Hari sudah menjelang tengah hari. Tapi kami terus membetulkan letak jaket agar terpasang presisi dengan badan. Agar tak ada lagi hawa dingin yang masuk.
Lamuk, atau orang tempat kami menyebutnya dengan ngLamuk - dengan menambahkan huruf "n" dan "g" untuk kata ini, adalah sebuah desa di lereng gunung Sukorini di kabupaten Temanggung.
Terlihat di perangkat seluler, lokasi ini berada di ketinggian 800-1600 MDPL. Dengan hawa berkisar 10-18,C lokasi ini lumayan dingin bagi kami yang terbiasa di Semarang dengan suhu 20-35 C.Â
Saya pegang tangan istri, dingin menyebar dari telapak tangan. Kami bergandengan tangan menyusuri jalan dusun Lamuk yang cukup nyaman.Â
Jalan ini merupakan jalan tembus dari Sumowono ke Temanggung atau ke Dieng. Jadi wajar jika jalan ini nampak agak ramai dilalui oleh kendaraan roda 4 dari kedua kabupaten.Â
Di Vihara Vajra Bumi Satya Dharma Wirya yang ada di kampung ini kami disambut oleh penduduk lokal. Dan menunjukkan  rumah seorang tetua kampung bila ingin mencari informasi tentang desa ini.
Rumah mungil dan bersih, rumah di ketinggian itu menciptakan pemandangan alam yang mempesona. Deretan rumah penduduk yang hanya 210 KK itu terlihat rapi dengan barisan jalan-jalan kecil yang membelah antar rumah. Sawah dan tegalan penduduk juga terpampang indah dari halaman depan rumah ini. Saya berguman, damai benar bila bisa tinggal di daerah ini.
Daerah yang subur, dengan air dari sumber mata air yang mengalir sepanjang tahun baik musim hujan maupun kemarau sungguh membuat siapapun betah.
Pak Yamto, demikian tokoh masyarakat dusun Lamuk ini memperkenalkan diri.
Wajahnya bersih, lugu, dan terbaca dari cara beliau berbicara terasa sangat ilmiah.Â
Pengalaman beliau sebagai tokoh Agama Budha di tempat ini terukir indah dari gaya bicaranya yang saya rekam.