Mbah Sopiyatun bercerita bahwa waktu mudanya ia juga berjualan.  Berjualan hasil bumi,  arang kayu,  dan kerajinan bambu dari  kampungnya menuju ke pasar Ungaran yang jaraknya 10KM.  Pasar Ungaran  merupakan pasar lama  yang  sejak jaman penjajahan menjadi pusat ekonomi  masyarakat sekitarnya.
Mbah Sopiyatun  menempuh jarak 10 KM ini
dengan berjalan kaki. Â
Saya bertanya kakinya pakai  pelindung apa saat berjalan sejauh itu dengan beban berat di punggungnya?
"Mboten ngangge sandal mas,  wong  mboten gadhah",  (tidak pakai sandal mas,  wong tidak punya),  jawab mbah Sopiyatun.
Jalan becek dan licin serta tanjakan maut di dekat alas penggaron yang gelap gulita tanpa penerangan ditempuh  oleh para perempuan di kampungnya untuk bisa mencapai pasar ungaran.
Belum lagi kalau terjadi hujan saat di perjalanan, Â mengingat waktu itu rumah belum banyak disepanjang jalan. Â
Padahal dari Kalikayen ke pasar Ungaran paling tidak butuh waktu 3-4 jam.
Bisa dibayangkan bukan?
Jaman dahulu  belum ada senter,  jadi para perempuan menggunakan oncor atau blarak untuk membuat penerangan saat melakukan perjalanan panjang.
Di pasar Ungaran ini mbah Sopiyatun bertemu dengan para tengkulak langganan dari luar kota. Dan terkadang harus pasrah dengan harga maksimal yang  dipatok. Â
Mereka harus rela barangnya  dibayar  dengan harga berapapun.  Asal barangnya laku.  Dan pagi hari bisa pulang membawa beras,  lauk pauk,  gula, teh,  atau sekedar jajanan untuk anak di rumah.
Mbah Sopiyatun juga bercerita bahwa beliau memiliki tiga anak dengan 9 cucu.  Semuanya telah mandiri dan tinggal di daerah lain. Hanya waktu lebaran anak-anak mbah Sopiyatun  bisa pulang,  karena jarak dan biaya perjalanan. Â