Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Gagal Beli Seragam Sekolah karena Jajan Digetok Harga Selangit

13 Mei 2023   13:40 Diperbarui: 13 Mei 2023   13:44 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : pixabay.com

Membaca banyak berita tentang oran-orang yang makan dan digetok dengan harga tidak wajar,  saya teringat kejadian yang menimpa saya belasan tahun lalu. Ini kisahnya:

Suatu hari,  anak bungsu saya meminta seragam.  Karena itu tahun ajaran baru dan pihak sekolah mempersilahkan para walimurid untuk memilih seragam beli di sekolah atau beli di luar, yang penting motifnya sama meskipun dari bahan yang berbeda.  

Saya bergegas membuka celengan,  saya hitungan tabungan dari sisa hasil jualan beberapa bulan,  dan terlihat sekumpulan uang receh berjumlah 375 ribu.

Mata saya berbinar,  uang itu segera saya masukkan ke dalam tas,  dan saya segera menyalakan motor bersiap ke pasar bersama anak istri saya untuk mencari seragam anak saya.

Kami masuk ke sebuah toko pakaian yang menyediakan berbagai perlengkapan sekolah, di situ juga menyediakan bermacam seragam dari SD-SMU.  Ternyata disitu tidak ada seragam yang pas untuk anak saya.  

Sudah beberapa toko yang kami masuki,  tapi tak ada satupun yang cocok.  

Kami meneruskan perjalanan,  tetiba di pinggir sebuah bundaran istri saya nyeletuk kalau dia lapar dan menuding sebuah tenda kecil bertuliskan "Gulai Kambing dan Tongseng". Saya menepikan kendaraan dan masuk ke tenda itu.

Penjualnya bapak-bapak sepuh, dan terlihat kalau warung tenda itu tak ada pembeli.  Saya berasumsi mungkin baru buka jadi wajar kalau sepi.

Setelah duduk saya langsung memesan makanan.

"Dua porsi gulai kambing pak", kata saya.  

Lalu dengan sigap bapak ini memotong beberapa iris daging menaruhnya dalam dua mangkok,  dan menyiramkan kuah yang terlihat masih panas.

Sebelum menyendok makanan yang tersaji,  saya bertanya pada penjualnya.

"Satu porsi berapa? "

Penjual ini tidak menjawab,  entah tidak dengar atau pura-pura tidak dengar.  Ia malah sibuk membuatkan esteh,  menaruh irisan jeruk,  kecap dan sambal di meja saya.

Saya masih berbaik sangka.  Tapi saya sudah cukup kawatir karena waktu itu lagi viral di media sosial orang-orang yang dikepruk dengan harga selangit waktu  makan di pinggir jalan.

Kami segera menikmati hidangan.  Saya sendiri dan istri saya makan bersama si sulung.  Keringat menderas,  karena makanan panas dengan tambahan sambal yang super pedas.

Selesai makan, sambil menggerak-gerakkan lidah karena ada daging yang terselip diantara gigi,  saya kembali bertanya.

" Sampun pak,  pinten? ",

Bapak ini lalu mengambil kakulator.  Sejenak ia menoleh pada kami dan kembali kakulatornya. Sepertinya ia sedang mengira-ira berapa harga yang pantas untuk kami.  

Cukup lama ia mengutak-atik kakulatornya,  saya jadi curiga.  Kami makan tak banyak.  Hanya 2 porsi gulai kambing tambah 3 piring nasi,  dan 2 esteh. Tapi bapak ini sangat lama sekali menghitungnya seperti menghitung puluhan porsi.  

Lalu saat yang saya kawatirkan tiba,  penjual ini bapak ini sambil memandang kami menyerahkan selembar nota polos bertuliskan Rp.  320.000.

Saya terhenyak.  Saya tidak menyangka akan habis sebanyak itu.  Saya berpedoman di kota kami banyak warung gulai kambing yang harga menunya antara 25 ribu sampai 30 ribu perporsi.  Itu bahkan sudah di warung makan yang ada kipas anginnya.

Saya kembali bertanya,  "Bapak sudah bener ngitungnya?  Gulainya berapa nasi putih berapa, esteh berapa? "

Bapak ini dengan enteng menjawab,  "pokoknya semuanya segitu".

Saya sedikit gemetar,  merogoh tas yang berisi uang ribuan yang sudah saya bendel  "seratusribuan" dan saya serahkan 320 ribu dengan perasaan yang tak terbayangkan.

Teringat saya dengan tujuan semula membelikan seragam sekolah buat si bungsu,  saya makin masyghul. Saya menyesal mengapa tadi tidak cari seragam dulu baru mampir makan.

Akhirnya kendaraan saya pacu kembali ke rumah.  Sepanjang perjalanan kami terdiam seribu bahasa.  Tak tahu harus berbuat apa.  
Yang jelas hari ini kejadian di warung tenda itu seperti shock terapi dan pengingat saya untuk tidak makan  sembarang warung pinggir jalan.

nb: Si bungsu sekarang sudah kuliah dan hampir selesai program S1 nya.  Ketika saya tanya ia masih ingat saat pertama kali masuk sd karena memakai baju milik kakaknya yang ukurannya tidak pas dan membuat ia kedodoran.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun