan, dia begitu mempesona. Baik hati. Dia rela menolong siapa saja. Masakannya juga enak. Aku selalu merindukan sambal buatannya. Ya Tuhan, kenapa kau ciptakan dia?”
Di bagian lain ayah menulis:
“Setelah pengejaran panjang dan berulang kali jatuh bangun, Ladya perlahan luluh. Langit seakan runtuh saja.”
Aku tersenyum membacanya. Mendapatkan hati Ibu tak mudah. Ayah pasti begitu sayang pada Ibu. Seperti Ayah sayang padaku.
Di halaman lain ada guntingan artikel yang diselipkan Ayah. Astaga! Dari majalah Bobo. Dua cerpenku yang dimuat mereka. Kutemukan Ayah menulis lagi:
“Aku tak mau ikuti jejakku. Aku hanya ingin dia lakukan apa yang dia mau. Yang terjadi, dia menulis cerpen diam-diam. Aku benar-benar bangga. Mungkin ada darah penulis mengalir padanya. Itu cukup melegakan setelah ini aku benar-benar biarkan Walmiki memilih jalannya.”
Aku tersenyum membacanya. Seakan aku tidak sedang berduka. Aku lalu bangkit keluar rumah. Hari ternyata sudah sore. Kuambil sepedaku yang bersanding disebelah sepeda ayah yang sedikit rusak karena tabrakan yang menewaskan ayah minggu lalu. Aku keluar rumah setelah seminggu tak keluar rumah dan mendengarkan Pink Floyd.
Matahari masih bersinar cerah.
Setelah memasukan buku harian ayah ke tas, lalu mengayuh sepedaku ke susuri Klandasan. Sore masih begitu indah. Aku terus melaju sampai ke Melawai yang sepi. Sampai Melawai,matahari mulai tenggelam.
Aku tak sadar sebuah mobil mengikutiku. Begitu aku berhenti mobil itu juga ikut berhenti. Aku tak peduli. Seorang wanita seumuran ayah keluar dari mobil. Wanita itu menghampiriku.
“Walmiki?”
“Iya, Tante.”
“Saya Theresa. Saya turut berduka cita soal ayah. Saya kenal ayah dan ibu kamu. Waktu kamu dilahirkan saya juga lihat.”
“Terimakasih, Tante.”
Aku hanya tersenyum seperti ayah biasa tersenyum padaku. Dan, aku ingin tersenyum pada dunia seperti ayah.
“Miki, ayah sudah surati Tante bulan kemarin kalau Miki mau sekolah di Malang, tempat Tante mengajar. Tante sekalian mau jemput Miki. Besok siang kita berangkat. Tante sudah beli tiketnya. Pihak sekolah janji kirim Ijazah Miki kalau keluar minggu depan. Buat sementara rumah dan isinya ditinggal dulu. Akta rumah yang atas nama Miki itu biar kita bawa.”
Mengejutkan lagi. Rumah yang dulu kami sewa sudah dibeli ayah. Atas nama aku pula. Aku selalu mengejutkanku. Bahkan setelah kepergiannya.
“Iya,Tante terimakasih.”
“ Besok siang tante jemput di rumah. Miki, sekarang Tante pergi dulu ya? Tante ada urusan dulu. Jangan lupa ya? Kemas-kemas besok berangkat.”
“Iya, Tante. Terimakasih. Miki nanti siap-siap.”
Tante Theresa lalu menghilang bersama mobil pinjamannya. Aku habiskan sore meneruskan membaca buku harian ayah. Menelanjangi masa lalu ayah. Ada sedikit cerita ayah waktu kuliah juga. Jadi mahasiswa gondrong tukang demo. Jadi asisten dosen, mengunjungi asrama putri dan masih banyak lagi.
Hari sudah senja. Gelap hampir datang. Begitu buku harian ayah kututup, aku merasa perlu beli buku harian juga. Aku segera menyambar sepedaku. Aku akan ambil sisa uang di rumah dulu, lalu ke Klandasan lagi. Aku begitu bersemangat jalani hariku yang tanpa ayah secara nyata bersamaku.
Begitu buku harian yang sama tebal dengan milik ayah terbeli, aku kemas-kemas. Aku hanya bawa beberapa pasang pakaian. Tak lupa Atlas, kompas dan buku harianku kumasukan ke tas. Setelah mengambil sebuah fotoku masih bayi bersama ayah dan ibu, aku kembalikan buku harian ayah ke kamarnya. Aku memaku semua jendela dari dalam. Semua barang seperti piringan hitam, mesin tik, buku-buku ayah di rak dan lainnya kututup kain putih semuanya. Aku akan meninggalkan rumah dalam waktu lama.
Esok harinya beberapa kawan ayah datang, begitu juga petugas pos. Petugas pos hanya sebentar, hanya memberikan rekening tabungan emas dari ayah yang diwariskan ke aku. Aku tak pernah menyentuh warisan itu kemudian. Sementara kawan-kawan ayah memberi aku hadiah perpisahan yang lumayan banyak. Entaha uang, pena atau novel. Mereka tahu aku suka menulis dan membaca. Hadiah mereka kumasukan ke tas.
Tante Theresa pun muncul dengan mobil pinjamannya. Aku segera ambil tasku dan gitar listrik Gibson Les Paul milik ayah, lalu memasukanya ke mobil. Kami tak lama di rumah. Setelah menguncinya aku beri ucapan perpisahan pada kawan-kawan ayah. Mereka memeluk dan menciumiku. Aku akan rindukan mereka juga.
Mobil meninggalkan rumah mungilku. Mobil menuju bandara. Setelah chek in kami menunggu masuk ke pesawat. Gibson di sebelah kiriku. Tante Therasa disebelah kanan. Aku mulai mencoba mengisi sedikit buku harianku. Tapi tak satu pun coretan yang kubuat. Akhirnya buku harian kututup lagi.
Ketika masuk pesawat aku menenteng sendiri gitar dan tasku. Semula tante mau bantu, tapi pilih melakukannya sendiri. Aku ingin seperti terlihat keren seperti ayah. Aku naik pesawat. Ini pertama kalinya naik pesawat. Menebarkan. Menyenangkan. Aku memutuskan sesuatu lagi. Aku teringat ayah lagi. Buku harian kubuka lagi. Aku menulis:
“Aku putuskan untuk menjadi pilot. Aku bisa keliling dunia lebih cepat. Aku percaya, jika bisa melakukannya ayah akan bahagia dan bangga padaku.”
Itulah kalimat-kalimat pertama yang kutulis di buku harianku.

Sepuluh Tahun berlalu…..
Aku bukan lagi anak kecil sekarang. Aku sudah selesaikan SMP tiga tahun dan SMA tiga tahun di Malang. Setelah itu, satu setengah tahun Sekolah Pilot di Texas, Amerika dengan beasiswa dari perusahaan cargo udara paling kesohor di dunia.
Sebagai balas jasa, aku kerja di perusahaan itu sebagai pilot. Dalam waktu dua tahun, aku sudah mengunjungi beberapa Negara di Afrika, Eropa, Asia, Australia dan Amerika. Aku selalu menandai kota-kota yang kukunjungi di Atlasku yang dulu dibelikan Ayah. Di sakuku, kompas yang kubeli di Klandasan selalu menemaniku kemana saja.
Aku tak pernah menulis puisi lagi sejak di Malang. Aku lebih banyak menulis lirik-lirik lagu. Setidaknya aku masih penulis. Gitar Gibson Les Paul ayah juga menyertaiku. Waktu di Malang, aku pernah ikut konser band amatir sebagai gitaris dengan gitar itu. Aku biasa memainkan Pink Floyd. Atau lagu-lagu rock lain yang beremangat. Juga lagu-lagu ciptaanku.
Suatu kali aku temukan buku yang ditulis ayah. Sejarah Balikpapan. Aku jadi paham kenapa ayah tandai petanya. Area yang ayah tandai ternyata tempat-tempat bersejarah di Balikpapan. Aku pun selalu bawa buku itu kemanapun aku terbang. Kadang aku pamerkan buku itu pada kawan-kawanku, Ayahku sejarawan kecil. Aku bangga.
Aku masih ingat Ayah. Ayah selalu bersamaku, dalam hatiku. Juga Ibu yang tak pernah aku temui. Aku selalu membawa foto mereka. Aku tak pernah sedih ketika tunjukkan foto mereka pada pacar-pacarku. Aku bangga pada mereka. Dan selalu bersemangat ketika bercerita tentang mereka. Ibuku perempuan manis, baik hati dan sambel buatannya bikin jatuh cinta. Ayah tentu orang cerdas yang bersembunyi dengan sosok pekerja kerasnya sebagai buruh.
Aku tak jadi seperti Resi Walmiki yang mengarang Ramayana. Hanya nama kami yang beda. Aku adalah Walmiki yang lain. Pilot pesawat angkut yang suka menulis lagu buat band rock amatirnya. Band Rock yang eksis untuk bersenang-senang saja.
Suatu kali aku datang ke sebuah jamuan makan tradisonal. Aku menemukan sambal yang enak sekali. Aku merasa akan alami yang seperti hal indah yang ayah alami hingga melahirkanku. Lalu aku bertanya ke perempuan manis seumuranku yang ada di depanku.
“Siapa yang buat sambal ini?”
“Aku. Ada masalah?”
“Tidak, mau tahu siapa namamu.”
Perempuan itu tersenyum. Matanya seperti tahluk oleh mataku.
“Ladya.”
Namanya mirip Ibu. Punya lesung pipit juga. Aku berikan senyumku. Seperti senyum ayah.
“Aku Walmiki.”
Perempuan itu tersenyum.
Ketika aku mengunjungi Balikpapan setelah sepuluh tahun, Perempuan itulah yang sekarang kuajak mengunjungi rumah mungilku di Stal Kuda Balikpapan. Dia senang sekali waktu aku bilang, namanya mirip Ibuku. Dan dia rela mendengar celotehanku tentang ayah, rumah mungil dan masa kecilku yang indah di Balikpapan bersama ayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun