Kedua, Lembaga Eijkman selama ini sudah dikenal sebagai lembaga independen dengan riset-riset yang mutakhir (cutting-edge) di bidang biologi molekuler dan terkait. Dengan menjadikan Lembaga Eijkman dibawahi oleh BRIN, ada kecemasan bahwa Lembaga Eijkman hanya akan memiliki topik penelitian yang wajib sejalan dengan BRIN.
Beberapa kalangan ada yang mempertanyakan fungsi BRIN. September tahun lalu, Nature memberitakan betapa para peneliti justru kuatir adanya campur tangan politik ke dalam riset. Bukan hanya anggaran riset Indonesia yang minim (0,23% dari GDP pada 2018), Indonesia juga menghadapi masalah bagaimana otonomi peneliti dan dukungan finansial tetap terjaga.
Berry Juliandi dan Bambang Suryobroto dalam The Conversation Indonesia menyatakan bahwa politisisasi agama pun dapat menghambat laju pengembangan penelitian. Lembaga Eijkman pun tidak terhindar dari risiko ini karena riset biologi molekulernya.Â
Sama seperti yang dikatakan oleh Juliandi dan Suryobroto, kita dapat bertanya: Bagaimana jika para peneliti di Lembaga Eijkman dapat melakukan riset medis dengan leluasa untuk memetakan penyakit di tengah masyarakat bila masyarakatnya diperdaya dengan doktrin tertentu bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang sempurna sehingga manusia tidak boleh "disentuh"?
Hiruk-pikuk di atas justru memberikan dampak-dampak yang menurut saya menarik untuk jadi pertimbangan. Bahkan, suatu "hikmah" untuk dipertimbangkan.
Di media sosial, semakin lantang keluhan betapa tidak nyamannya iklim untuk berkarir sebagai ilmuwan profesional di Indonesia dikarenakan regulasi dan administrasi yang serba rumit.Â
Ternyata, integrasi institusi riset tidak menjadikan birokrasi menjadi ringkas, melainkan justru semakin berat. Kita pun layak kuatir bila keterpaduan lembaga-lembaga penelitian justru dapat menimbulkan pertimbangan atau senjata politik tertentu untuk menyeleksi calon calon peneliti itu tadi, berdasarkan pada ulasan Nature di atas.
Ketiga, bila memang bidang riset mutakhir seperti di Lembaga Eijkman pun harus terarah menurut pada BRIN, maka keleluasaan meneliti akan berkurang sekalipun tersedia alat-alat yang canggih.
Keleluasaan melakukan penelitian merupakan hal yang substansial demi pengembangan riset dengan di dalamnya ada kemerdekaan berpikir. Bukan sekedar memenuhi roadmap atau target laporan belaka.
Jika memang sungguh demikian yang terjadi, maka tidak heran banyak dari mahasiswa/i atau peneliti berpaspor Indonesia yang enggan kembali ke Tanah Air sebab sudah mendapatkan ekosistem riset yang kondusif yang baik di luar negeri.Â
Belum lagi mereka melihat bagaimana perlakuan yang diterima oleh 100-an peneliti di Lembaga Eijkman setelah diberhentikan. Ada pertimbangan aspek profesional dan personal yang sama-sama harus dipenuhi, bukan sekedar berkorban bagi bangsa.