Boleh dikata Bukit Cinta adalah  wisata lama yang ada di Banyubiru. Tempat ini ada sebelum kolam renang Muncul, Langen Tirto,  bahkan Sepakung ada.
Berada di lokasi 2 Ha, dan didominasi pohon Pinus  yang tinggi menjulang, Bukit Cinta seakan menjadi magnet bagi para wisatawan.
Saya memiliki seorang paman yang tinggal di wilayah ini. Beliau bercerita bahwa bukit cinta pada zaman Belanda adalah bukit tempat mengawasi pertumbuhan Enceng gondok di Rawa Pening. Lalu pada tahun 1975, tempat ini dibuka untuk umum sebagai tempat wisata. kondisi Bukit Cinta sekarang lebih baik dari beberapa tahun yang lalu.
Banyak faslitas penunjang yang mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Pintu masuk yang awalnya terbuka sekarang sudah ada gapura melengkung bertuliskan wisata Bukit Cinta.
Lahan parkir sangat luas, muat ratusan kendaraan. Sebelumnya lahan parkir ini hanya berupa tanah lapang yang sangat becek bila turun hujan.
Tiket masuk  sebesar Rp.7500,-/ pengunjung setelah melewati mulut naga pengunjung akan disuguhi pameran ikan rawa berbagai jenis yang di letakkan dalam beberapa akuarium.
Di atas bukit juga ada semacam petilasan yang terdapat pembakaran kemenyan dan taburan bunga mawar, entah petilasan siapa.
Di pinggir rawa pengunjung bisa melihat aktifitas warga sekitar yang memancing ikan dan berjibaku melawan rimbunnya Enceng gondok.
Di atas bukit, selain  bisa menikmati indahnya  pemandangan rawa pening, juga bisa memanfaatkan gazebo yang tersedia untuk duduk santai bersama keluarga.
Ada yang mitos yang berlaku di kalangan penduduk setempat  bagi siapa yang  berpacaran  pasti putus. Tentu saja saya tidak percaya, sebab masa pacaran saya juga pernah di sini, dan cinta kami tetap langgeng sampai sekarang. Namanya juga mitos.
Di tengah rawa, nahkoda harus waspada dan hati-hati. Sebab selain tersangkut sampah, terkadang baling-baling perahu juga terlilit tali yang terjuntai dari branjang -semacam spot buatan yang dibuat oleh petani ikan rawa untuk menangkap ikan-.Â
Di branjang dari bambu panjang yang diikat dan berbentuk seperti kandang besar ini para petani  rawa meletakkan jaring atau perangkap ikan. Bahkan beberapa branjang sudah terpasang semacam gubug untuk tempat berteduh.
Rawa pening adalah danau alam yang ceritanya sudah sangat melegenda. Cerita tentang legenda ini sudah tersebar di banyak orang dan tertulis di berbagai buku. Baik dalam buku cerita maupun komik bergambar.
Begini kira-kira ceritanya:
Alkisah pada jaman dahulu hiduplah seorang resi yang memiliki seorang Nyai pelayan. Waktu hendak pergi sang resi berpesan pada Nyai  agar tidak memangku gunting yang ia gunakan untuk bekerja.
Namun sayang khilaf dan lupa memang milik manusia, saat  duduk istirahat dan tertidur  gunting terpangku di paha Nyai sang pembantu. Lalu terjadilah keajaiban,  saat bangun gambar ular naga pada gunting hilang.Â
Dan beberapa waktu kemudian si Nyai tertampak tanda tanda ngidam. Sembilan bulan sepuluh hari berlalu Nyai melahirkan seorang bayi yang berujud ular. Tak banyak yang tahu tentang hal ini sampai anak si Nyai berusia remaja dan bertanya,
"Siapa ayahku dan ia berada di mana?"
Lalu Nyai menyebut sebuah pertapaan di sebuah gunung, dan Si Ular dengan nama Baru Klinting itupun segera menuju pertapaan sang resi. Konon kabarnya karena besarnya tubuh sang ular, jalan yang ia lalui menuju gunung membentuk aliran sungai Tuntang yang  keberadaannga masih bisa kita saksikan  sampai sekarang.
Beberapa saat kemudian setelah menempuh perjalanan yang panjang dan bersusah payah, sampailah si Ular sambil menyerahkan cincin titipan ibunya. Sang Resi bisa menerima Baruklinting sebagai anaknya dengan syarat ia harus bertapa melingkari  gunung Telomoyo dengan mulut terbuka. Tidak boleh memakan apapun kecuali tanpa sengaja ada makhluk hidup yang masuk ke mulutnya semisal binatang tersesat. .
Dengan kepatuhan yang sempurna berangkatlah Baruklinting menunaikan perintah sang resi. Tubuhnya yang besar dan panjang ia lingkarkan di gunung Telomoyo.Â
Kebetulan di bawah gunung ada sebuah desa yang akan mengadakan selamatan. Maka penduduk desa beramai ramai merambah gunung untuk mencari kayu bakar. Tak sengaja saat istirahat salah sorang penduduk membacok-bacok sesuatu yang mirip dengan batang kayu, lalu darah memancar dari setiap penjuru. Ratusan warga berpesta pora menikmati hidangan daging ular sang pertapa.
Di kemeriahan pesta, terlihat seorang anak kecil yang gundul, dekil dan berpenyakit kulit, konon bocah ini adalah penjelmaan arwah Baruklinting. Orang-orang menyingkir, anak-anak kecil mengoloknya, ia  hanya meminta sepiring makanan dan tidak seorang pun menggubrisnya. Lalu seorang nenek renta mengulurkan tangan. Memberinya makan dan minum. Ia diperlakukan sebagaimana cucunya sendiri.Â
Sebelum pergi si bocah berpesan,"Nek nanti kalau ada air datang, nenek naik lesung  (tempat menumbuk padi dari kayu) ya?".
Lalu  si bocah keluar dan membuat sayembara bagi siapapun yang bisa mencabut lidi yang ia tancapkan di tanah, maka akan diberikan hadiah dan ia akan menyingkir selamanya dari desa itu. Orang-orang tertawa mengejek. Seorang anak kecil mencoba menarik, tapi tak mampu. Seorang remaja mencoba mencabut, tapi juga tak mampu. Sampai seluruh orang terkuat di desa itu bersama-sama mencabut pun lidi tetap kokoh terpaku di dalam tanah.
Sampai akhirnya, hanya dengan dua jari si bocah  yang penuh kudis, lidi itu tercabut lalu keluarlah air dari dalam tanah yang makin lama makin membesar tak terkendali dan menenggelamkan desa itu bersama seluruh warganya. Dan siapakah yang selamat?
Tentu saja hanya sang nenek bersama kucing kesayangannya yang berwarna cokelat. Â
Ya .. cerita legenda ini masih melekat betul dalam benak saya. Dulu saya mendengarnya dari almarhum ibu, waktu saya masih seusia SD. Beliau selalu mengulang cerita rakyat ini bila saya malam susah tidur. Terkadang cerita belum selesai saya sudah pulas.Â
Terkadang cerita sudah selesai saya masih melek dan menimpali cerita ibu dengan komentar sesuai yang saya ingat. Terkadang pula ibu sudah mengantuk padahal ceritanya belum selesai. Atau kadang-kadang pula ceritanya sudah selesai kami belum juga ngantuk, yah.. namanya juga ibu dan anak haha.
Kembali ke wisata Bukit Cinta. Di luar sekarang sudah ada pasar wisata. Anda bisa berbelanja berbagai jenis ikan rawa baik yang sudah matang atupun yang masih mentah. Berbagai warung makan juga tersedia di sini dari mie ayam, bakso, nasi rames, popmie dan sebaginya.Â
Kalau anda sedang berada di jalur ini, cobalah sesekali mampir dan nikmati sensasi naik perahu di atas gundukan Enceng gondok pasti anda akan terkesan dan selalu ingat saya. Soalnya saya yang membuat cerita ini. hahaha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H