Pagi itu mendung  menggantung,  langit terlhat redup.  Sudah pukul 09.00 kehangatan matahari belum nampak juga.  Tanah-tanah terlihat lembab,  menyisakan tetes hujan yang  turun semalaman.
Saya biasa setiap bagi berbagi rejeki dengan makhluk Tuhan bernama ayam, Â mengaduk bekatul, Â jagung, Â dan nasi sisa semalam untuk sarapan mereka. Â
Tiba-tiba terdengar suara perempuan lirih,
"rempeyek mas.... "
samar-samar mampir ke telinga diantara celoteh ayam berebut pakan. Â
Saya  terburu-buru keluar dan seorang perempuan tua menggendong bakul besar berisi berbagai jenis rempeyek,  hampir saja meninggalkan tempat tinggal saya untuk melanjutkan perjalanan.
Mbah Sopiyatun,  itu nama yang  disebut saat saya bertanya.
Pakaian lusuh,  dengan gulungan jarik dan baju khas orang desa membungkus tubuh nenek tua ini.  Sandal jepit yang  telah usang,  menjadi pengganjal kakinya dari kerikil dan rasa panas aspal jalanan di kaki kecilnya.
Wajah tua itu tetsenyum,  menghadirkan gigi tua yang  tumbuhnya mulai tak beraturan.