Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pesugihan Babi Ngepet

9 Februari 2020   23:15 Diperbarui: 9 Februari 2020   23:39 1818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Babi hitam itu menggeram,  mengaduh dan menjerit,  Suaranya kencang memekakan telinga. Tapi warga tidak peduli. Mereka terus memukulinya menggunkan apa saja.

Luka menganga di seluruh tubuh akibat pukulan berbagai benda tumpul, dan tusukan senjata tajam mengakibatkan darah bercampur tanah melekat di tubuh babi.

Limbung,  lalu tergeletak tak berdaya. Bergegas warga mengikatnya dan memasukkan ke dalam kandang besi.

Hari itu memang naas bagi Ratno.  Setelah beberapa aksi  luput dari pengamatan warga, malam itu jadi aksi pamungkas ritualnya. Ia ketahuan saat  menggosokkan badan ke tembok milik seorang warga.  Tak mampu melarikan diri, lalu berakhir tragis.

Sambil terus merintih menahan sakit,  Ratno mengingat semua yang telah terjadi.  Istrinya  terus menerus mengeluh dengan kondisi hidupnya.  Menikah sudah 7 tahun,  belum punya anak,  tapi ekonomi mereka tak kunjung naik.

Godaan hidup menderanya. Ia merasa tak pernah merasa bahagia seperti teman-temannya. Mereka punya pekerjaan mapan,  mobil, rumah,  perhiasan,  peralatan rumah tangga lengkap, tapi keluarga Ratno nyaris tak punya  apa-apa.  

Bahkan untuk makan pun,  terkadang mereka harus ngutang ke warung tetangga.

Pekerjaan Ratno memang serabutan.  Dari buruh bangunan,  tukang sampah,  tukang parkir, sampai jadi tukang ojek.  

Tapi akhir-akhir ini seperti tak ada seorang pun yang mau mengajaknya bekerja.

Untuk jadi pencopet  atau pencuri,  ia takut.  Mengingat nasib temannya yang bersimbah darah tertembus timah panas polisi.

Lalu sebuah informasi terdengar dari pembicaraan orang-orang di pos ronda,  diam-diam ia menyimaknya.  Tentang pesugihan babi ngepet yang melegenda.

Satu-satunya yang ia ingat adalah nama Parangkusumo sebuah tempat di pantai Selatan pulau Jawa.

Sore itu ia berpamit pada istrinya,  bahwa ia akan menempuh perjalanan panjang beberapa hari.  

Tak sulit menemukan pantai Parangkusumo,  hanya beberapa menit dari pusat kota,  dengan menaiki bus kecil antar kota.

Dalam lautan pasir yang luas,  diantara bukit yang ditumbuhi banyak pohon kaktus.  Ia menemukan sebuah tempat.  Seperti sudah biasa didatangi manusia.

Sebuah goa menganga.  Dengan ruangan dalam yang sedikit terang karena cahaya matahari yang masuk melalui celah batu.
Seorang perempuan tua dengan gigi hitam telah menyambutnya. Sepertinya perempuan ini tahu kalau mau kedatangan tamu.

Terkekeh ia melambaikan tangan pada Ratno. Dalam sebuah ruangan tak cukup besar, Ratno dihadapkan pada sebuah meja.
Berisi berbagai barang yang ia tak faham untuk apa.

Lalu nenek tua itu menyuruh Ratno melepas bajunya dan duduk di pojok goa untuk melakukan puasa ngebleng selama tiga hari.

Puasa tiga hari bagi Ratno bukan apa-apa sebab ia sudah biasa kelaparan. Bahkan tidak makan seminggu pun ia pernah,  karena tak punya apa-apa.

Apalagi ia dibebaskan oleh nenek untuk melakukan apa saja,  kecuali tidur.

Tiga hari berlalu, Ratno dipanggil oleh nenek tua,  dua buah batok kelapa terhidang di meja.  Satu berisi kotoran siluman babi dan satu batok lagi berisi air kencing siluman babi.

"Kau harus memakannya sampai habis untuk menyatukan sukmamu dengan sukma siluman babi"

"Jangan buang waktu,  lakukan dengan cepat", kata nenek tua seperti marah.

Ratno terpejam, mulutnya berusaha melumat  kotoran yang disediakan.  Rasa aneh menyeruak,  memenuhi rongga tenggorokan dan perutnya.  Ia merasa mual,  hampir muntah. Tapi nenek tua terus memberinya semangat agar kotoran itu dihabiskan.

Mendadak badannya panas,  seperti membara. Minum air kencing siluman babi,  seperti meminum bensin, ia terkulai lemas.  Lalu pingsan.

"Kau berhasil anak muda", kata nenek tua saat Ratno membuka mata.
Tubuhnya masih berasa panas.  Tapi sudah merasa baikan.

Nenek Tua menyerahkan sebuah jubah hitam tipis dengan kantong besar di dalam.

"Jangan lupa sekali ada kesalahan,  fatal akibatnya"

Kata-kata  itu yang selalu Ratno ingat hingga ia sampai rumah.

Malam itu sesuai saran nenek tua ia persiapkan semua keperluan ritual.
Sebuah tampah bambu dengan kembang tujuh rupa,  3 batang rokok kretek, semangkok air putih dan sebuah lampu minyak.  Tak lupa ia membakar kemenyan sebelum berangkat.

Istrinya menunggu dengan wasada. Ratno keluar rumah lalu memakai jubahnya. Ia merasakan tubuhnya seringan angin bisa berlari begitu cepat.  Seperti dituntun oleh suara gaib,  menuju rumah besar yang jaraknya sangat jauh dari rumahnya.

Ia diperintah menggosok-gosokkan badan ke tembok sebuah bangunan.  Dan terlihat bergepok uang mengalir ke dalam kantong jubah hitamnya.

Ilustrasi instagram @mas_nawir
Ilustrasi instagram @mas_nawir
Lalu ia pulang secepat saat berangkat.  Istrinya takjub melihat bertumpuk uang,  membuat mereka lupa daratan.Hidup Ratno berubah dalam sekejap. Hari ini apapun yang ia inginkan menjadi kenyataan. Tinggal bilang,  barang datang.

Sekarang ia tak lagi tinggal di kontrakan.  Sebuah rumah di kawasan mewah ia beli secara kontan.  Sampai petugas bagian pelayanan keheranan, bapak ini kerja apaan?

Beberapa waktu berlalu, banyak daerah sekitar  tempat tinggal Ratno heboh. Mereka kehilangan uang di banyak tempat,  di lemari besi,  di bawah kasur,  di atas plafon bahkan yang disimpan dalam kotak rahasia pun hilang.

Ratno terus menjalani hidupnya dengan me-ngepet.  Ia tak pernah faham siapa korbannya.  Karena ia datang di tempat yang jauh.  Dari bisikan gaib yang ia terima.

Istrinya tetap Setia, menunggu sesaji beserta lampu minyak yang harus menyala dan ia harus siap mematikan saat lampu minyak sudah bergoyang.

Malam itu hujan deras,  petir menggelegar.  Ratno sudah keluar rumah.  Dalam ruangan khusus dan lembab istrinya kedinginan,  ia tak konsentrasi,  tertidur pulas beberapa saat.  

Terbangun saat rambutnya basah,  ada bau anyir darah.  Lampu minyak sudah padam. Dingin mencekam.  Saat lampu ruangan dinyalakan,  ia terkaget.  Melihat isi tampah,  tercecer ke segala arah.  Air putih di mangkok tertumpah,  membuat sebagian lantai memerah.  

Istri Ratno menangis,  gugup tiada tara.  Ia tak tahu harus bagaimana.  Sejak itu suaminya tak pernah kembali....

Babi hitam penjelmaan Ratno,  terus mengerang.  Menahan sakit  tak terkira.  Yang  menusuk hati hingga tulang belakang.  Warga makin tak sabaran.  Mereka kembali menyerang Ratno,  meskipun ia sudah tak berdaya.

Lalu sebuah tusukan menghujam,  membuat mata Ratno tak bisa terpejam ia menemui ajal sebagai babi.  Menjadi budak siluman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun