Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Situs Wisata Religi Sunan Gunungjati Cirebon Surga bagi Para Peminta-minta

18 Mei 2023   09:48 Diperbarui: 18 Mei 2023   09:51 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengemis dan peminta nyaris di semua sudut area makam

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 waktu bus wisata yang kami sewa memasuki kota Cirebon.  Suasana masih hujan deras.  Terlihat lewat kaca spion dinding bus berlepot lumpur.  Maklum selama perjalann bus tertatih melewati jalanan bergelombng dan tergenang air.

Gapura masuk kompleks makam terlihat,  seseorang di depan gapura memberi tanda bus kami boleh masuk.  Sopir tanggap membelokkan setir,  membuka sedikit jendela depan dan mengulurkan receh.

Masuk gapura  situs, bus berjalan terseok,  terguncang keras kekiri dan kekanan, jalanan  menuju terminal kompleks makam rusak parah.  


Seseorang yang dekat loket masuk melambaikan tangan, memberi aba-aba pada sopir, tapi sopir menolak karena harus melewati jalan berkubang. Bus lalu berbelok ke kanan menuju terminal utama,  mencari tempat yang kering dan lebih leluasa.

Para pemumpang turun,  pimpinan rombongan  menginstruksikan kepada para peserra untuk segera turun dan menuju langsung ke kompleks makam.  

Kami pun turun beriringan,  menuju ke kompleks makam yang letaknya ada di sebelah barat terminal.

Belum lama kami berjalan, sepanjang jalan satu dua orang peminta sudah mulai melancarkan aksinya.  Mereka
Mulai memohon setengah berteriak,  "shodakohnya pak haji,  shodahkohnya bu haji,  semoga dapat berkah,  seribu atau 2 ribu seikhlasnya".

Sudah yang kesekian kalinya saya berkunjung ke tempat ini.  Jadi kalau mendengar orang berteriak seperti itu ya seperti biasa saja.  Rombongan terus berjalan. Menyeruak diantara pengunjung yang lain.  

Sodakohnya pak haji bu haji/ dokpri
Sodakohnya pak haji bu haji/ dokpri
Mendekati gapura,  teriakan orang meminta semakin keras.  Satu orang menunggu kotak,  beberapa orang meminta para pengunjung untuk memberikan uang.  Mereka berteriak sahut-sahutan tiada henti.  

Masuk gapura makam,  sebaris orang menggunakan berbagai alat untuk meminta. Bakul nasi,  panci,  baskom,  bahkan helm rusak mereka gunakan.  Tentu dengan suara yang sama,
"Sodakohnya bu haji,  sodakohnya pak haji, semoga barokah".

Seorang ibu entah dari rombongan mana, merogoh tas, bermaksud mengambil uang kecil,  sambil berjalan ia terus merogoh tasnya.  Para peminta yang melihat adegan ini langsung mengeroyok menyorongkan wadah agar ibu ini mau memasukkan uang ke dalam wadah mereka. Karena dikeroyok ibu ini kehilangan keseimbangan,  ia tersandung dan terjerambab..  Ealah.. Segitunya orang meminta.

Masuk ke ruangan utama dimana Kanjeng Sunan dimakamkan,  pimpinan rombongan kami absen kunjungan pada pekuncen yang mengurusi buku tamu.   Suara berbagai wadah ditabuh pelan,  mengisyaratkan kepada para pengunjung untuk berderma.  

Pimpinan rombongan lapor pada pekuncen dan mengisi buku tamu/dokpri
Pimpinan rombongan lapor pada pekuncen dan mengisi buku tamu/dokpri

Yang di dalam area dalam ini  adalah para pekuncen yang memakai seragam abdi dalem, menurut penduduk setempat dinamai Pakelingan.
Mereka adalah keturunan ke 15 dari kerajaan Kelingga Kediri yang anak keturunannya mengabdikan diri pada Sunan Gunung Jati. Mengenai sejarah pakelingan lihat di sini.

Mereka menjadi penjaga makam tidak digaji dan hanya mengandalkan derma dari para peziarah.  

Kami serombongan mencari tempat yang agak lega. Berhimpit dengan dengan kijing dan pengunjung lain.  Yang penting menyatu dan tidak menduduki kijing karena dilarang.

Tahlil,  tahmid, dan takbir menggema dalam ruangan.  Bersahut-sahutan karena dalam ruangan yang sangat terbatas,  dan banyak rombongan.  Kami berusaha khusuk sembari mengingat perjuangan para wali membawa kalimat Tauhid untuk msayarakat Indonesia khususnya di pulau jawa.  

Ditengah kekhusukan kami berdoa,  seorang pekuncen berjalan mengelilingi para peziarah menggunakan bakul nasi.  Uang kecil recehan tertabur satu demi satu dari tangan para peziarah.  Ada yang memberi ada yang tidak.  Saya pun mengulurkan seadanya.  

Selesai ritual di makam Sunan Gunungjati,  kami bergeser ke tempat lain.  Ke makam Sang Guru,  yaitu syekh Dzatul Kafi, di Bukit Astana Gunungjati.

Pengemis dan peminta nyaris di semua sudut area makam
Pengemis dan peminta nyaris di semua sudut area makam
Menyusuri gang sempit yang tembus ke jalan raya menuju bukit Astana,  kami juga menemukan barisan para peminta.  Kecil besar tua muda laki perempuan.  Mereka berbaris,  memenuhi gang.  Menyodorkan berbagai wadah.  Sambilnya mulutnya terus mengiba meminta sedekah dari para peziarah.

Sampai di jalan besar yang menghubungkan  kompleks makam Sunan Gunungjati dan Makam Syekh Dzatul Kafi,  serombongan laki-laki mudah dan paruh baya memberi isyarat menggunakan kain yang dijadikan bendera.  Beberapa orang memberi aba-aba pada kendaraan yng berlalu-lalang untuk berhenti sejenak,  dan yang lain berdiri berjajar menyadongkan tangan meminta sedekah dari para pengunjung,  mungkin ini sebagai bayaran atas jasa mereka menyeberangkan jalan para pengunjung.

Anak-anak kecil berpakaian rapi dan berwajah bersih pun dikaryakan utk jadi pengemis/ dokpri
Anak-anak kecil berpakaian rapi dan berwajah bersih pun dikaryakan utk jadi pengemis/ dokpri
Masuk gapura bukit Astana,  serangan para peminta kembali dimulai.  Kotak berjejer dari anak tangga terbawah sampai ke puncak bukit.  Laki-laki muda berombongan tanpa rasa malu terus mengoceh,  meminta sedekah,  mencegat para pengunjung untuk memasukkan receh ke dalam kotak atau meminta langsung kepada para pengunjung.  

Bahkan menjelang pintu masuk ke Makam,  anak-anak kecil berbaris menyadongkan tangan.  Padahal kalau dilihat dari pakaian dan wajah anak-anak,  mereka sepertinya bukan orng miskin karena terlihat bersih dan rapi.  

Sampai di depan pintu makam,  pengunjung belum terbebas dari para peminta.  Seorang pria paruh baya menanyai asal para peziarah satu persatu.  Mereka  menuding salah satu sudut tempat dekat pagar dan menyebut,  "Semarang di sini,  Jakarta di sini,  Probolinggo di sini".   Ternyata mereka mengumpulkan alas kaki para pengunjung dalam satu tempat menurut kota asal,  agar saat keluar bisa mengambilnya kembali dengan mudah. Dan ini salah satu alasan mereka meminta upeti kepada para peziarah.  

Sampai kami kembali ke parkiran bus,  teror para pengemis tak berhenti sampai mesin bus dinyalakan dan melanjutkan perjalanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun