Lalu dengan sigap bapak ini memotong beberapa iris daging menaruhnya dalam dua mangkok, Â dan menyiramkan kuah yang terlihat masih panas.
Sebelum menyendok makanan yang tersaji, Â saya bertanya pada penjualnya.
"Satu porsi berapa? "
Penjual ini tidak menjawab, Â entah tidak dengar atau pura-pura tidak dengar. Â Ia malah sibuk membuatkan esteh, Â menaruh irisan jeruk, Â kecap dan sambal di meja saya.
Saya masih berbaik sangka.  Tapi saya sudah cukup kawatir karena waktu itu lagi viral di media sosial orang-orang yang dikepruk dengan harga selangit waktu  makan di pinggir jalan.
Kami segera menikmati hidangan. Â Saya sendiri dan istri saya makan bersama si sulung. Â Keringat menderas, Â karena makanan panas dengan tambahan sambal yang super pedas.
Selesai makan, sambil menggerak-gerakkan lidah karena ada daging yang terselip diantara gigi, Â saya kembali bertanya.
" Sampun pak, Â pinten? ",
Bapak ini lalu mengambil kakulator. Â Sejenak ia menoleh pada kami dan kembali kakulatornya. Sepertinya ia sedang mengira-ira berapa harga yang pantas untuk kami. Â
Cukup lama ia mengutak-atik kakulatornya, Â saya jadi curiga. Â Kami makan tak banyak. Â Hanya 2 porsi gulai kambing tambah 3 piring nasi, Â dan 2 esteh. Tapi bapak ini sangat lama sekali menghitungnya seperti menghitung puluhan porsi. Â
Lalu saat yang saya kawatirkan tiba, Â penjual ini bapak ini sambil memandang kami menyerahkan selembar nota polos bertuliskan Rp. Â 320.000.